Kaleidoskop Perempuan 2021: Perempuan Marjinal yang Selalu ‘Ditinggalkan’ (2)

Tahun 2021 masih menjadi tahun yang berat bagi masyarakat marjinal seperti kelompok miskin kota, buruh, Pekerja Rumah Tangga, kelompok disabilitas, transpuan dan LGBT yang dalam kondisi normal sudah terpinggirkan. Mereka berjuang diantara hidup dan mati. Tulisan ini merupakan bagian dari “Kaleidoskop Perempuan 2021” yang ditayangkan Redaksi Konde.co dari tanggal 28-30 Desember 2021 sebagai penutup tahun catatan perempuan 2021

Kelompok marjinal dalam situasi ini adalah mereka yang harus berjuang di garis batas antara hidup dan mati: kelompok miskin kota, buruh, kelompok disabilitas, Pekerja Rumah Tangga (PRT), transpuan dan LGBT

Pandemi Covid-19 gelombang kedua berdampak lebih parah dan memakan lebih banyak korban dibanding serangan gelombang pertama. Kondisi ini mengakibatkan kesulitan yang lebih mendalam bagi kelompok marjinal. 

Bahkan belasan transpuan harus meregang nyawa karena kelaparan dan kurang gizi karena  tidak dapat mengakses bantuan. 

Belasan waria meninggal selama pandemi Covid-19

Sebanyak 18 waria meninggal di Yogyakarta selama masa pandemi Covid-19. Mereka meninggal karena kemiskinan, kurang gizi dan sulit mengurus akses bantuan karena tak punya Kartu Tanda Penduduk/ KTP. 

Para waria ini rata-rata adalah waria Lansia, mereka bekerja sebagai pengamen, bekerja di salon, juga berjualan kecil-kecilan seperti jualan di angkringan, jualan masker, dan lain sebagainya.

Rully Mallay, aktivis Kebaya atau shelter Keluarga Besar Waria Yogyakarta saat dihubungi Konde.co, 12 Juli 2021 mengatakan, para waria ini sudah mematuhi protokol kesehatan untuk isolasi mandiri, tapi tidak ada perhatian baik dari satgas atau layanan kesehatan dan Pemerintah.

Menurut Rully, masalah yang dihadapi waria sangat kompleks dan sistemik. Di era pandemi, kesulitan transpuan makin berlipat ganda, lantaran tak ada bantuan yang mengalir sedikitpun dari Pemerintah.

“Meninggalnya 18 transpuan akibat gizi buruk di sejak awal pandemi menandakan kondisi transpuan yang semakin tak tentu,” ujar Rully.

Sebelumnya, rata-rata penghasilan waria yang bekerja di sektor informal seperti pengamen, pekerja seks, makeup artist, hingga pelaku usaha kuliner dan membuka salon bisa mencukupi kebutuhan dasar dan sekadar bertahan hidup. Saat pandemi, para waria bergantung pada solidaritas, karena mereka tak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Kematian para transpuan ini mewakili banyaknya pekerja informal di Indonesia yang tidak bisa mendapatkan akses kesehatan dan kesejahteraan dan terhimpit secara ekonomi di masa pandemi. Beberapa transpuan juga tak berani pulang ke tempat tinggalnya, karena menghindari kejaran rentenir yang menagih hutang.

Kondisi ekonomi yang sulit mengakibatkan banyak transpuan yang depresi, dan timbul penyakit penyerta lain seperti serangan jantung, stroke, dan lain sebagainya. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Di Indonesia, mempersempit ruang gerak transpuan yang sudah terbatas.

Penolakan terhadap Jenazah Waria

Stigma negatif, penolakan warga hingga birokrasi yang rumit mengakibatkan banyak waria sulit mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang pada gilirannya membuat mereka sulit mengakses bantuan. Tak hanya sulit mengakses fasilitas kesehatan dan fasilitas umum lainnya, waria yang meninggal juga masih mendapatkan penolakan.

“Pernah ada cerita ada transpuan meninggal dia gak pulang selama 14 tahun, namun karena kendala identitas, jenazahnya sempat ditolak di tempat ia berasal, dan kita juga tidak bisa menggunakan layanan dari Dinsos karena dia harus punya identitas,” cerita Jeny.

Sebut saja UD, seorang transpuan. Jenazah UD harus menunggu 2 hari untuk dimakamkan karena perdebatan, penolakan, dan stigma. Transpuan di Indonesia harus menghadapi penolakan bahkan hingga akhir hayatnya.

Hingga hari ini transpuan masih bergelut dengan hal-hal yang seharusnya menjadi hak dasar mereka untuk didapatkan sebagai warga negara. Hingga sekarang, nafas kehidupan mereka bisa tersambung karena adanya solidaritas dari teman dan sahabat di sekitar mereka

Perjuangan kelompok transpuan mencari vaksin

Usaha kelompok marjinal seperti disable, kelompok miskin kota dan transpuan untuk mendapat vaksin, terkendala oleh minimnya informasi. Tak adanya Nomor Kartu Identitas (NIK) dan minimnya pendampingan membuat mereka kesulitan mengakses vaksinasi Covid-19.

Seorang transpuan yang berdomisili di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jeny Mikha, mengatakan kendala paling mendesak yang dihadapi dalam vaksinasi adalah ketiadaan Nomor Kartu Identitas (NIK). Ini banyak terjadi di kalangan transpuan, sebab banyak dari mereka berasal dari luar Yogyakarta. 

“Di bulan 2 kami dan kawan-kawan bisa memfasilitasi vaksin bagi kawan transpuan yang punya KTP, itu pun kuotanya terbatas. Koordinasi terus kami lakukan dengan kelompok rentan (transpuan) mulai dari remaja hingga lansia agar bisa vaksin,” kata Jeny dihubungi Konde, Selasa (28/9/2021). 

Terhitung sejak Agustus hingga September 2021 ini, Jeny bilang, sudah 7 kali melakukan pertemuan dengan pemerintah setempat. Komunitasnya pun melakukan pendataan dan kendala yang dihadapi di lapangan. Selain soal KTP, masalah yang sering muncul adalah akses informasi yang minim. 

“Kami dari transpuan tidak mendapatkan itu, sehingga dalam rapat koordinasi strategi yang kami lakukan adalah mendata ulang berapa banyak transpuan di Yogyakarta dan Sleman. Kami berhasil mendata 174 transpuan,” terangnya.

Sementara mereka yang sudah divaksin, namun karena tidak memiliki NIK maka mereka masih kesulitan mendapatkan sertifikat vaksin. Sebab, verifikasi pembuktian vaksin yang mesti terhubung dengan NIK. 

KTP menjadi kunci penting

Anggun Pradesha, adalah salah satu aktivis di Jakarta yang memperjuangkan KTP untuk transgender. Ia menegaskan bahwa KTP ini penting agar komunitas transgender bisa mengakses pelayanan dasar yang menjadi hak bagi setiap warga negara. 

“Ada kejadian, kepala keluarga bisa menonaktifkan NIK anaknya yang transpuan. Salah satu teman kita, waktu perekaman itu NIK-nya keluar, tapi nonaktif karena dinonaktifkan bapaknya. Solusinya malah disuruh hubungi orangtua minta NIK-nya diaktifkan lagi, sementara dia kabur saat masih anak-anak karena keluarganya tidak menerima identitas dia,” ungkap Anggun saat dihubungi melalui telepon oleh Konde.co. “Masa negara membiarkan warganya tidak punya KTP dan tidak bisa mengakses layanan dasar?” imbuhnya.

Hingga kini, Anggun bersama dengan para aktivis lainnya seperti Hartoyo dari Our Voice telah membantu setidaknya perekaman KTP sekitar 300 transgender di Jakarta. Kehadiran KTP ini membuat komunitas transgender gembira. 

Mayora atau yang akrab dipanggil Bunda Mayora, aktivis transpuan dan pejabat publik asal Maumere, Nusa Tenggara Timur mengatakan bahwa selama ini, komunitas transgender kerap terabaikan dari skema bantuan pemerintah karena tidak memiliki KTP. 

“Sementara negara kita kalau mau mendapatkan bantuan, itu harus punya identitas KTP dan kartu keluarga,” ucap Mayora pada Konde.co.

Ia menjelaskan, kondisi tersebut terjadi karena transpuan rata-rata lari dari rumah tanpa membawa identitas yang ada. Bahkan, ada yang hingga tua tidak memiliki KTP sehingga akhirnya tereksklusi dari program yang disediakan pemerintah.

“Kemendagri sudah membuka peluang untuk bisa mengurus KTP itu seperti angin sejuk ya buat komunitas kami,” ucapnya.

Penggalangan Solidaritas di Masa Pandemi

Pandemi mengakibatkan banyak kesulitan bagi waria yang sebelumnya, dalam kondisi normal juga sudah mengalami diskriminasi. Akses terhadap fasilitas kesehatan dan fasilitas lainnya sangat sulit didapat. Kondisi ini antara lain disebabkan kendala administrasi. Waria sulit mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), karena stigma, penolakan warga hingga birokrasi yang rumit. Status mereka seolah tak diakui sebagai warga negara.

Untuk membuka tabungan di bank mereka tidak bisa. mau kemana-mana juga sulit, naik kereta pun kita tidak bisa, karena kan gak punya KTP, apalagi akses layanan kesehatan.

Dari ratusan transpuan yang terdata di Kebaya Foundation, tak ada satupun yang mendapat bantuan dari Pemerintah. Sehingga mereka bergantung sepenuhnya dari solidaritas sesama mereka. Pandemi Covid-19 makin menguatkan solidaritas di antara mereka.

Untuk menggalang dana, para waria melaunching buku “Solidaritas Waria Yogyakarta” pada 26 Juni 2021. Buku yang ditulis oleh Masthuriyah Sa’dan ini mengisahkan kegiatan solidaritas bagi para waria yang dilakukan Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) di Yogyakarta. Hasil penjualan buku ini akan disumbangkan untuk membiayai kegiatan kemanusiaan yang dilakukan Yayasan Kebaya.

Ada shelter atau rumah singgah yang menjadi tempat kemanusiaan bagi para waria, menjadi tempat singgah, mengupayakan kesehatan, bagi penyintas HIV/AIDS.

Mereka juga membuat berbagai program sosial tanggap darurat untuk membantu waria dan perempuan pekerja seks di empat kabupaten di Yogyakarta, mulai dari Sleman, Bantul, hingga Kulon Progo. Program itu antara lain adalah mendirikan 8 dapur umum, menstimulasi 16 kelompok usaha waria, dan membagikan 234 paket sembako setiap bulan, termasuk di dalamnya cairan pembersih tangan dan masker kain buatan transpuan. 

Ini semua untuk menjaga ketahanan pangan komunitas marginal di masa pandemi karena mayoritas transpuan di Yogyakarta tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sehingga mereka tidak bisa mengakses Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah.

Sandeep Nanwani dari UNFPA dalam launching buku itu juga menyatakan bahwa buku ini menjadi bagian dari kritik warga kepada pemerintah yang harusnya membantu warganya, namun justru bantuan dilakukan oleh warga kepada warga lainnya.

Kondisi pekerja informal terpuruk

Kondisi buruk juga dialami warga dari pekerja informal lain yang tak bisa berjualan karena sepinya pembeli, kondisi kerja yang tak menentu membuat mereka minim kerja yang bisa mereka lakukan. Akibatnya sulit memenuhi kebutuhan ekonomi setiap bulannya. Mereka rata-rata tinggal di rumah petak sempit di Jabodetabek.

Mereka adalah warga yang tinggal di perkampungan miskin, para pekerja/buruh terutama buruh pabrik dan termasuk informal seperti pedagang, pengamen, tukang pijat, Pekerja Rumah Tangga (PRT), sopir, pekerja rumahan, para penyandang disabilitas, waria, perempuan miskin. Kondisi dan situasi buruk yang tak menentu yang dialami oleh kelompok marjinal dan menjadi korban di tengah pandemi baik karena terpapar virus atau harus menjadi pendamping/care giver, kehilangan pekerjaan, kehilangan atau menurunnya penghasilan menimpa banyak sekali warga kelompok marjinal di seluruh Indonesia.

Kondisi ini juga menimpa para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pekerja rumahan. Sebagai pekerja informal, JALA PRT dan Trade Union Right Center (TURC) mengumpulkan data dan mengadvokasi, para PRT dan pekerja rumahan tak bisa mengakses dana bantuan pemerintah. Tidak diakuinya sebagai pekerja formal membuat para pekerja informal di Indonesia tak bisa mengakses semua bantuan pemerintah.

“Para pekerja rumahan di Jakarta juga mengalami penurunan pendapatan, yaitu pendapatan hanya dibawah Rp. 1 juta/ bulan, ini disebabkan karena berkurangnya order atau diberhentikan dari pekerjaannya,” kata Indri Mahadiraka dari TURC

Vaksinasi Belum Jangkau Semua Kelompok Disabilitas

Kondisi keterbatasan vaksin bagi para penyandang disabilitas juga ditemui di berbagai wilayah Indonesia pada Agustus 2021. Di Jawa Timur misalnya, setidaknya ada 23.429 anak disabilitas dan 120.911 orang dewasa dengan disabilitas, namun mayoritas masih belum mendapatkan vaksin.

Meski mereka dua kali lebih berisiko tertular Covid-19, perhatian pemerintah masih minim. Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI meminta Pemerintah, dalam percepatan vaksinasi tetap tidak meninggalkan kelompok rentan ini. CISDI juga menilai beberapa hal yang mempengaruhi vaksinasi terhadap difabel ini terhambat ialah karena beberapa hal yang saling berkesinambungan. 

“Kelompok rentan sangat beresiko tertinggal, hal ini karena beberapa faktor, diantaranya hambatan administrasi, hambatan finansial, hambatan infrastruktur (distribusi, bahkan akses fasilitas kesehatan), akses informasi, hambatan sosial dan perilaku,” sambungnya.

Ie menegaskan pentingnya perluasan cakupan dan definisi kaum rentan, seperti vaksinasi keliling, dan  perlu integrasi rawat jalani.

Kertaning Tyas, koordinator Lingkar Sosial, organisasi yang membangun gerakan inklusi pemenuhan kesamaan hak penyandang disabilitas, juga mengungkap bahwa faktor yang jadi hambatan pada proses vaksinasi para penyandang disabilitas masih menjadi PR hingga kini. Utamanya menyangkut minimnya informasi, akses yang tak mudah hingga minimnya pendampingan.

“Sosialisasi pada kawan-kawan difabel juga seharusnya disesuaikan dengan mereka, sampai saat ini masih ada beberapa kawan difabel yang mungkin belum tahu apa virus Covid-19, apa itu vaksin, difabel mental misalnya, cara menjelaskannya gak mungkin sama, ini yang harus jadi perhatian pemerintah,” ujar Tyas kepada Konde, Agustus 2021 lalu. 

Kondisi para penyandang disabilitas membutuhkan perhatian lebih. Sebab masing-masing memiliki keadaan yang berbeda satu sama lain. Ada yang bisa mandiri, namun ada juga yang mesti aktif didatangi oleh pendamping. 

“Ada juga yang menghabiskan sehari-hari di atas kasur, untuk vaksinasi saja, kami akhirnya yang berinisiatif untuk datang di sana, untuk mendampingi kawan-kawan. Pendaftaran ini kita selalu ketinggalan, ya kalah cepat dengan yang lain,” imbuhnya.

Kelompok Miskin Kota Sulit Akses Informasi

Pada saat program vaksinasi dimulai, rakyat miskin kota juga sempat kesulitan untuk mengakses informasi. Namun ketika program ini berjalan, mereka berangsur-angsur terakses oleh petugas.

Pada September, Eny Rochayati aktivis dari jaringan rakyat miskin kota (JRMK) di Jakarta, menyampaikan sejauh ini, belum mengalami kesulitan berarti dalam hal vaksinasi. Di lingkungannya, masyarakat sudah bisa mengakses pelayanan vaksin keliling (mobile) untuk kampung-kampung prioritas. 

“JMRK tidak mendampingi langsung, hanya memfasilitasi untuk vaksin jemput bola agar secara jarak terjangkau,” kata Eny kepada Konde.co, Selasa (28/9/2021). 

Walau begitu, Eny menggarisbawahi bahwa informasi soal vaksinasi juga masih perlu dioptimalkan di tengah masyarakat. Utamanya, soal pentingnya vaksin dan pencegahan hoaks yang banyak beredar. Sehingga memunculkan ketakutan efek dari vaksinasi.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!