Kaleidoskop Perempuan 2021: Kebijakan Perempuan Terparkir di DPR (3)

Dinilai tidak politis dan menguntungkan investor, 3 RUU yang memperjuangkan perempuan dan kelompok marjinal terparkir di DPR: RUU TPKS, RUU Perlindungan PRT dan RUU Hukum dan Masyarakat Adat.Tulisan ini merupakan bagian dari “Kaleidoskop Perempuan 2021” yang ditayangkan Redaksi Konde.co dari tanggal 28-30 Desember 2021 sebagai penutup tahun catatan perempuan 2021

Terparkir di DPR, mungkin ini bisa jadi istilah yang paling tepat ketika perjuangan 3 Rancangan Undang-Undang untuk perempuan dan kelompok marjinal di tahun 2021 terhenti di Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI

Tiga RUU yang terhenti di Bamus sampai Desember 2021 antaralain, RUU Masyarakat Hukum Adat yang sudah terhenti selama 1 tahun 2 bulan, RUU Perlindungan PRT yang sudah terparkir 1,5 tahun di Bamus dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah disetujui di Badan Lesgislatif (Baleg) DPR pada awal Desember 2021.

Setelah disetujui di Baleg DPR, proses selanjutnya Bamus seharusnya menjadwalkannya agar bisa masuk rapat paripurna, dan DPR kemudian menetapkannya menjadi RUU inisiatif DPR, lalu RUU dibahas bersama pemerintah.

Setelah ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR dan dibahas dalam rapat paripurna, maka pemerintah bisa memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR. Setelah proses ini berjalan, DPR jika sudah setuju, bisa menetapkannya menjadi undang-undang

Bamus semestinya hanya berfungsi untuk mendaftarkan agar RUU yang sudah menjadi putusan Baleg DPR bisa didata untuk dijadwalkan agar masuk ke  rapat paripurna, namun nyatanya Bamus punya muatan yang cukup politis, karena di Bamus ini justru penentuan dari pimpinan DPR untuk maju jenjang ke selanjutnya–ke  rapat paripurna dimana seluruh anggota DPR akan membahasnya 

Dalam konferensi pers dengan masyarakat sipil membicarakan RUU TPKS dan RUU PPRT, anggota DPR RI dari Partai Nasdem, Taufik Basari pada 15 Desember 2021, menyatakan bahwa ada 3 RUU yang masih parkir di Badan Musyawarah DPR yang ketiganya memperjuangkan perempuan dan kelompok marjinal

1.RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)

Walaupun masih ada 2 partai besar yang belum memberikan dukungan pada Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) untuk menjadi Undang-Undang (UU), namun suasana gembira sekaligus optimisme dari organisasi yang selama ini memperjuangkan RUU ini sudah sangat terasa sejak 1,5 tahun lalu atau pada Juli 2021

Ini dirasakan sejak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menetapkan RUU PRT masuk dan akan menjadi agenda dalam rapat paripurna pada 13-14 Juli 2020, hal yang sangat ditunggu-tunggu selama 17 tahun perjuangan RUU agar menjadi undang-undang. Masuk dibahas dalam rapat paripurna DPR juga menjadi langkah maju perjuangan RUU PRT

Suasana optimis ini juga terasa dalam konferensi pers pada 5 Juli 2020 yang digelar secara daring oleh JALA PRT, Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dan Komnas Perempuan. 

Lita Anggraini, koordinator JALA PRT kala itu mengatakan sangat mengapresiasi langkah maju DPR ini

“Kami sangat mengapreasiasi langkah maju DPR RI melalui Baleg DPR RI dan Tim Panja RUU PPRT untuk membawa Draft RUU PPRT ke Rapat Paripurna DPR RI. Dengan nantinya Rapat Paripurna DPR RI menetapkan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR RI, maka pintu terbuka untuk jalan pembahasan bersama Pemerintah. Setelah Draft RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI,” kata Lita Anggraini

Inilah angin segar bagi perjalanan perjuangan. RUU PRT sendiri sudah 4 kali masuk parlemen dan baru kali itu rencananya masuk ke dalam rapat paripurna setelah diputuskan oleh Baleg DPR RI.

Willy Aditya, wakil ketua Badan Legislasi/ Baleg dari Partai Nasdem mengatakan dalam diskusi hari PRT, 16 Juni 2020 bahwa langkah selanjutnya setelah RUU masuk ke paripurna DPR adalah DPR akan mengirimkan RUU tersebut kepada pemerintah. Pemerintah kemudian mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan Surat Presiden (surpres) kepada DPR untuk memulai pembahasan bersama di DPR

“Jika ditetapkan tahun ini, maka ini akan menjadi sejarah baru perjuangan perempuan Indonesia dengan jumlah PRT di Indonesia yang berjumlah 5 juta orang yang 84% nya adalah perempuan,” Kata Lita Anggraini

Salah satu PRT, Etty Wirdiati mengatakan dalam konferensi pers 1,5 tahun lalu tersebut, mengapa harus memperjuangkan PRT dalam undang-undang, karena situasi hidup dan kerja PRT selama ini sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan, PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaran atas hak-haknya baik sebagai manusia, sebagai pekerja dan sebagai warga negara. PRT bahkan terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan. 

Tercatat dalam kurun 3 tahun terakhir dari Januari 2018 sampai dengan April 2020, ada 1458 kasus kekerasan PRT yang bisa dilaporkan dengan berbagai bentuk kekerasan, dari psikis, fisik, ekonomi dan seksual serta pelecehan terhadap status profesinya. 

Kasus kekerasan tersebut termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar. Jumlah kasus tersebut adalah data yang dihimpun JALA PRT berdasar pengaduan dari pendampingan di lapangan. Sementara PRT yang bekerja di dalam rumah tangga, tidak ada kontrol dan akses melapor dan bantuan. 

Di samping itu, dari survei Jaminan Sosial JALA PRT tahun 2019 terhadap 4296 PRT yang diorganisir di 6 kota: 89% (3823) juga didapatkan data, PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan atau menjadi peserta JKN KIS.

Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit termasuk dengan cara berhutang, termasuk berhutang ke majikan dan kemudian dipotong gaji. Meskipun ada Program Penerima Bantuan Iuran (KIS) namun PRT mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program tersebut karena tergantung dari aparat lokal untuk dinyatakan sebagai warga miskin.

Namun data-data ini, juga masuknya ke Baleg DPR masih butuh perjuangan panjang. Karena ternyata, 1,5 tahun kemudian atau Desember 2021, RUU PRT masih saja terparkir di Bamus dan tak diurus oleh DPR hingga hari ini.

Lita Anggraeni menyatakan, penyebabnya adalah 2 partai besar yang tak memberikan dukungan: PDI Perjuangan dan Golkar. PDIP adalah partai yang punya slogan memperjuangkan wong cilik. Dalam salah satu peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015, mantan presiden Megawati dan Ketua Umum PDI Perjuangan bahkan pernah menyatakan akan memberikan dukungan penuh agar RUU PPRT menjadi undang-undang. 

Namun ternyata, 6 tahun kemudian, dukungan tersebut surut.

Aksi yang dilakukan pada pertengahan Desember 2021 di DPR memaparkan dengan jelas, sulitnya RUU PPRT keluar dari Bamus karena partai besar yang tak mau dukung dan mengagendakan dalam sidang paripurna DPR

2. RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

Setelah perjuangan selama hampir 7 tahun, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual TPKS, akhirnya RUU ini menjadi keputusan di Baleg yang diagendakan masuk ke rapat paripurna DPR sejak 8 Desember 2021

Namun RUU ini kini juga masih terparkir di Bamus. Walaupun ketua DPR, Puan Maharani berjanji akan membawa RUU dalam rapat paripurna DPR, 13 Januari 2021, kita semua seperti harus bersabar menunggu Bamus mengagendakan ini dalam rapat paripurna

Padahal kekerasan seksual sudah sangat marak terjadi, bahkan para aktivis perempuan sudah menyatakan Indonesia sebagai negeri dengan darurat kekerasan seksual.

Sebut saja kekerasan seksual yang terjadi di kampus yang sangat marak terjadi, kekerasan lain yang marak terjadi di pesantren yang kesemuanya adalah di dunia pendidikan yang harusnya mengajarkan cara berpikir stop kekerasan seksual sejak dini.

Kekerasan seksual lainnya terjadi di ranah-ranah personal dimana pelakunya kebanyakan adalah orang-orang terdekat, di rumah, di ranah domestik dan di lingkungan korban. Ini artinya ada banyak sekali kekerasan seksual yang tersembunyi, tak tuntas dan butuh aturan untuk menuntaskannya.

Lainnya, di ranah cyber atau kekerasan berbasis gender online yang selalu meniingkat tajam jumlahnya setiap tahun

Pentingnya perubahan kebijakan ini, karena kekerasan seksual tak hanya butuh penanganan hukuman untuk pelaku, tetapi juga tentu saja untuk korban yang harus ditangani dan mendapatkan pemulihan. Masyarakat umum harus mendapatkan sosialisasi pencegahan agar tak melakukan kekerasan seksual

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, telah mendapatkan laporan sebanyak 1.321 kekerasan seksual perempuan dan anak terjadi sepanjang 1 November 2020 sampai 30 Oktober 2021. Selama tiga tahun terakhir, kasus kekerasan seksual tersebut tercatat meningkat, yaitu dari tahun 2019, angkanya berkisar 794 kasus.

3.RUU Masyarakat Hukum Adat

Salah satu usulan dalam draf RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA), yaitu negara harus menjamin hak pembangunan masyarakat hukum adat dalam semangat negara kesatuan, dan memelihara kearifan-kearifan adat, yang artinya masyarakat adat mendapatkan hak atas tanahnya, wilayah, sumber daya alamnya

Pada September 2020, Rapat Pleno Baleg DPR RI menyetujui harmonisasi RUU MHA yang secara keseluruhan telah disetujui mayoritas fraksi.  Secara sistematis, RUU ini terdiri dari 17 Bab dan 58 Pasal, yang memuat beberapa di antaranya terkait identifikasi, pengakuan, pelindungan, hak dan kewajiban, hingga pemberdayaan masyarakat hukum adat. Posisi RUU tersebut saat ini sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 dan segera masuk dalam Rapat Paripurna untuk disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI,  namun semua terparkir di Bamus DPR dan belum dijadwalkan di rapat paripurna DPR

RUU Tentang Masyarakat Hukum Adat sebenarnya sudah pernah dibahas dalam Pansus pada Tahun 2014, dengan Judul RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMHA), tetapi pembahasan tidak dapat terselesaikan sampai akhir jabatan DPR RI PERIODE 2009-2014. Lalu Pada tahun 2017 RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam prolegnas prioritas.

Sebagai partai pengusul dalam presentasi RUU ini, Fraksi NasDem membentuk tim Fraksi dan bekerjasama dengan Badan Keahlian DPR RI serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk melakukan penyusunan draft dan NA RUU

Harmonisasi RUU Masyarakat Hukum Adat berlangsung tidak lama dan akhirnya disepakati dalam pleno Baleg, dengan judul RUU Tentang Masyarakat Hukum Adat. RUU diusulkan dalam rapat Bamus untuk disepakati dan diusulkan dalam rapat Paripurna dan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI pada tanggal 14 Februari 2018

Rapat kerja antara Badan Legislasi dengan Pemerintah sudah dilakukan, akan tetapi sampai dengan akhir masa Jabatan Anggota DPR RI periode 2014-2019 pemerintah tidak menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR yang menyebabkan RUU Masyarakat Hukum Adat tidak dapat dilanjutkan pembahasannya

Saat ini, Berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna Tanggal 22 Januari 2020 Tentang Daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2020, RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2020 RUU dengan nomor 31. 

Situs madaniberkelanjutan.id menulis Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) merupakan salah satu RUU yang didorong kuat pengesahannya oleh berbagai pihak sedari kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Berbagai instrumen hukum nasional dan internasional juga mendorong adanya pengaturan untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat ini.

Urgensi pengesahan RUU MHA semakin dirasakan mengingat banyaknya kasus pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat. Analisis spasial Madani menemukan beberapa hal yang dapat menambah potensi pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat, di antaranya: dari 9,3 juta hektare Wilayah Adat yang teridentifikasi, terdapat 8,5 juta hektare area yang tumpang-tindih dengan izin/konsesi dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau area moratorium hutan dan lahan gambut. Tumpang-tindih terluas terjadi antara Wilayah Adat dengan PIPPIB seluas 4,1 juta hektare, disusul izin perkebunan sawit seluas 1,1 juta hektare, dan konsesi Migas seluas 1 juta hektare. Terdapat 190 ribu hektare Wilayah Adat yang tercakup ke dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua), terluas di Papua sebesar 123 ribu hektare, disusul Kalimantan Tengah seluas 66 ribu hektare.

Dosen STH Jentera, Bivitri Susanti menyatakan,ketiga RUU ini seakan-akan memang sengaja dibiarkan karena dinilai oleh DPR tak punya nilai ekonomi-politik. Berbeda dengan Undang-Undang Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang KPK, hingga Undang-Undang Minerba yang punya nilai ekonomi-politik tinggi, yang dengan cepat bisa dibahas oleh DPR

“RUU TPKS ini kering, sama keringnya dengan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat. Itu kering banget gak ada faedahnya buat anggota DPR. Nilai ekonomisnya gak ada,” kata Bivitri Susanti dalam sebuah diskusi yang diikuti Konde.co pada 15 Desember 2021

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!