Konde.co meluncurkan hasil penelitian berjudul “Their Story: Riset Media Memandang Keragaman Gender dan Seksual Non-Normatif (LGBT)” pada Rabu, 19 Januari 2022.
Penelitian yang didukung oleh USAID dan Internews ini berangkat dari kegelisahan tim peneliti yang terdiri dari: Widia Primastika, Marina Nasution, Lestari Nurhajati, Dina Listiorini, Luviana dan Reka Kajaksana yang seringkali melihat pemberitaan terkait komunitas LGBT dengan isi berita yang mengandung stigma, subordinasi, dan diskriminasi.
Penelitian yang dimulai sejak Agustus 2021 ini bertujuan untuk mengetahui pembingkaian media mengenai kelompok atau komunitas dengan keragaman gender dan seksual non-normatif (LGBT), mengetahui kebijakan redaksi dan manajemen redaksi dalam pemberitaan mengenai kelompok atau komunitas dengan keragaman gender dan seksual non-normatif, dan mengetahui ada atau tidaknya dampak yang dirasakan oleh para jurnalis dengan identitas non-heteroseksual atau non-biner terhadap kebijakan redaksi maupun manajemen perusahaan media.
“Dari amatan kami (para peneliti-red), sejauh ini memang belum ada riset yang secara telaten meneliti seperti apa sebetulnya kebijakan redaksi media terhadap isu yang berkaitan dengan komunitas dengan keragaman gender dan seksual non-normatif ini. Dan kita tahu ya bahwa kebijakan redaksi itu menjadi salah satu basis yang sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil pemberitaan sebuah media,” ujar Widia Primastika, ketua peneliti riset ini.
Dalam riset ini, tim peneliti Konde.co melakukan 3 penelitian dengan menggunakan metode kualitatif yakni:
1) Riset framing media terhadap 10 media daring dalam periode Maret 2020 hingga Februari 2021;
2) Riset analisis kritis studi media terhadap kebijakan redaksi dengan melakukan wawancara mendalam terhadap kebijakan redaksi (4 media daring dan 2 media televisi) dalam memandang keragaman gender dan seksual “non-normatif” (LGBT);
3) Analisis wawancara mendalam terhadap 6 jurnalis dengan identitas keragaman gender dan seksual non-normatif untuk mengetahui dinamika atau perlakuan di redaksi terhadap keragaman gender dan seksual “non-normatif” serta dampak dari pemberitaan terhadap mereka.
Hasil Penelitian
Dalam riset framing, peneliti melakukan penelitian terhadap 10 media daring dengan pembaca terbanyak versi Alexa per 1 Juli 2021 yakni Okezone.com, Tribunnews.com, Kompas.com, Detik.com, Liputan6.com, Merdeka.com, Grid.id, Suara.com, Kumparan.com, Pikiran-rakyat.com. Untuk mempersempit data yang dianalisis, peneliti memilih 3 berita dari 3 topik yang mendapatkan perhatian besar dari publik yakni pemberitaan tentang pembakaran Mira, transpuan di Cilincing yang dituduh mencuri; pemberitaan tentang prank yang dilakukan oleh Youtuber Ferdian Paleka terhadap transpuan di Bandung; pemberitaan tentang ‘pesta’ di apartemen Kuningan yang diselenggarakan oleh komunitas ‘gay’.
Dari penelitian ini, Konde.co menemukan bahwa media masih menggunakan kepolisian sebagai narasumber utama dalam pemberitaan kasus kriminalitas yang terkait dengan komunitas “LGBT”, hanya sedikit media yang memilih melakukan wawancara kepada korban atau tim advokasi dari komunitas “LGBT”.
“Temuan ini semakin mengamplifikasi temuan-temuan riset sebelumnya. Artinya, sampai saat ini, kepolisian masih memiliki porsi yang luas di media dan ini sangat berpotensi memengaruhi persepsi publik terkait komunitas gender dan seksual “non-normatif” (LGBT),” sambungnya.
Selain itu, peneliti Konde.co juga melihat bahwa media masih menggunakan diksi dan sudut pandang yang berkonotasi negatif seperti bencong dan banci untuk menggambarkan komunitas transgender, serta diksi “sesama jenis”, “segolongan sama”, “ada belok-beloknya” untuk menggambarkan komunitas gay. Bahkan dalam pemberitaan terkait prank yang dilakukan oleh Ferdian Paleka, ada media yang memberikan ruang kepada Ferdian Paleka untuk menjelaskan alasan ia melakukan prank dengan landasan norma agama.
Dalam wawancara mendalam terhadap pemangku kebijakan media, ada 6 pemangku kebijakan yang diwawancara peneliti, yakni 4 media daring dan 2 media televisi. Wawancara dilakukan mengingat adanya aturan diskriminatif terhadap komunitas LGBT yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hasil riset Konde.co menemukan bahwa ada kepatuhan dari dua stasiun televisi terhadap KPI. Keduanya cenderung mengikuti aturan KPI terkait pelarangan LGBT karena adanya kepentingan rekomendasi perpanjangan izin siaran dari KPI.
Dari studi ini, Konde.co juga menemukan bahwa masih ada pemangku kebijakan televisi yang keliru memahami keragaman gender dan seksual non-normatif. Salah seorang pemimpin redaksi menyebutkan LGBT sebagai sebuah gaya hidup’ sehingga ‘tidak boleh dipromosikan’. Penyebutan LGBT sebagai gaya hidup’ bukanlah penyebutan istilah yang benar dalam mendefinisikan “LGBT”. Pun seperti halnya tidak ada penyebutan untuk istilah gaya hidup heteroseksual. Peneliti melihat ini sebagai sebuah catatan penting, sebab level pengetahuan isu di tingkat struktural teratas di sebuah media akan berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan redaksi secara keseluruhan.
Pengetahuan yang baik tentang keragaman gender dan seksual di media adalah hal penting karena media berperan dalam memengaruhi cara pandang publik umum terhadap komunitas LGBT dan isu-isu kebijakan terkait. Representasi media dapat berdampak positif bagi anggota komunitas LGBT, khususnya di kalangan remaja yang seringkali mengalami tekanan sosial saat memiliki preferensi seksual yang berbeda. Apabila media menampilkan keberagaman gender dan seksual secara positif dan tidak mendiskriminasi komunitas LGBT, maka masyarakat dapat menghargai hak asasi mereka sebagai individu.
Namun, dalam prakteknya, media tidak memberikan perhatian yang cukup serius terhadap pemberitaan terkait isu LGBT. Ini terlihat dari kebijakan redaksi, baik di media televisi maupun media daring, yang belum memiliki panduan peliputan terkait keberagaman gender dan seksualitas. Beberapa pemangku kebijakan media mengaku bahwa mereka memiliki panduan peliputan umum, hanya saja mereka tidak berkenan memperlihatkan aturan tersebut kepada tim peneliti karena dianggap sebagai rahasia perusahaan.
Di media daring, peneliti Konde.co menemukan adanya batas yang samar antara penulis berita dari kelompok jurnalis dan content creator. Dalam wawancara yang dilakukan tim peneliti Konde.co, pemangku kebijakan redaksi mengatakan bahwa content creator bertugas untuk menemukan rumusan dalam mendulang viewers. Posisi ini memiliki berbagai kebijakan tersendiri yang tidak bisa dicampuri oleh pihak redaksi.
Permasalahan lain di media daring yang menjadi temuan peneliti Konde.co yakni beban peliputan jurnalis yang relatif banyak yakni 10-12 berita per hari. Tingginya beban peliputan ini menjadikan para jurnalis dikejar jumlah kuantitas berita, dan berpotensi menomorduakan kualitas dari pemberitaan yang dihasilkan.
Saat melakukan wawancara mendalam dengan pemangku kebijakan redaksi media daring, tim peneliti menggali alasan penggunaan pihak polisi sebagai narasumber utama dalam pemberitaan kriminalitas. Dari penelitian ini, media daring masih meyakini bahwa polisi adalah otoritas pengambil kebijakan atas peristiwa kriminal. Hal tersebut terlihat dari penempatan jurnalis di pos khusus kepolisian.Selain tak memiliki kebijakan khusus terkait komunitas dengan keberagaman gender dan seksual, dari riset ini, tim riset mengetahui bahwa media tidak memiliki kebijakan untuk menyelenggarakan pelatihan terkait penulisan isu keragaman gender dan seksual “non-normatif” (LGBT).
Hasil wawancara mendalam terhadap 6 jurnalis yang memiliki identitas keragaman gender dan seksual “non-normatif” (LGBT) menunjukkan bahwa jurnalis tak hanya “menghadapi’ konten dan kebijakan redaksi, namun juga lingkungan kerja. Mereka mengakui bahwa redaksi masih kental dengan kultur homophobia dan transphobia. Kultur ini menjadikan jurnalis merasa tidak nyaman. Kultur homophobia di ruang redaksi ini berimbas pada pemberitaan.
Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan bahwa salah satu hal yang menjadi kekhawatiran media dalam menyuarakan keberagaman gender dan seksualitas dengan perspektif yang lebih progresif karena khawatir digeruduk oleh kelompok fundamentalis berbasis agama.
Pemahaman Soal Keragaman Gender
Penelitian yang dilakukan Konde.co juga menemukan adanya kesenjangan pengetahuan antar awak redaksi soal keragaman gender, sehingga pendidikan pengetahuan tentang ideologi patriarki dan SOGIE-SC (sexual orientation, gender identity, expression, sex characteristic) penting untuk dapat menguatkan perspektif gender di kalangan jurnalis.
“Melalui riset ini, kami juga merekomendasikan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mereformasi diri dan tidak menerapkan tindakan-tindakan diskriminatif yang menyebabkan ketakutan terhadap media dalam isu keberagaman gender dan seksual “non-normatif” (“LGBT”),” ujar Widia Primastika selaku koordinator penelitian.
Tim peneliti juga merekomendasikan agar Dewan Pers mendorong media untuk mempunyai kebijakan yang sensitif terhadap persoalan gender dan minoritas. Serta menyusun panduan peliputan sensitif gender dan keragaman gender dan seksual.
Menurut Widia, panduan ini penting untuk mendorong ruang redaksi agar bersikap lebih adil kepada komunitas gender dan seksual “non-normatif” (LGBT).
Sejumlah penanggap yang hadir dalam diskusi ini mengapresiasi riset ini. Selain mengupas hal yang masih jarang dibidik, timing riset ini dinilai sangat tepat.
Angela Ienes aktivis transpuan dari Gaya Warna Lentera Indonesia mengakui bahwa beberapa tahun belakangan ini ruang ekspresi bagi kelompok LGBT semakin sempit. Ia mencontohkan, pemberitaan mengenai sejumlah kejadian yang menimpa kelompok transpuan yakni pembakaran transpuan di Cilincing, kejadian di apartemen Kuningan serta prank yang dilakukan Ferdian yang dinilai memojokkan LGBT.
Hal ini membuat banyak anggota komunitas transpuan harus membatasi kegiatan mereka demi menghindari reaksi dari masyarakat.
“Media harusnya netral. Beritakan kami sesuai perspektif HAM dan samakan kami dengan kelompok lainnya,” ujarnya.
Penanggap lainnya, Heru Margianto dari Kompas.com mengatakan, jika memang ada banyak pemberitaan media yang dinilai memojokkan LGBT itu tidak selalu didasarkan pada kebencian. Dalam banyak kasus, pemberitaan tersebut disebabkan ketidaktahuan sang jurnalis terkait isu ini.
Ditambahkan, banyak insan pers di Indonesia yang masih bermasalah dengan hal yang mendasar dalam jurnalistik yakni verifikasi. Persoalan itu semakin dalam jika dikaitkan dengan isu-isu yang lebih kompleks, seperti jurnalisme damai, jurnalisme anak, termasuk isu LGBT ini.
“Ada persoalan dengan sosialisasi, saya yang merasa cukup gaul pun masih sangat kurang terpapar dengan bagaimana seharusnya pemberitaan yang berperspektif gender ini,” terangnya.
Arif Zulkifli dari Dewan Pers mengungkapkan pendapat yang sama. Menurutnya, masih banyak jurnalis yang belum memahami isu-isu mendasar terkait etika jurnalisme, apalagi jika menyangkut isu gender yang cukup rumit. Untuk itu perlu adanya panduan untuk menguatkan kapasitas jurnalis terkait pemberitaan yang lebih ramah terhadap komunitas LGBT.
Mantan Pemred Majalah Tempo ini mengatakan, selama ini media belum melihat isu LGBT sebagai isu penting, sehingga belum ada pembelaan terhadap komunitas LGBT. Namun ia melihat sejumlah media telah berhati-hati saat memberitakan isu ini dengan pemilihan diksi yang tepat, meski kadang dinilai masih belum ramah LGBT.
Arif mengatakan dalam tiga tahun terakhir, Dewan Pers tidak menerima pengaduan terkait pemberitaan LGBT yang dinilai melanggar kode etik. Laporan terkait isu ini, terakhir diterima pada 2018 yang melaporkan 8 media online yang pemberitaannya dinilai merugikannya. Kejadian yang dilaporkan terjadi pada tahun 2015.
“Sebenarnya ini sudah melampaui batas yang ditetapkan, namun karena dinilai penting maka Dewan Pers memberikan dispensasi, yakni tetap memproses laporan ini dan meminta media online tersebut menghapus berita terkait kejadian itu,” terangnya.
Rio Tuasikal, jurnalis yang juga menjadi penanggap diskusi ini mengatakan, media selama ini lebih memilih untuk memberitakan hal-hal yang kontroversial dan bukan membela komunitas LGBT yang terdiskriminasikan. Media, menurutnya baru memberitakan LGBT ketika ada kasus. Itupun dengan menjadikan polisi sebagai narasumber tunggal dan tidak mencoba memberikan ruang bagi komunitas LGBT untuk bersuara.
“Padahal media bisa memberitakan hal-hal yang positif, seperti bagaimana perjuangan mereka untuk bertahan atau capaian-capaian mereka,” ujar Rio yang saat ini sedang mengambil program Master Kajian Media di Goldsmith University of London.
Selengkapnya tentang riset ini bisa diakses disini: https://drive.google.com/file/d/1K86PAYjfaj3Z11K0nGBxFQHeQABM_AGd/view