Walau Kekerasan Seksual Banyak Terjadi, Hukuman Mati Tetap Bukan Solusi

Terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati, Herry Wirawan, dituntut hukuman mati. Di tahun 2019, tiga orang pelaku kekerasan seksual siswa bernama Muh Aris bin Syukur, Rahmat Slamet Santoso, Dian Ansori, juga dituntut hukuman mati. Jangan melanggengkan hukuman mati yang jelas-jelas hanya jadi jalan pintas, tanpa negara menyelesaikan akar masalah kekerasan seksual itu sendiri

Kekerasan seksual tak pernah bisa dianggap masalah sepele. Namun, hukuman mati tetaplah bukanlah solusi, sebab hukuman mati akan melanggar hak hidup setiap warga negara. Justru negara yang seharusnya menyelesaikan akar permasalahan kekerasan seksual itu sendiri

Pertengahan Januari 2022 lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati, Herry Wirawan, untuk dihukum mati.  Tuntutan ini, mengacu pada pasal 81 ayat 1, ayat 3 dan 5 junto pasal 76 huruf D UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU junto pasal 65 ayat 1 KUHP.

Ini bukan kali pertama hukuman mati menjadi upaya penegakan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Jauh sebelum kasus Herry, pada tahun 2016, pernah hukuman mati dilayangkan pada dalang pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun bernama Zainal alias Bos. 

Tidak hanya dituntut hukuman mati, Herry juga dituntut kebiri kimia. Herry lagi-lagi, bukanlah yang pertama mendapat ancaman kebiri kimia, di tahun 2019 tiga orang pelaku kekerasan seksual siswa bernama Muh Aris bin Syukur, Rahmat Slamet Santoso, Dian Ansori, juga dijatuhi hukuman serupa. 

Dua jenis hukuman di atas, dianggap setimpal untuk menebus kejahatan seksual para pelaku kekerasan seksual terhadap korban di bawah umur, serta ada di bawah kuasa pelaku sebagai guru agama. 

‘Kegeraman’ terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga ditangkap oleh Presiden Joko Widodo. Melalui Peraturan Presiden No 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diatur hukuman mati dan kebiri kimia.

Seolah mampu menjawab keadilan, persetujuan hukuman mati juga dilontarkan oleh beberapa tokoh publik. Mulai dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak hingga Lembaga Kesehatan Nahdatul Ulama/ LKNU Kabupaten Lebak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, secara tegas mengharapkan terkabulnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Herry (nasional.tempo.co pada 13/1/2022). Persetujuan lain hukuman mati dan kebiri kimia oleh Ketua Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Kabupaten Lebak, Siti Nurasiah (Republika.co pada 13/1/2022), serta legitimasi hukuman mati Herry melalui dalil Al-Quran oleh PWNU Jatim.

Pernyataan dan seluruh argumen persetujuan di atas patut dipertanyakan ulang. Jika hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual mampu memberikan efek jera, lalu mengapa masih ada berantai kasus serupa yang terus berulang?

Hukuman Mati: Menentang Prinsip HAM, Terbukti Tidak Mengeliminasi Kekerasan Seksual

Pada prinsipnya, setiap individu memiliki hak hidup yang tidak dapat ditangguhkan. 

Prinsip tersebut ada di dalam kovenan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Melalui dasar tersebut, menjadi aneh jika di negara ini masih mencantumkan hukuman mati untuk pidana-pidana tertentu.

Atas alasan tersebut, menurut Sandriyati Moniaga (Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM), tumpang-tindihnya aturan dan penegakan hukum di Indonesia patut dievaluasi. Ia menganggap hukuman mati adalah inkonstitusional. 

Senada dengan Sandriyati, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mempertanyakan komitmen Indonesia terhadap konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1998 (komnasperempuan.go.id pada 11/10/2021). 

Melalui pendapat Komnas HAM dan Komnas Perempuan dapat digaris bawahi, bahwa dalam segala kondisi apapun, hukuman mati telah merenggut hak dasar manusia yang tidak bisa ditanggalkan.

Maka dalam kasus Herry, hukuman mati tidak dapat dibenarkan. Serta, hukuman kebiri kimia yang bahkan ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena telah melanggar kode etik.

Terbukti dari vonis hukuman mati Zainal di tahun 2016, sama sekali tidak mengeliminasi kejahatan seksual lainnya. Bahkan jika dispesifikasi kejahatan seksual terhadap anak, keberulangan kasus 2016, terjadi lagi hingga kasus Herry yang berhasil terkuak pada tahun 2021. 

Meski tidak bisa disamakan detail konteksnya, namun ini menjadi bukti bahwa hukuman mati tidak menyelesaikan masalah kekerasan seksual. Penguatan aturan penegakan yang dilakukan oleh negara, ternyata tidak menjawab akar permasalahan kekerasan seksual dan perlindungan terhadap korban.

Hukuman Mati adalah Bentuk Pengabaian Kasus Kekerasan Seksual oleh Negara

Selain melanggar prinsip HAM, hukuman mati di dalam kekerasan seksual bisa dilihat sebagai upaya instan negara dalam menyelesaikan masalah. Hukuman tersebut tidak mengindahkan hak rehabilitasi pelaku serta jaminan korban. 

Hal ini menjadi salah satu indikasi, bahwa negara telah gagal melihat akar struktural yang membentuk kekerasan seksual.

Upaya-upaya preventif, penanganan, dan hak rehabilitasi, sesungguhnya telah diusulkan dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). 

Ketika negara begitu mudah mengabulkan tuntutan hukuman mati dan menolak grasi, lantas mengapa salah satu landasan hukum yang secara komprehensif mengatur dan mencegah kekerasan seksual harus mendapat jalan terjal untuk disetujui? 

Padahal, RUU TPKS merupakan contoh produk hukum yang memandang bahwa KS harus dipahami sebagai problem struktural.

Penting bagi negara menjawab banyaknya kasus KS yang terjadi hampir di setiap lapis kehidupan, baik privat maupun publik. Luasnya permasalahan KS tidak bisa hanya dijawab dengan menghukum mati pelaku kejahatan seksual. 

Sebagai problem struktural, pemerintah dapat melihat ulang sistem hukum, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya, yang belum sensitif terhadap adanya permasalahan KS. Misalnya di dalam kasus Herry. Apakah dengan menghukum mati, lantas permasalahan KS di pesantren akan terselesaikan? 

Hukuman mati tidak akan mengurai akar masalah. 

Kekerasan seksual di pesantren, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Herry, kasus kekerasan di pesantren Shiddiqiyah Jombang, kasus pencabulan dua pengasuh pesantren di Ogan Ilir  terhadap 26 santri laki-laki, tentu tidak akan terselesaikan. 

Kekosongan yang harus digenapi oleh negara, justru adalah tidak adanya sistem pendidikan yang ramah pada persoalan ketidakadilan gender. Kondisi ini terjadi baik di lembaga pendidikan umum maupun lembaga pendidikan keagamaan  

Selain itu, juga perlu menyediakan sistem mumpuni dan ruang pengaduan jika ada kekerasan seksual di pesantren, hingga ketersediaan ahli dan tenaga pengajar yang memahami hak korban serta pelaku. 

Ingat, sekali lagi kejahatan seksual adalah masalah struktural. Maka, perlu juga upaya dari hulu ke hilir yang dilakukan dalam mencegah dan menanganinya. Dalam kasus kekerasan seksual, juga perlu dipusatkan perhatian adalah pada kepentingan korban, alih-alih menghukum secara ‘instan’ para pelakunya. 

Jadi, jangan langgengkan hukuman mati yang jelas-jelas hanya jadi jalan pintas bagi negara! Tanpa menyelesaikan akar masalah kekerasan seksual itu sendiri. 

(Foto: hukumonline.com)

Seli Muna Ardiani

Mahasiswi Magister Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia (UI). Aktif di lembaga Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Forum Perempuan Filsafat (FPF).
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!