Film  ‘The Worst Person in the World’:  Tak Harus Menikah dan Punya Anak Untuk Disebut Sebagai Perempuan

Film "The Worst Person in the World", adalah film tentang kemenangan Julie, seorang perempuan yang sedang melewati masa krisisnya. Julie sedang mencari jati diri, sedang menghadapi masa krisis perempuan ketika ia menuju umur 30 tahun, antara memilih tak cepat menikah, juga tak punya anak.

Beberapa hari lalu saat valentine, ada banyak tweet yang lewat di beranda saya. Ada tweet yang menganggap valentine adalah budaya barat, ada juga tweet yang menuliskan bahwa budaya kita adalah budaya toksik yang menganggap: perempuan harus punya pacar dan harus menikah

Di bawah konstruksi patriarki, perempuan punya tekanan yang lebih besar untuk segera menikah dibandingkan laki-laki. Penelitian yang menyebut bahwa kesuburan perempuan berkurang setelah usia 35 tahun, sementara laki-kaki bisa mempertahankan kesuburan hingga usia sangat tua seringkali dijadikan dasar untuk menuntut perempuan cepat-cepat menikah. Dengan logika itu pula, perempuan seolah dinilai hanya berdasarkan kemampuannya memiliki anak.

Film “The Worst Person in The World” (2001) merupakan dark romatic comedy garapan sutradara Joachim Trier yang menyajikan kisah seorang perempuan, Julie yang sedang mencari jati diri. Julie yang sedang menghadapi masa krisis perempuan yang sedang menuju usia 30 tahun. Ia memilih tak cepat menikah, juga tak punya anak. 

Melalui film yang mendapatkan nominasi Oscar 2022 untuk Best Original Screenplay dan Best International Feature Film ini, Trier menyajikan narasi bahwa kebingungan serta proses pencarian jati diri bisa begitu indah, dan mungkin harus dicoba. Kadang, dalam proses pencarian jati diri itu kita sering kebingungan atau bahkan melakukan kesalahan. Tapi tak apa, dari semua itu kita bisa mengambil banyak pelajaran.

Berbahasa Norwegia, film komedi romantis ini di awalan film berfokus pada seorang perempuan bernama Julie (Renate Reinsve). Di bangku kuliah, ia berpindah dari jurusan bedah medis ke psikologi. Belum juga benar-benar mendalami bidang yang berkaitan dengan jiwa manusia itu, ia sudah merasa tertarik dengan bidang lain: fotografi.

Bersamaan dengan itu, Julie juga bergonti-ganti pasangan, tetapi dari banyak pasangan Julie praktis hanya Aksel (Anders Danielsen Lie) dan Eivind (Herbert Nordrum) yang termasuk dalam pusat cerita di film ini.

Ekspektasi Masyarakat terhadap Tubuh Perempuan

Pada satu waktu saat berlibur bersama teman-teman Aksel, keduanya mendapatkan kamar yang paling kecil karena mereka belum menikah dan tidak punya anak. Malamnya, Julie dan Akses kembali berbicara serius tentang keinginan Aksel yang berusia sekitar 40 tahun untuk segera menikah dan memiliki anak. Julie yang belum genap 30 tahun mengatakan ia ingin melakukan banyak hal sebelum memiliki anak.

Aksel menilai aneh, cara berpikir Julie . Mayoritas orang, menurut Aksel, memiliki anak tanpa mengatur hidup mereka dahulu. Mereka berusaha memperbaiki diri setelahnya.

Tapi Julie bukan–dan ia tidak ingin–menjadi seperti mayoritas orang.

Masih di tengah liburan, Julie mengkritisi mengapa banyak pembicaraan soal seksualitas laki-laki, tapi lebih sedikit tentang seksualitas perempuan. Di kesempatan lain, ia menulis tentang “Oral Seks di Tengah #metoo” yang mendapatkan banyak tanggapan di Facebook. Aksel menyukai tulisan kritis itu, tapi ia tidak menyepakatinya. Konflik kecil keduanya ini akan menentukan bentuk hubungan mereka ke depan.

Aksel juga tokoh yang cukup menarik. Ia tidak secara eksplisit tampak sebagai laki-laki yang seksis. Tapi kita bisa terus-menerus melihat bagaimana ia mencoba membingkai Julie menurut ekspektasinya sebagai laki-laki cishetero berkulit putih.

Karya-karya komik Aksel yang seksis pada beberapa bagian juga kemudian dikritik oleh seorang perempuan. Ia berargumen karyanya tak menggambarkan dirinya, ia tidak akan melakukan pelecehan terhadap perempuan sebagaimana yang dilakukan tokoh dalam karyanya. Namun melalui komik Aksel, ia terlihat mempertahankan karya itu sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Kita bisa menilai kalau Aksel tidak berusaha meragukan gagasan patriarkis yang ditemui dan tertanam dalam kepalanya.

Merayakan Kehidupan yang Lamban

Sutradara Tier mungkin tidak sepenuhnya berpihak kepada tokoh Julie dalam film ini. Pasalnya bagian besar film “The Worst Person in the World” hanya berfokus pada perihal asmara Julie. Penonton tidak akan mendapatkan jawaban terkait kegiatan Julie di luar percintaan dan keluarga, selain bahwa Julie bekerja sebagai penjaga toko buku.

Pada kesempatan yang lain, Julie menceritakan pada seorang ibu bahwa berdasarkan penelitian terbaru, anak yang kerap dipeluk oleh orang tuanya akan menjadi pecandu narkoba. Alih-alih ditanya lebih jauh soal penelitian itu, Julie malah mendapatkan serangan personal. Si ibu bertanya apakah Julie sudah punya anak.

Pertanyaan tersebut seringkali diajukan ketika perempuan yang belum mempunyai anak memaparkan laporan ilmiah tentang hubungan anak dan orang tua. Padahal siapapun boleh membaca sebuah laporan ilmiah. Julie yang sempat berkuliah medis kemudian mencoba menjelaskan bahwa hasil penelitian memang bisa berseberangan dengan apa yang disebut “intuisi” orang tua.

Julie mungkin gambaran perempuan kelas menengah berkulit putih di Eropa yang memperjuangkan kebebasan. Julie sadar, ia memiliki ketertarikan di luar menjadi istri dan ibu sehingga ia tidak siap memiliki anak. Keputusannya untuk childfree juga diperkuat oleh trauma yang disebabkan oleh ayahnya.

Julie mungkin belum selesai dalam mengeksplorasi dunia, tetapi ia tetap menikmatinya. Tanpa suami maupun anak, Julie tetap manusia dan perempuan yang utuh. Ia bahkan menjadi teman yang baik dan hangat bagi Aksel di hari-hari terakhir kehidupan komikus itu.

Julie mungkin bisa menjadi acuan kita yang ingin menjalani hidup yang lebih santai. Memiliki “kompetisi” dengan diri sendiri. Meniti “timeline” kita sendiri. Karena mungkin “menjadi lamban” juga jalan perlawanan di tengah dunia yang menuntut kecepatan ini.

Di balik semua kebingungan dan berbagai salah langkah yang diambil Julie, selalu ada pengalaman dan pembelajaran dalam menjalani hidup. Sehingga, meski lambat dan berkelok, Julie memiliki bekal yang cukup untuk menyongsong hari-harinya di masa yang akan datang. 

(Sumber gambar: Michigansportzone.com)

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!