Pengalaman Tinggal di Kampung Pekerja Migran: Perempuan Pulang Jadi Korban Kekerasan

Lahir dan hidup di salah satu kampung yang banyak ‘melahirkan’ pekerja migran serta hidup bersama orangtua dan saudara yang bekerja sebagai pekerja migran, membuat kami terbiasa dengan persoalan yang menimpa mereka. Banyak perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan.

Tahun 2000-an, saya bersama keluarga besar sering melakukan perjalanan Blitar-Surabaya. Kami mengendarai mobil sewaan menuju Bandara Juanda, Surabaya. Tidak menginap di hotel, kami biasanya bablas atau terus tidur saja di mobil. Makan juga dari bekal yang kami bawa atau sesekali mampir di warung makan. 

Selama dua atau tiga hari itu, kami melakukan perjalanan berangkat sampai pulang lagi ke rumah, itulah saat-saat kami menjemput Paman atau Bibi dari luar negeri. Ada yang dari Malaysia atau juga Hong Kong. Itu hal biasa dan sering kami lakukan

Di keluarga ayah saya, mayoritasnya memang kami bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Tak kurang Lima dari tujuh bersaudara pernah jadi tenaga kerja di luar negeri. Lidah Jawa kami menyebut, mereka lungo (pergi jadi PMI). Ada yang sebentar, sekitar dua tiga tahun, tapi ada juga yang sampai belasan tahun.

Di usia sekolah dasar, saya melihat, banyak orang sekitar saya yang kemudian menjadi PMI, dan ini sangatlah lumrah terjadi. Para calo penyalur PMI juga banyak yang hilir mudik menawarkan masyarakat untuk jadi PMI. Mereka bahkan datang dari rumah ke rumah dan melakukan promosi dari mulut ke mulut. Semuanya senada: mengiming-imingi ‘hidup enak’ jadi PMI. Gaji lumayan dibanding kerja bertani di desa. Pulang-pulang, juga banyak yang bisa bangun rumah atau punya modal buat nikah. 

Tak kehabisan akal, para calo ini memang lihai sekali mengajak para calon PMI. Katanya, tinggal menunggu di rumah, persyaratan ini dan itu sudah beres. Tak punya modal berangkat, juga bisa potong gaji. Berbagai media massa seperti radio dan televisi lokal di tahun-tahun itu pun, tak kalah ramai menyiarkan PT (Perseroan Terbatas) yang mengajak calon PMI bisa segera diberangkatkan ke negara tujuan. 

Maka tidak mengherankan, anak-anak muda yang bermodalkan ijazah SD maupun SMP kala itu, berbondong-bondong ‘mencari peruntungan’ ke luar negeri. Angan-angan, bisa cepat dapat duit dan tampak bisa ‘bergaya’ dengan status sosial di tengah masyarakat. Siapa yang tidak mau?

Seiring berjalannya waktu dan usia saya semakin bertambah, rasanya saya semakin memahami, bahwa sebetulnya banyak yang jadi PMI ini bukan saja karena faktor ekonomi. Namun, alasan lungo para PMI ini ternyata bisa juga karena kondisi keluarga yang kurang harmonis, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sampai korban pernikahan anak akibat kehamilan tidak diinginkan (KTD). 

Untuk yang terakhir, saya melihat sendiri dari kondisi beberapa teman perempuan saya yang pernah dikeluarkan dari sekolah akibat KTD, lalu menikah dan memutuskan untuk jadi PMI. Mereka masih berusia belasan tahun, namun harus putus sekolah. Dikarenakan tak punya pengalaman bekerja dan ada juga yang malu dengan kondisinya, hingga akhirnya memutuskan jadi PMI ke luar negeri. 

Perempuanlah yang selama ini banyak saya jumpai di sekitar saya yang mengalami banyak kondisi sulit ini. Bukan saja kekerasan berbasis gender (KBG) yang mereka terima sebelum berangkat, namun ada pula yang ketika telah bekerja di luar negeri mendapat kekerasan

Salah satu tante atau Bulik atau tante, adik ipar dari ayah saya, pernah mengalami KBG itu saat bekerja di Hong Kong pada sekitar tahun 2010. Saat mau diberangkatkan, dia dijanjikan akan menjadi perawat lansia dengan jam kerja layak. Namun, begitu sudah sampai di negara tujuan, ternyata dia harus melakukan pekerjaan tidak sesuai kontrak yang bebannya ganda. Dia harus mengurus lansia, urusan rumah tangga, sampai menjual ikan milik majikan di pasar setempat. Jam kerjanya pun, sampai belasan jam sehari dengan libur sekali sepekan. 

Pernah suatu kali Bulik cerita, Bulik juga sempat mengalami pelecehan seksual selama bekerja. Bukan saja dari candaan seksis yang dilontarkan majikan. Pernah juga, saat dia menawarkan ikan yang dijualnya, dia mendapat catcalling ataupun rabaan pada pundak serta pinggul dari pembeli. Tak tau apa yang bisa dilakukan, Bulik saat itu hanya diam saja dan menyimpan cerita itu bertahun-tahun sendiri. 

“Ya bingung mau kayak gimana, cuma disimpan saja sendiri. Apalagi kan kita di tempat (negara) orang, kalau malah gimana-gimana atau dipecat kan?” ujar Bulik Lestari, ketika berbincang dengan Konde.co, Minggu (14/11/2021).  

Minimnya akses pengetahuan dan informasi, menurut Lestari, memang tidak dipungkiri terjadi. Kala itu, dia hanya tahu soal PMI dari lingkungan sekitarnya dan calo yang datang menawari pekerjaan ke luar negeri. Sementara, soal hak-hak serta jaminan perlindungan yang bisa diakses pun serba minim.  

“Gak paham dulu itu, ini termasuk kekerasan yang harusnya bisa dimana lapornya, ya udah dapat gaji aja kan kita fokusnya,” katanya

‘Puncak Gunung Es’ Kekerasan Perempuan PMI

Kekerasan berbasis gender terhadap PMI perempuan, bukanlah ‘pepesan kosong’. Sebagai keluarga dan lingkaran terdekat dari PMI, saya melihat sendiri hal itu seringkali terjadi.

Namun fenomenanya seolah seperti ‘puncak gunung es’ alias apa yang tampak sebetulnya menggambarkan masalah serius yang lebih besar. Begitu sistematis dan belum mendapatkan perhatian optimal. 

Meskipun tidak semasif dulu, kondisi saat ini nyatanya juga belum banyak berubah. PMI perempuan masih rentan menjadi korban KBG. Sedangkan, payung hukum yang melindunginya pun masih minim dijalankan. Termasuk di lingkup desa-desa yang menjadi ‘kantong-kantong’ daerah asal PMI. 

Wilayah Blitar dan Tulungagung (TA) termasuk daerah asal  PMI terbanyak di Jawa Timur bahkan Indonesia. Berdasarkan data Sistem Komputerisasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (SiskoP2MI), selama lima tahun terakhir Jawa Timur memiliki penempatan terbesar PMI dengan jumlah penempatan sebanyak 177.016 orang. Di Jawa Timur yang terbanyak menempatkan PMI adalah Ponorogo 10.067 orang, disusul Blitar 9.206 orang, Malang 8.857 orang dan Tulungagung 7.116 orang.

Koordinator Migrant Worker Resource Center (MRC) di kawasan Tulungagung dan Blitar, Yatini mengatakan, kekerasan pada PMI perempuan ataupun calon PMI perempuan ada banyak modusnya. Kasus teranyar di TA yang pihaknya tangani adalah kasus penipuan calon PMI yang banyak di antaranya perempuan akibat tertipu calo. 

Puluhan dari mereka telah menyetor uang sampai Rp 75 jutaan rupiah, namun belum juga diberangkatkan. Padahal sebetulnya, aturan saat ini tidak lagi diizinkan penggunaan calo namun harus melalui Dinas dalam pemberangkatan PMI. Tapi di tengah masyarakat, praktik itu masih terjadi. Mereka bahkan lebih percaya calo dibandingkan perangkat desa atau dinas setempat. Imbasnya, banyak yang kena tipu. 

“Calo saling lempar dan merasa juga sebagai ‘korban’ yang menyetor uang ke PT. Masalah ini terjadi karena minimnya edukasi masyarakat, mereka lebih percaya pada calo yang memberi janji manis, sementara perhatian desa minim,” ujar Yatini kepada Konde.co, pertengahan Oktober 2021 lalu. 

Tidak hanya penipuan yang marak terjadi, KBG pada PMI perempuan juga menjadi ancaman. Salah seorang pendamping lapangan MRC wilayah TA dan Blitar, Siti Masruroh menyampaikan, dirinya belum lama ini turut menangani kasus kekerasan PMI perempuan di Brunei Darussalam. Selain dia mengalami eksploitasi jam kerja, korban itu juga mengalami kekerasan fisik seperti penyekapan sampai lebam-lebam. Setelah dia ditipu, dengan iming-iming majikan yang berjanji akan menikahi. 

“Janjinya mau dinikahi juga, tapi tidak jadi (dinikahi) dan tidak digaji, akhirnya melaporkan ke KBRI. PMI itu dijemput, posisi sekarang dia bekerja dan digaji oleh KBRI sambil menunggu proses siding,” ujar Masruroh dihubungi Konde.co pada 30 Oktober 2021.

Perempuan PMI korban kekerasan itu kemudian pergi dari majikan, dan menelepon anaknya yang ada di Indonesia. Pihak MRC lalu melaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan, dan menghubungi KBRI serta kerja sama organisasi terkait yang mengadvokasi PMI di Brunei. 

“PMI-nya ini sempat menolak dibawa KBRI, menolak mengakui padahal sudah lebam juga ini, karena mungkin dapat ancaman juga,” imbuhnya. 

Masruroh mengungkap, kekerasan terhadap PMI perempuan ini hingga saat ini juga terus berkembang modusnya. Misalnya saja, penipuan lowongan kerja hingga kekerasan berbasis gender secara online (KBGO) melalui sosial media. Minimnya edukasi dan belum optimalnya mekanisme pelaporan kasus menjadi hambatan yang perlu segera dicari solusinya. 

Mendorong Peran Desa untuk PMI Perempuan

Banyaknya kasus kekerasan PMI perempuan, membutuhkan peran konkret dari desa. Namun selama ini, masih belum optimal dilakukan. Yatini dari MRC Tulungagung dan Blitar menyampaikan, selain edukasi perangkat desa soal PMI memang perlu juga kewenangan desa terhadap aturan perlindungan PMI perempuan. Salah satunya melalui Peraturan Desa (Perdes) yang memuat mekanisme hingga pembiayaan pada program perlindungan. 

Sampai saat ini, Yatini merinci ada setidaknya 9 desa percontohan yang tengah didampingi untuk menggodok pembuatan Perdes di Tulungagung dan Blitar. Program ini merupakan kerja sama dengan International Labour Organisation (ILO). 

Pada 21 Oktober 2021 lalu, para perangkat desa mendapatkan training dalam proses pendampingan pembuatan Perdes soal PMI. Acara yang berlangsung sehari penuh itu, para perangkat desa mendapat sosialisasi soal peran pentingnya bagi perlindungan PMI, brainstorming permasalahan berperspektif gender terkait PMI hingga apa saja hal yang perlu dimasukkan dalam Perdes. 

Sejauh ini, memang belum ada desa yang sudah mempunyai Peraturan Desa/ Perdes di kawasan Tulung Agung dan Blitar yang spesifik soal PMI. Terlebih, menyoal kekerasan terhadap perempuan. Pun dengan data-datanya yang dihimpun per tahun oleh desa masih sangat minim. Masalah yang dialami oleh PMI perempuan ini, acapkali hanya menjadi cerita-cerita. 

Perwakilan Badan Permusyawaratan Desa Sumber Agung, Tulung Agung, Hariani, yang hadir dalam training tersebut tak menampik. Peran desa memang dibutuhkan dalam upaya perlindungan PMI. Masalah yang sering muncul di daerahnya adalah, PMI perempuan yang mendapatkan kekerasan tidak ada informasi dan mekanisme yang jelas untuk melapor. 

“Perlindungan itu saya pikir buat anak-anak PMI perempuan juga yang kadang ditinggal ibunya itu punya beban atau juga jadi korban kekerasan,” ujar Hariani kepada Konde.co melalui sambungan telepon, 30 Oktober 2021. 

Perdes PMI itu, pihaknya harapkan juga memiliki peran dalam mengedukasi PMI dan keluarganya. Utamanya, soal percaloan yang masih marak terjadi. Desa Sumber Agung memang tergolong jauh dari pusat kota Tulung Agung, yaitu sekitar 45 menit berkendara. Akses yang juga mencakup daerah pegunungan itu, menjadikan banyak masyarakat ‘tidak mau repot’ dan mengandalkan calo PMI. 

“Jadi orang itu sudah kebiasaan ngurus apapun, pakai calo. Gak mau ribet. Kalau di Perdes-kan, kan semua ada aturannya,” kata dia. 

Dia menyampaikan, setidaknya 20-25% persen masyarakat yang berjumlah sekitar 7.000 orang di desa Sumber Agung memang berprofesi sebagai PMI yang didominasi perempuan. Negara tujuan PMI itu pun beragam mulai dari Hong Kong, Taiwan, Arab, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam hingga Korea Selatan. 

Usai training perangkat desa, Suhartini menyampaikan, pihaknya kini tengah menginventarisir masalah-masalah PMI yang rencananya akan dimasukkan dalam Perdes. Targetnya, Perdes itu akan rampung di awal 2022. Seiring itu, nantinya juga akan disiapkan tim yang berfokus dalam Perdes PMI serta infrastruktur yang mendukung. 

“Soalnya, 2021 ini sudah gak bisa mengubah anggaran desa. Sudah akhir tahun. Bisa dimasukkannya ke 2022, tapi jika sekadar pertemuan (musyawarah desa) bisa,” katanya. 

Senada, Kasi Pemerintahan Desa Jatidowo, Tulung Agung, Nuradiniah juga mengkonfirmasi bahwa pelaksanaan Perdes akan direncanakan bisa dijalankan pada awal tahun 2022. 

“Perdes PMI rencana kan Februari (2022), berarti Desember 2021 sudah punya draftnya, termasuk apa saja yang ada di situ,” ucap Nuradiniah ketika dihubungi Konde.co pada 2 November 2021. 

Menurut Nuradiniah memang ada banyak masalah soal PMI yang perlu diangkat dalam Perdes tersebut. Salah satu yang terpenting adalah mekanisme sosialisasi dan konseling PMI yang difasilitasi desa. Sebab selama ini, banyak masyarakat yang justru mendapatkan sumber informasi salah dari agen-agen atau calo secara ilegal. Substansi perlindungan bagi PMI perempuan juga kata dia, penting dimasukkan dalam Perdes.

“Perlindungan perempuan juga akan diprioritaskan,” tegasnya. 

“Pematerian soal perspektif gender ini juga sedang kami komunikasikan sama MRC. Dulu hanya pemahaman soal jenis kelamin saja, ternyata lebih banyak pengetahuan soal gender itu,” imbuhnya. 

Pejabat desa itu juga bilang, Perdes nantinya secara lebih luas diharapkan bisa pula mengakomodir kebutuhan para korban kekerasan berbasis gender pada PMI. Mulai dari tahapan pencegahan, penanganan hingga pemulihan korban. Semua substansi itu nantinya akan dirembug bersama oleh para perangkat desa dan dinas setempat. 

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tulung Agung, Agus Santoso menyambut baik adanya gerakan bersama untuk mendorong adanya Perdes soal PMI. Dia menyadari bahwa selama ini, pihak desa masih minim perannya untuk perlindungan PMI.

Maka dari itu, Perdes soal PMI ini bisa diterapkan. Semisal saja, fungsinya memunculkan rekomendasi Kepala Desa. 

“Nanti (di Perdes PMI) ada rekomendasi Pak Kades bahwa keluarga ini layak apa enggak. Tidak akan kita layani, lek geger karo bojo (bertengkar dengan suami/istri). Benar-benar ada survei Pak Kades. Keluarga yang akan berangkat itu dalam kondisi harmonis,” ujar Agus saat ditemui Konde.co di Kantor Disnaker TA pada 21 Oktober 2021. 

Dalam aplikasinya, Perdes soal PMI yang tengah disusun oleh para perangkat desa percontohan di Tulung Agung dan Blitar ini pun, menurut Agus harus bersikap terapan. Jadi, bukan hanya sebatas aturan kaku di atas kertas melainkan harus realistis diterapkan. 

Selain itu, penting pula Perdes PMI bisa bersifat komprehensif dalam memotret berbagai masalah kompleks yang selama ini terjadi di masyarakat. Terlebih, masalah kekerasan berbasis gender soal PMI perempuan serta anak-anak. Baik yang terjadi ketika masih menjadi calon PMI, sudah menjadi PMI ataupun purna PMI. 

“Itu desa (melalui Perdes) yang harus membimbing dan terjun langsung. Selama ini, jangan terjadi lagi perempuan korban kekerasan PMI ataupun anak-anak PMI yang dimanfaatkan oleh penjahat seks (pedofilia),” kata dia. 

Selama proses pembuatan Perdes PMI ini, pihaknya sebagai dinas mengaku akan terus mendampingi dan mendorong para pejabat desa dalam menggali substansi penting. Hingga saat ini, ada setidaknya 6.000 PMI yang ada di wilayah Tulung Agung. 

“Nanti kita bersama-sama dalam workshop (Perdes PMI),” pungkasnya.

(Artikel ini merupakan bagian dari Fellowship yang Diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI Jakarta) dan mendapatkan dukungan dari International Labour Organization (ILO))

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!