Ada Aturan Norma dan Agama di Tempat Kos Perempuan, Kalau Kos Laki-Laki Kenapa Tidak?

Mencari tempat kos bagi perempuan ternyata bisa bikin pening, selain karena adanya aturan yang dibuat penjaga kos dan RT/RW yang menerapkan jam malam buat perempuan, juga ada embel-embel agama yang bikin mahal harga kos, seperti misalnya kos muslimah

“Harga kos mahal, masih ada aturan buat perempuan harus patuhi aturan jam malam.”

“Apalagi kos yang pakai embel-embel agama, kos muslimah, lebih mahal.”

Itu kata salah satu temenku suatu hari. Mencari rumah kos memang bikin stres bagi perempuan. Sudah dapat kos enak, tapi ada pembatasan jam malam, padahal seperti halnya mahasiswa laki-laki, banyak mahasiswi yang harus mengerjakan tugas sampai malam. 

Dan anehnya, pembatasan ini tak dilakukan pada kos-kosan laki-laki

Jika kos tersebut dekat dengan fasilitas umum dan cukup strategis, tentu harga sewa akan lebih mahal. Apalagi jika fasilitas yang diberikan cukup lengkap, seperti kamar mandi dalam, atau ruangan ber-AC.

Namun ada hal yang menarik perhatian dalam tingginya harga sewa. Terkadang perbedaan harga sewa bisa jadi cukup berbeda hanya karena ia memiliki embel-embel agama, seperti kos putri muslimah. Jadi yang boleh nge-kos hanya yang muslim saja.

Siti Khodijah, salah satu mahasiswa Universitas Brawijaya di Malang juga mengalaminya. Ia merasa kesulitan untuk mencari tempat kos lantaran harga sewa yang cukup tinggi dan suka ada embel-embel agama atau dibatasi jam malam.

“Adik saya (laki-laki) juga kuliah di Malang, harga kos dia lebih murah Rp 100.000 dibanding kos saya, padahal fasilitas yang diberikan juga sama, kasur, lemari wifi juga ada, kadang heran juga kenapa beda harga, Rp 100.000 kan lumayan buat makan,” ujar Khodijah menjelaskan sambil meneruskan pekerjaannya.

Ia kini tinggal di sebuah rumah kontrakan, jauh dari perkotaan, dengan harga sewa pertahun. Khodijah mengaku, kontrak rumah lebih membantunya menghemat uang. Sewa pertahun di rumah kontrakan 30% lebih murah daripada membayar kos bulanan.

Hal yang serupa juga dialami Kendedes, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang semester akhir ini memilih untuk bertahan di rumah kos yang ia tinggali hari ini. Sambil merajam bumbu masakan ia mulai bercerita, biaya kos di tempatnya relatif mahal namun ada banyak ingatan yang sudah ia bangun bersama kawan-kawannya di tempat itu.

“Apa ya, wes kadung kerasan (sudah terlanjur betah) jadi ya males juga mau pindah, ada banyak barang juga, jadi ribet nanti kalau pindah-pindah,” terangnya pada Konde.co (20/9). 

“Emang sih kos di sini agak mahal, tapi kayaknya kos putri semua mahal ya, yang gak mahal kos putra, kayak yang di depan itu, bedanya kan Rp50.000 kalau dibanding kos putri, paling karena kos putra gak banyak yang dibersihin kali ya,” sambungnya sambil tertawa lepas.

Ken, begitu ia akrab dipanggil, mulai membanding-bandingkan, sambil menunjuk bangunan kos yang ada di sekitarnya. Ia berujar hampir seluruh kos di daerah ia tinggal adalah kos putri/muslimah. 

“Kalau di sini emang banyak kos putri sih, kayak ini perbulan Rp 500.000,” terusnya sambil menunjuk gedung bertingkat tiga yang terlihat terbengkalai.

Ia bersama kawan seruangannya, Elsa Maulidia memiliki pendapat yang sama, harga sewa kos putri di Kota Malang cukup membuat kantong kembang-kempis, itulah sebabnya mereka memutuskan untuk berbagi kamar kos, agar biaya sewa bisa dibagi menjadi 2.

Terkadang, Elsa ada niatan untuk pindah kos sendiri demi menjaga privasi, namun jika dipikir ulang, uang untuk biaya hidup bisa membengkak. “Kadang pingin sekamar sendiri, kan lebih luas juga ya, lebih leluasa, tapi kalo inget biaya, ya, sekamar berdua aja, kadang iri sih sama kos cowok kan banyak yang lebih murah daripada kita (kos putri), rasanya pingin jadi cowok,” guraunya sambil membersihkan ruangan kosnya.

Konde.co kemudian menemui salah satu pemilik kos putri di daerah Karya wiguna, Kota Malang. 

Mia Saridewi, salah satu pemilik kos berlantai tiga itu menjelaskan, wajar saja jika harga kos putri lebih mahal, ia berpendapat jika menjaga anak perempuan harus lebih hati-hati daripada anak laki-laki.

“Ini kan amanah ya dari orang tua mereka, kami juga gak mau merusak amanah tersebut, namanya anak perempuan, ya dijaganya harus ekstra, amanah itu sih yang kita pegang,” terangnya saat ditemui. “Kalau ada apa-apa kita juga sering yang jadi tempat untuk nanya-nanya orang tua, istilahnya kayak nitipin anak mereka itu ke kita,” terusnya menjelaskan.

“Soal gedung, kenapa kok kos putri lebih mahal? karena gini, kalau kos putra rata-rata gedung yang dipake tua, gak ada pemugaran, gitu aja anak laki-laki sudah mau itu, kan beda kalau perempuan, kalau perempuan gedungnya tua, berjamur, jorok, pasti gamau mereka tinggal,” lanjut Mia sambil memindah-mindah channel TV.

Meski dalam rumah kosnya tidak ada batasan jam malam, dan akses 24 jam, namun alasan amanah, dan kebersihan jadi salah satu hal yang melandasinya berpendapat, bahwa wajar saja jika harga kos putri lebih besar daripada kos putra, lantaran kondisi laki-laki dan perempuan berbeda.

Laki-laki dinilai lebih gampang beradaptasi, bahkan dengan lingkungan kumuh, sedangkan perempuan tidak. Laki-laki bisa menjaga diri sendiri, berbeda dengan perempuan, tubuhnya harus dilimpahkan atau diamanahkan pada orang lain. 

Konsep masyarakat patriarki seperti ini yang masih berlaku dan langgeng di beberapa daerah. Landasan berfikir ini pula yang menyebabkan harga kos menjadi berbeda antara laki-laki dan perempuan, meski jenis, ukuran, dan fasilitas kamar tak jauh beda.

Di sebuah aplikasi pencarian kos online misalkan, untuk tipe kamar A di Kota Malang dengan pencarian daerah yang sama, harga kos putri bisa mencapai 400.000 rupiah hingga 600.000, sedang kos putra hanya 350.000 sampai 500.000 Jika anda mencari dengan lokasi yang berbeda sekalipun, hal yang sama lumrah ditemukan.

Jika masyarakat masih menilai perempuan adalah aset bertuah keluarga, tentu akan semakin banyak muncul turunan permasalahan yang lain, dan bersumber dari bagaimana masyarakat menilai seorang perempuan. Padahal Perempuan adalah manusia yang mampu untuk memutuskan nasibnya sendiri, tanpa keluarga besar mengamanahkan dirinya pada orang lain. 

Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!