Hasil Data Base Perempuan: Kekerasan Perempuan Meningkat, Paling Banyak di Jawa

Hasil data base perempuan mencatat kasus kekerasan pada perempuan meningkat. Kekerasan tertinggi terjadi di Pulau Jawa, dan anak perempuan paling rentan mengalami kekerasan seksual.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komnas Perempuan, dan Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual (FPL) menyusun laporan bersama sebagai hasil dari upaya sinergi database mengenai kekerasan terhadap perempuan (KtP) di Indonesia di tahun 2021.

Sebelumnya, ketiga lembaga telah melakukan pendokumentasian dan penanganan KtP sendiri-sendiri. Kemen PPPA mengembangkan system database Simfoni PPA, Komnas Perempuan punya  Sintaspuan dan FPL sebagai jejaring lembaga layanan berbasis masyarakat mengembangkan Titian Perempuan.

Sejak 2001, Komnas Perempuan telah mengupayakan kompilasi data KtP berskala nasional melalui Catatan Tahunan (CATAHU) KtP yang dilansir setiap 8 Maret untuk memperingati hari Perempuan Sedunia. Selama bertahun-tahun CATAHU menjadi rujukan utama data di tingkat nasional mengenai pola dan tren kasus kekerasan terhadap perempuan, sampai disadari data nasional tidak dapat hanya bergantung pada CATAHU.

Lantas pada Desember 2019 KemenPPPA, Komnas Perempuan, dan FPL membentuk Kesepakatan Bersama tentang Sinergi Data dan Pemanfaatan Sistem Pendokumentasian Kasus Kekerasan terhadap Perempuan untuk Pemenuhan Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan.

Kesepakatan ini ditujukan untuk konsolidasi dan sinergi bersama untuk memadukan sistem pendokumentasian kasus KtP di Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sinergi pelaksanaan tugas, fungsi, dan sumber daya ketiga lembaga dalam upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan. 

Sinergi ini penting agar pendokumentasian data bisa lebih lengkap akurat dan akuntabel serta memenuhi kebutuhan para pengambil kebijakan untuk merumuskan langkah  penanganan kasus KtP di Indonesia.

“Data yang lengkap, akurat dan akuntabel sangat penting untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah kelembagaan. Dengan ketersediaan data itu, bisa dikenali dari mana kita beranjak, hasil yang akan dicapai sekaligus menavigasi arah yang dituju untuk mempercepat dan memperkuat pencapaian yang diharapkan,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andi Yentriyani di sela webinar “Gerak Bersama Dalam Data: Laporan Sinergi Database Kekerasan terhadap Perempuan Tiga Lembaga” pada 28 Desember 2021

Ditambahkan, data yang akurat dan akuntabel juga pivotal untuk merumuskan langkah-langkah kebijakan, kelembagaan, program, anggaran, dan pelayanan bagi korban kekerasan. Semua ini dibutuhkan untuk mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan secara tepat, efektif dan berkesinambungan, baik dari sisi pencegahan, pendampingan dan pemulihan korban maupun penegakan hukumnya.

Sinergitas ini juga dimaksudkan sebagai wadah dalam meningkatkan kapasitas masing-masing lembaga dalam mendokumentasikan data dan menangani kasus kekerasan berbasis gender sesuai Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan/ General Recommendation No. 19 dan 35 CEDAW. Rilis data kondisi kekerasan terhadap perempuan dalam periode Januari–Juni 2021 ini adalah langkah awal dari tujuan jangka panjang itu.

Kekerasan Perempuan meningkat signifikan

Dalam laporan itu tercatat perempuan korban kekerasan yang melaporkan kasusnya ke Simfoni PPA adalah  9.057 korban (naik dari dari 8.714 kasus di tahun sebelumnya), Sintaspuan Komnas Perempuan menerima 1.967 kasus/orang korban, atau naik 57% dari jumlah pelaporan pada kurun waktu yang sama di tahun lalu. Sedangkan Titian Perempuan FPL tangani 806 korban.

Data menunjukkan usia kerentanan anak perempuan dan perempuan dewasa berdasarkan jenis dan bentuk kekerasannya berbeda. Data Simfoni PPA, Sintaspuan dan Titian Perempuan menunjukkan, anak perempuan paling rentan mengalami kekerasan seksual (3248 orang; 152 orang; 84 orang). Sedangkan pada data Simfoni PPA, perempuan dewasa paling tinggi mengalami kekerasan fisik (2324 orang).

Namun, data Sintaspuan dan Titian Perempuan mencatat bahwa kekerasan psikis tertinggi dialami oleh perempuan dewasa (893 orang; 349 orang).

Meninjau ranah kekerasan, ketiga lembaga secara konsisten memotret pelaku pada ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi personal adalah suami (2135 orang; 373 orang; 399 orang).

Secara geografis, sebaran kasus KtP tertinggi terjadi di Jawa. Namun ini tidak berarti kasus KtP di wilayah lain lebih rendah. Tingginya pengaduan di Jawa karena adanya infrastruktur layanan dan dukungan pendokumentasian yang baik serta komitmen pemerintah daerah dalam penanganan kasus KtP.

“Semua ini menunjukkan ada peningkatan yang signifikan pada angka pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam setahun terakhir,” tambah Andi.

Kompilasi data dari ketiga institusi ini juga menunjukkan persoalan kekerasan seksual perlu mendapatkan perhatian serius, terutama di tengah keterbatasan kapasitas layanan untuk dapat memenuhi kebutuhan mendesak bagi korban. 

Rekomendasi untuk Perjuangan Korban

Hambatan yang dihadapi Komnas Perempuan antara lain adalah rekapitulasi data yang masih manual dan memungkinkan tumpang tindih penghitungan, beragamnya pemahaman mengenai kekerasan berbasis gender yang  memungkinkan perbedaaan kategorisasi untuk tindak kekerasan serupa, kapasitas input data yang beragam dan pengisian data yang bersifat sukarela sehingga menyebabkan inkonsistensi sumber data.

Perbedaan istilah dan kategori data mengakibatkan belum bisa disusun gambaran utuh mengenai kecenderungan kasus kekerasan terhadap perempuan berdasarkan perbandingan data yang dimiliki oleh ketiga lembaga.

Selain itu, juga dibutuhkan sinergi data untuk meminimalkan tumpang tindih data, sekaligus menjadi ruang mengembangkan mekanisme rujukan dalam menyikapi kebutuhan korban untuk mengakses keadilan dan pemulihan.

Mengingat pentingnya penyatuan data ini, Komnas Perempuan berkomitmen meneruskan Kerjasama sinergi database di tahun berikutnya. Tindak lanjut dari sinergi database perlu dikaitkan dengan pengembangan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) berbasis teknologi informasi dan komunikasi, sehingga dapat mempercepat terwujudnya inisiatif One Big Data Kekerasan terhadap Perempuan demi penegakan Hak Asasi Perempuan di Indonesia.

Untuk mendukung ini semua diusulkan sejumlah rekomendasi. Pemerintah diminta membangun sistem layanan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan yang terpadu dengan membangun sinergitas yang melibatkan Lembaga layanan berbasis masyarakat.

Di tingkat daerah, Pemda perlu menegaskan komitmen politik pada koordinasi penanganan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan dengan memastikan dukungan alokasi dana khusus.

Dalam membangun infrastruktur sistem layanan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara dan Lembaga Layanan berbasis masyarakat harus memperhatikan kelompok paling rentan seperti perempuan disabilitas, perempuan lansia, anak perempuan korban kekerasan. 

Karena kekerasan tertinggi pada ranah privat adalah kekerasan terhadap istri, maka Kementerian Agama diminta untuk menguatkan materi terkait kesetaraan gender dalam pendidikan calon pengantin/kursus calon pengantin (suscatin).

Di sisi lain, DPR dan Pemerintah diminta untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan mengakomodir kebutuhan korban. 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!