Jalan Hidup Yosepha Alomang: Perempuan Pejuang Dari Papua

Perjuangan untuk melawan ketidak-adilan di Papua mendominasi jalan hidup Yosepha Alomang atau Mama Yosepha. Peraih Yap Thiam Hien dan Goldman Award ini mau, semua pihak memperlakukan secara adil masyarakat dan para perempuan di Papua

Tubuh Yosepha Alomang tidak terlalu besar. Rambutnya ikal, khas Suku Amungme, Papua. Suaranya selalu lantang saat mengisahkan perjuangannya menyuarakan hak-hak masyarakat Papua khususnya perempuan Papua. Ia hadir dalam Kongres Perempuan Papua di awal tahun 2000 silam.

Devi Anggraini, aktivis Perempuan Aman melukiskan, Yosepha Alomang juga selalu mampu menggemuruhkan semangat perempuan adat yang hadir dalam “Sarasehan Perempuan Adat: Menggugat Posisi Perempuan Adat atas Masyarakat Adat dan Negara” dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) di Jakarta, pada 1999 silam.

Kesaksian perempuan kecil bersuara lantang dengan kepalan tangan yang kuat itu menggugah semangat di hati puluhan perempuan adat lainnya yang hadir dari berbagai wilayah dan kampung-kampung di Indonesia.

Semangat perempuan itu mampu menyalakan bara di hati para perempuan adat untuk bangkit melakukan perlawanan atas penindasan dan kekerasan yang mereka alami. Teriakan “perempuan adat bersatu tak bisa dikalahkan” menggemuruh memenuhi ruangan sarasehan dan membakar semangat solidaritas para perempuan adat yang berkumpul di Jakarta, tak lama setelah tumbangnya Orde Baru.

Perempuan itu adalah Yosepha Alomang, atau yang yang biasa dipanggil dengan Mama Yosepha. Perempuan adat pejuang yang berdiri tegak membela hak asasi manusia dan kedaulatan atas wilayah hidup Suku Agimuga di Amungme yang dirampas oleh PT. Freeport, perusahaan tambang emas dan biji tembaga terbesar di dunia.

Memotong pipa Freeport, aksi pendudukan bandara Timika selama 3 hari merupakan tindakan terorganisir yang dilakukan oleh Mama Yosepha dan masyarakatnya. Aksi ini dilakukan setelah serangkaian perjuangan mereka dianggap angin lalu oleh pemerintah dan PT Freeport.

Perjuangan panjang lagi tak mudah dilalui oleh perempuan adat Amungme ini. 

Kekerasan dan tindak represif dari aparat harus dihadapi perempuan kelahiran Tsinga, Papua, pada tahun 1940an.

Yosepha yang sejak kecil sudah yatim-piatu lantas hidup bersama ayah tirinya. Mereka hidup berpindah-pindah, baik di masa penjajahan Belanda ataupun setelah Papua kembali ke tangan Indonesia.

Yosepha muda menikah pada tahun 1970an. Saat itu, ia telah bekerja sebagai bidan dan banyak membantu orang-orang lain. Sejak muda Yosepha telah memperlihatkan tanda-tanda tentang tekad yang besar untuk mandiri.

Ketika suaminya mulai banyak minum minuman keras. Yosepha, yang menganggap bahwa alkohol dapat merusak warga Papua lantas mengampanyekan menolak peredaran minuman keras di Timika. Ketika anak bungsunya berusia 8 bulan, Yosepha akhirnya meninggalkan sang suami yang tak bisa meninggalkan kebiasaannya minum-minum.

Melawan ketidak-adilan

Perjuangan melawan ketidak-adilan di Papua mendominasi jalan hidup Mama Yosepha. Johanna, anak sulungnya meninggal karena kelaparan ketika bersembunyi di hutan menghindari operasi militer yang dilakukan setelah warga memotong pipa milik Freeport yang dinilai telah merampas tanah milik warga Amungme di Agimuga.

Sekembalinya dari persembunyian, dengan dibantu gereja ia dan para perempuan Papua lainnya membangun koperasi untuk memasarkan buah-buahan dan sayuran hasil kebun mereka. 

Freeport diminta mendukung rakyat setempat dengan membeli hasil kebun mereka. Namun, perusahaan itu mengimpornya dari luar Papua. Para perempuan itu melakukan protes dengan menghancurkan buah-buah dan sayuran impor.

Pada 1991, Yosepha menduduki bandar udara Timika, dengan memasang api di landasan udara, sebagai tanda protes atas penolakan Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mendengarkan suara rakyat setempat terkait perlakuan buruk terhadap rakyat Papua. Berbagai aksi ini membuat Mama Yosepha dituduh memihak OPM, hingga pada Pada 1994, ia ditangkap dengan tuduhan menolong Kelly Kwalik (tokoh OPM). Bersama Mama Yuliana, tokoh perempuan Papua lainnya, ia diperam selama seminggu di tempat pembuangan kotoran manusia.

Pada 1995, Yosepha mengajukan gugatan perdata terhadap PT Freeport di Amerika Serikat, dan menuntut ganti rugi bagi dirinya dan untuk kerusakan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan ini selama bertahun-tahun beroperasi di Amungme. Kegigihan Mama Yosepha akhirnya membuahkan hasil.

Gugatannya dikabulkan dan perusahaan yang bermarkas di AS ini diwajibkan membayar ganti rugi sebesar 248.000 dolar AS. Tapi Mama Yosepha tak menggunakan uang itu untuk kepentingannya pribadinya. Uang itu digunakannya untuk membangun Kompleks Yosepha Alomang berupa monumen pelanggaran HAM, klinik, panti asuhan dan gedung pertemuan.

Pada 1999, Mama Yosepha diganjar penghargaan Yap Thiam Hien sebagai apresiasi atas perjuangannya dalam menegakkan hak asasi bagi warga Papua. Yap Thiam Hien adalah tokoh pembela hak asasi manusia yang juga pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum. Sedangkan penghargaan Yap Thiam Hien diberikan kepada para tokoh yang dinilai memiliki sumbangan besra dalam memperjuangkan HAM di Tanah Air. 

Beberapa tokoh yang juga pernah menerima penghargaan ini adalah Munir dan Baharuddin Lopa. Kali ini, Mama Yosepha menggunakan uang yang diterimanya untuk mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan). Pada tahun 2001, Mama Yosepha dianugerahi Anugerah Lingkungan Goldman atas perjuangannya untuk kelestarian lingkungan di Papua.

Semua ini menjadikan Mama Yosepha yang kini tinggal di Timika, Papua sebagai tokoh penting bukan hanya dalam gerakan perempuan, tetapi juga pejuang HAM dan lingkungan di Papua. Dan, ia tetap  

Pada akhir 2003, saat sebuah lubang penambangan milik Freeport di Grasberg runtuh dan menewaskan 9 orang buruh tambang, ia kembali menyerukan agar Freeport menghentikan operasinya di Indonesia, karena dinilai telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup besar-besaran di Papua.

Terus berjuang

Semangat juang Mama Yosepha berlanjut hingga sekarang. Di usianya yang mulai senja, ia terus menyuarakan dukungannya untuk terwujudnya keadilan di Papua. Saat terjadi aksi rasialis di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur yang memicu kerusuhan di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 lalu, Mama Yosepha lantang memberikan pembelaan.

Ia meminta aparat berlaku jujur dan mengungkap semua sesuai apa adanya. Yang salah katakan salah, lanjutnya, dan semua harus diadili secara hukum. Lugas Mama Yosepha menyatakan tidak terima orang Papua dihina dan disamakan seperti binatang.

“Jadi kami tra terima kemarin dibilang kera berjalan. Itu dong pu bahasa yang kasar,” ujarnya sebagaimana dikutip Tirto.

Mama Yosepha meminta segala bentuk kekerasan terhadap orang Papua segera dihentikan dan hak-hak orang Papua diperhatikan dan diperlakukan secara manusiawi. Ia meminta pemerintah dan seluruh elemen masyarakat menjaga orang Papua yang tinggal di Pulau Jawa serta daerah-daerah lainnya. Sebaliknya warga Papua pun menjaga orang dari luar daerah yang tinggal di Papua.

Mama Yosepha juga menjadi orang yang berdiri paling depan saat Veronica Koman, pengacara HAM dijadikan tersangka penyebaran hoaks dan masuk daftar buronan Polri. Koman dijadikan tersangka pada 4 September 2019, atau beberapa hari setelah Surya (FRI WP) dan beberapa aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) ditahan atas dugaan makar.

Veronica Koman menjadi orang non-Papua kedua setelah Surya Anta yang dijadikan tersangka makar terkait masalah Papua. Mama Yosepha menyebut Veronica Koman adalah sosok yang dikirimkan Tuhan untuk Papua.

Amole Vero, di manakah?  Vero, kamu seorang pejuang keadilan dan pembebasan Papua. Vero jangan takut. Tuhan utus Vero untuk jadi mama Papua. Engkau membantu untuk keadilan, perdamaian dan pembebasan Papua. Kami tetap dukung,” ujarnya video yang diterima Jubi.co.id, Kamis (19/9/2019).

Mama Yosepha menegaskan, kehadiran Veronica Koman memberi kekuatan kepada mama-mama Papua untuk terus berjuang. Koman juga yang selama ini membela anak-anak Papua yang dijadikan tersangka dan ditangkap dengan tuduhan makar.

Perlakuan yang adil dan saling menghormati menjadi hal yang selalu diperjuangkan oleh Mama Yosepha yang kini usianya sekitar 80 tahun. Mungkin mimpinya belum sepenuhnya terwujud, tapi setidaknya dia telah berjuang dan telah menularkan semangat juangnya kepada para perempuan lain di Indonesia. 

(Disarikan dari berbagai sumber)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!