Saatnya Kamu Speak Up, Banyak Korban Kekerasan Seksual Berjatuhan

Ini adalah waktunya speak up. Ketika ada banyak orang yang berani bicara, maka ini akan membuat para perempuan lain berani untuk bicara. Speak up secara bergantian ini akan membuat kekuatan baru bagi para korban kekerasan seksual

Tahun 2021 yang baru berlalu mencatatkan banyak hal penting bagi korban kekerasan seksual, yaitu banyak korban yang berani speak up.

Sebut saja korban kekerasan seksual yang mulai berani speak up di media sosial dan kemudian menjadi bagian dari gerakan perubahan.

Gelombang baru feminisme mencatat para perempuan di internet sebagai bagian dari gerakan sosial baru. Pertama, media sosial dianggap lebih terbuka dan inklusif di mana korban punya keleluasaan dalam mengadu atau bicara secara terbuka. Yang kedua, media sosial memang terbuka untuk membicarakan isu yang dulu dianggap tabu. Maka tahun 2021 mencatatkan ini sebagai hal penting: korban kekerasan seksual yang mulai berani bicara.

Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut sepanjang Januari-September 2021 pihaknya menerima 4500 kasus kekerasan terhadap perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan angka ini meningkat dua kali lipat dibanding periode yang sama pada 2020 dan mayoritas adalah kasus kekerasaan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual. 

Banyaknya laporan yang masuk dan terbatasnya sumber daya yang ada, membuat kasus kekerasan tidak dapat ditangani dengan baik. Pasalnya kasus yang terjadi tidak sebanding dengan kapasitas penanganan yang tersedia. Kondisi inilah yang membuat Komnas Perempuan menyalakan lampu kuning, alias mengingatkan bahwa kondisi kekerasan seksual di Indonesia sudah dalam status darurat dan butuh penanganan yang extra-ordinary. 

Kekerasan seksual terhadap perempuan layak disebut sebuah fenomena gunung es, yang kondisinya berada dalam tingkat memprihatinkan. Diyakini, ketika ada korban yang berani bicara maka akan banyak korban lain yang selama ini diam akhirnya bakal buka suara.

Dan, ini sudah kita rasakan sepanjang 2021 lalu. Di sisi lain, kesadaran untuk membela dan berdiri di pihak korban juga semakin besar. Sehingga perlahan, gunung es yang selama ini kokoh berdiri akan terkikis sedikit demi sedikit.  

Kokohnya tembok patriarki memang sering menjadi penghalang banyak orang untuk melihat bahwa kekerasan seksual merupakan pelanggaran terhadap hak mendapatkan rasa aman yang menjadi hak asasi yang disandang setiap orang. 

Sistem yang patriarkis menyebabkan kaum laki-laki merasa memiliki privilege atau kedudukan lebih tinggi dalam mengambil keputusan di berbagai aspek kehidupan, termasuk perlakuannya terhadap perempuan.

Kondisi ini membuat korban kekerasan seksual berada dalam posisi yang tidak mudah. Apalagi ketika asumsi yang dilekatkan bahwa perempuan tersebut bertingkah menggoda dengan memakai pakaian seksi yang sehingga seolah-olah layak diperlakukan dengan tidak hormat. 

Mereka lupa, banyak korban kekerasan seksual yang saat kejadian juga mengenakan pakaian tertutup, seperti berjilbab. Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh ustad pembina  pondok pesantren di Cibiru terhadap 21 santriwati adalah salah satu contohnya. 

Di sisi lain, ketika ada korban yang speak up bukannya mendapat pembelaan atau pelindungan, mereka justru sering disalahkan. Mereka harus menghadapi hujatan ataupun berbagai tuduhan dari berbagai kalangan. Padahal dengan korban speak up itu harusnya menjadi pendorong bagi pemerintah untuk mewujudkan negeri yang aman untuk semua alias negeri yang “berkemanusiaan yang adil dan beradab”.

Masih adakah eksistensi perempuan?

Terkait maraknya kekerasan seksual ini, sebagian besar masyarakat malah sibuk dengan asumsi-asumsi pribadi dan mengabaikan  isu kecacatan hukum yang merupakan inti dari masalah yang ada. Di mana kekerasan seksual belum secara rinci dirumuskan dalam sistem hukum positif di Indonesia. 

Kasus kekerasan seksual merupakan delik aduan, sehingga untuk mendapatkan keadilan korban justru harus memberikan buktinya. Proses ini sering membuat korban kembali menjadi korban lagi, sementara pelakunya lolos dari jerat pidana. 

Celah hukum yang besar dan ketidak-mampuan penegakan hukum terhadap pelaku, ditambah rendahnya nalar kritis dan kesadaran masyarakat terkait kekerasan seksual justru menambah beban yang harus ditanggung korban. 

Untuk mengurai benang kusut ini, pemerintah dan DPR tak hanya harus segera mengesahkan RUU tindak pidana kekerasan seksual/ TPKS agar menjadi payung hukum yang kuat dalam hal kekerasan seksual. Ke depan juga diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, serta penguatan lembaga pendampingan dan layanan hukum. 

Semua elemen harus dengan tegas memerangi segala bentuk kekerasan seksual dan juga lebih mempedulikan para korban agar bisa bangkit dengan trauma.

Rosita

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!