Film “City of Joy”: Hanya Demi Tambang Emas, Para Perempuan Kongo Diperkosa Massal

Lelaki pertama memperkosaku, diikuti yang kedua, ketiga dan keempat. Setelah yang keempat, aku tak sadarkan diri. Aku dibawa ke Rumah Sakit Panzi dan sampai di sana, aku masih tidak dapat berjalan. Aku katakan pada Ibuku, aku hanya ingin mati. Film “City of Joy” dengan detail menceritakan drama tragic perkosaan yang dialami perempuan akibat konflik dan perang.

Karena emas semuanya berubah, dan aku berada di tempat yang tak pernah ku sangka. 

Aku ingat, mereka mengikat Bibi ku, mereka menusuk lehernya, menadahi darahnya. Saat mereka yakin, Bibiku sudah meninggal, mereka menyiramkan darah ke seluruh bagian rumah. Mereka menebar ketakutan.

Enam orang Prajurit mendatangi ku, yang pertama memperkosa ku, diikuti yang kedua, ketiga dan keempat. Setelah yang keempat, aku tidak sadarkan diri. 

Aku kemudian dibawa ke Rumah Sakit Panzi dan sampai di sana, aku masih tidak dapat berjalan. Aku katakan pada Ibu ku, kalau aku tidak gila, tapi aku hanya ingin mati. Aku berdoa meminta kematian, tapi tidak dikabulkan. Aku tidak bisa menjalani hidup.

Ini adalah sebagian kisah dari film “City Of Joy” cerita tentang lembaga yang membantu para korban kekerasan seksual di Kongo yang dilanda perang. Lembaga City Of Joy kemudian mengembalikan jati diri dan kekuatan para perempuan korban kekerasan seksual

Konflik dan perkosaan ini menimpa para perempuan di Kongo Timur. Di mana, penguasaan tambang dan perkosaan bukan hanya sebagai kejadian tetapi, perkosaan menjadi bagian dari perang atau sebagai strategi perang. 

Semua berawal pada tahun 1994 ketika ribuan prajurit Rwanda terlihat mendaki gunung-gunung mendekati wilayah tambang. 

Tahun 1996, Perang dimulai di wilayah Kongo bagian Timur. Saat itu, masyarakat tidak benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi. Awalnya, terlihat sebagai perang ekonomi yang melibatkan semua negara besar di Dunia. Mereka sengaja membuat kekacauan di desa-desa agar dapat mengontrol pertambangan.

Adalah Christine Schuler-Deschryver yang pertama mengidentifikasi kondisi ini. Ia terlahir dari ayahnya yang berasal Belgia dan ibunya Kongo. Kedua orangtuanya bertemu saat Belgia menjajah Kongo, dan Christine memihak rakyat Kongo yang berjuang melawan penjajah. 

Dukungan Christine kepada Kongo terlihat jelas saat ia melihat peta dengan tanda perkosaan dan pertambangan. Ia juga melihat fakta, perkosaan banyak terjadi di desa-desa di sekitar area tambang. Hal itu dipicu oleh orang-orang penting dan perusahaan multinasional mempekerjakan prajurit dan milisi, karena mereka mengenal hutan dan tahu bagaimana cara menjaga tambang.

Milisi adalah budak. Meski mereka tetap hidup dalam kemiskinan, mereka memiliki senjata. Mereka memiliki senapan, sehingga mereka beranggapan bisa makan, tidur, dan bisa sesukanya memperkosa perempuan. Milisi menyerang desa-desa, memperkosa anak-anak, ibu-ibu, nenek-nenek. 

Lantas, apa yang dilakukan para perempuan korban yang selamat? Mereka memilih pergi meninggalkan desanya dan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Lantas para milisi itu mengambil alih dan menguasai desa yang dekat dengan tambang.

Sementara itu, ada Dr. Denis Mukwege, seorang ginekolog yang bekerja sebagai Direktur Rumah Sakit Lemera. Saat rumah sakit itu diserang, banyak pasien dan staf terbunuh. Dalam kondisi jalan terblokir, Denis berusaha mencoba mengevakuasi beberapa pasien.

Denis kemudian mendirikan Rumah Sakit Panzi di Bukavu. Orang pertama yang mendapatkan perawatan medis adalah perempuan korban perkosaan. 

Saat merawat korban, Ia menyadari bahwa perkosaan bukanlah insiden khusus yang dilakukan oleh orang gila/ barbar, tetapi perkosaan digunakan sebagai senjata perang. Senjata perang yang sangat matang. Para perempuan diperkosa di depan suami, ayah dan/atau anak-anak mereka. 

Suami/Ayah mereka tidak bisa menerimanya, itu menyebabkan suami/ayah merasa malu. Untuk mempertahankan harga diri, para laki-laki itu memilih meninggalkan istri/anak perempuan mereka 

Para perempuan yang diperkosa dianggap sebagai kutukan, semua beban kesalahan jatuh ke pundak mereka. Padahal mereka sebenarnya adalah korban.

Itu sebabnya, Christine dan Denis, tidak lagi menyebut perlakuan itu sebagai perkosaan tapi sebagai seksual terorisme.

City of Joy dan Semangat Perubahan

Lantas ada tempat bernama City of Joy. City of Joy (COJ) merupakan tempat yang menampung para korban, sekaligus menawarkan kepedulian dan tentu juga harapan. 

City of Joy kemudian dipilih menjadi judul film ini oleh Madeleine Gavin, sutradara sekaligus penulis film dokumenter yang dirilis pada 2016 lalu. Film ini tayang di Netflix.

Saat aku tiba, disini, aku tidak merasa senang, karena aku selalu merasa tidak berharga dan aku memendamnya sendiri, tapi akhirnya ku katakan pada diri ku, mungkin disini masih ada yang peduli.

Ketika semuanya dimulai, kami tidak tahu apa-apa tentang perang. Ketika kami mendengar kata “perkosaan”, kami tidak tahu itu apa, kami bahkan tak paham arti kata itu. Kami mendengar prajurit datang entah darimana, mendengar banyak wanita yang tewas. Itulah saat kami hidup dalam ketakutan.

Tahun 2011 ketika ada pembukaan “City of Joy”, dibangunlah pusat advokasi untuk korban perkosaan dan kekerasan gender di Kongo. City of Joy mengundang semua perempuan korban perang untuk pelatihan selama enam bulan, setelahnya para perempuan menjadi pemimpin, yang mampu membawa perubahan saat kembali ke komunitasnya.

Para perempuan mengikuti kelas hukum, saat belajar tentang hukum kekerasan seksual di Kongo, para perempuan menyadari ada banyak hal yang dilarang dilakukan, tapi tetap dilakukan seakan-akan tidak ada aturannya. Itu berarti kami, harus mampu mempertahankan hak-hak kami sendiri. 

Kelas berbagi dan mencintai diri sendiri, para perempuan diminta untuk melihat vagina mereka, untuk peduli atas yang ada di sana, dan menggambarkannya. Mereka adalah yang paling berhak melihat vaginanya, bahkan sebelum suaminya, dokter atau siapa pun. 

Perempuan diajak untuk berani menyebut kata “vagina” dan menceritakan semua kisahnya. Tidak ada kisah yang lebih baik atau buruk, semua kisah berhak diceritakan dan didengarkan agar tidak terjadi kepada orang lain. Dan, kekerasan seksual bisa disudahi. 

Selanjutnya, kelas bela diri, memberikan kemampuan dan keberanian untuk melawan dan mempertahankan diri mereka, siapa pun tidak boleh ada melakukan perbuatan apapun pada tubuh mereka. 

Lalu, kelas menjahit, mengajarkan kepercayaan diri pada para perempuan untuk berani menunjukan dirinya dengan pakaian yang mereka jahit dan kenakan dengan berbagai motif dan warna.

Setelah enam bulan, para perempuan lulus dan kembali ke masyarakat dengan berani dan penuh kebahagiaan. Mereka tidak takut lagi akibat penderitaannya dahulu, tidak lagi merasakan sakit yang amat sangat. 

Mereka telah menerima diri mereka sendiri. Mereka telah mengubah kisah pahitnya menjadi kekuatan untuk membawa perubahan. Banyak dari mereka telah berhasil menjadi Advokat untuk korban kekerasan seksual, melanjutkan sekolah keperawatan  hingga mendirikan rumah lansia bagi lansia yang terpisahkan dari keluarganya. 

Beberapa di antaranya menjadi penata rambut, mempelopori pertanian kolektif dan anggota keamanan City of Joy, serta menjadi pekerja sosial sekaligus pemimpin City of Joy.

Para perempuan yang telah melalui saat terburuk hidupnya, kini menjadi suara terkuat di Kongo. Para perempuan ini memiliki kekuatan yang tak terbayangkan, untuk menciptakan perubahan.  

City of Joy, kota yang penuh suka cita, kota yang mengubah derita menjadi kekuatan, karena semua perempuan yang menjadi korban berhak bahagia. 

Salah satu subyek film ini yaitu ginekolog dan aktivis Dr. Denis Mukwege, meraih penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 2018

Film dokumenter produksi Netflix ini wajib ditonton. Menonton film dokumenter ini, akan semakin membuka mata kita bahwa dalam setiap konflik, perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan. Dan, sering mereka harus berjuang sendiri untuk bangkit dan mengatasi kesulitan yang dihadapinya. 

Dan City of Joy memberikan harapan.

Tutut Tarida

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!