Mau Dunia Yang Setara? Duniamu Harus Bebas Dari Bias dan Diskriminasi

Untuk terwujudnya dunia yang setara gender, maka seisi dunia harus bebas dari berbagai macam bias, stereotip, serta diskriminasi. Sayang, kondisi ini masih jauh dari kenyataan.

Walau pun sudah terdapat kerja-kerja nyata untuk mereduksi ketidaksetaraan terhadap perempuan, mulai dari pemberdayaan perempuan dari segi sosio-ekonomi, pendidikan, serta adanya kovenan internasional untuk mengatasi ketimpangan tersebut, tapi kita masih menyadari, masih banyak ketimpangan yang terjadi terhadap perempuan dalam skala global.  

Temuan-temuan dari World Economic Forum’s Report 2021 mengungkap, ketimpangan gender global masih banyak ditemukan di berbagai sektor kehidupan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Temuan ini tak hanya di negara sedang berkembang tapi juga di negara maju. 

Ketika ketimpangan masih terjadi secara terbuka, maka posisi perempuan semakin rentan terhadap proses ketidaksetaraan yang mengakibatkan mereka terjebak dalam jerat kekerasan dan ketidakadilan yang terus terjadi. Kondisi ini kian bertambah buruk dengan dampak pandemi Covid-19 yang dialami perempuan

Di Indonesia, ketimpangan gender juga masih menjadi masalah besar. Merujuk kepada pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga yang menggarisbawahi peringkat Indonesia yang berada di posisi 101 dari 156 negara. Ini artinya ketimpangan gender di Indonesia masih tinggi dan perlu perhatian serius. 

Dalam skala regional, yakni di kawasan Asia Tenggara, indeks ketimpangan gender Indonesia adalah yang tertinggi sementara Singapura dengan skor terendah. Ini artinya, Singapura memiliki pencapaian terbaik dalam mewujudkan kesetaraan gender, sedangkan Indonesia berada di posisi terbawah dibanding negara ASEAN lainnya. 

Pengukuran ini dilakukan di berbagai aspek seperti layanan kesehatan reproduksi yang baik, layanan pendidikan, kesetaraan dalam kesempatan kerja, keterlibatan perempuan yang aktif dan berkualitas di sektor politik baik di parlemen maupun pemerintah. 

Kampanye untuk Pemberdayaan dan Kesetaraan

Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret selalu diramaikan dengan kampanye mengenai kesetaraan bagi perempuan. 

Dan, pada tahun 2022, kita diingatkan bahwa kampanye tersebut bersifat interseksional. Artinya, untuk pencapaian dunia yang setara gender, maka seisi dunia harus bebas dari berbagai macam bias, stereotip, serta diskriminasi. Hal tersebut dapat dicapai dengan kesadaran pemerintah dan masyarakat bahwa dunia ini dihuni oleh manusia yang beragam dan bersifat inklusif. Bagaimana perbedaan yang ada seharusnya dihormati dan dimengerti demikian adanya.

Pemahaman interseksionalitas ini akan mengarah pada tercapainya kesetaraan bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 yang mengangkat tema #BreakTheBias, bias apa yang dimaksud dalam peringatan hari penting ini? Bagaimana kaitannya dengan perempuan Indonesia yang masih berjuang dengan kerentanan yang dialaminya? Akankah pemerintah, baik nasional dan daerah, serta masyarakat secara luas merespon peringatan hari perempuan internasional dengan sadar memandang bahwa masih terdapat jurang lebar untuk mengatasi masalah yang dialami oleh perempuan Indonesia?

Kampanye untuk “Membongkar bias demi terwujudnya perempuan yang berdaya dan setara” sudah seharusnya terus diangkat demi tercapainya pemberdayaan dan kesetaraan perempuan di seluruh sektor tanpa terkecuali. 

Ketidaksetaraan ini telah menempatkan perempuan di Indonesia dalam posisi yang rentan mengalami kekerasan baik kekerasan seksual, kekerasan psikis, maupun kekerasan ekonomi.

Kita tentu masih ingat fase darurat kekerasan seksual pada tahun 2021. Kasus kekerasan seksual justru terjadi di lembaga yang seharusnya menjadi ruang aman, seperti fasilitas pendidikan dan institusi agama tempat para orang tua menitipkan anak-anak perempuannya untuk dididik dan mendapatkan pembelajaran. 

Mirisnya, beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual itu justru dilakukan oleh para pendidik serta aktor/publik figur yang diharapkan menjadi panutan bagi masyarakat. 

Salah satunya kekerasan seksual di Boarding School Cibiru, Bandung. Di mana pengasuh Ponpes, Herry Wirawan melakukan kekerasan seksual terhadap 21 orang anak didiknya. 

Di Jakarta, seorang siswi ketika masih duduk di kelas 5 di sebuah sekolah Katolik mengalami pelecehan oleh seorang Pastor. Selama 29 tahun lamanya ia bungkam, melaporkan kepada ibunya yang meneruskannya ke lembaga namun ironisnya pastur bersangkutan justru masih bertugas hingga saat kasus ini diungkap. 

Kerentanan perempuan makin menjadi selama masa pandemi Covid-19. Terutama dari segi ekonomi ketika sektor usaha kecil mikro dan menengah dan informal terhimpit, kira-kira 93 persen perempuan merupakan orang-orang kunci yang menggerakannya dan banyak dari mereka yang tidak dapat bekerja kembali (kemenkeu.go.id, 2021). 

Tidak hanya dari sektor ekonomi, namun lebih jauh lagi paparan dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengelaborasi peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebesar hampir 75 persen. Ini muncul karena para perempuan menghadapi beban kerja rumah tangga yang bertambah serta kekerasan terjadi ketika mereka dianggap tidak mampu melakukannya dengan baik.

Ketidaksetaraan telah membuat perempuan harus bekerja lebih berat dan berupaya lebih keras untuk mendapatkan perlakuan yang setara dengan laki-laki. Dari pemaparan di atas, terlihat jelas masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan untuk menghapus ketimpangan gender di Indonesia. 

Dibutuhkan sosialisasi secara masif tentang kesetaraan gender kepada masyarakat luas. Semakin banyak orang yang sadar akan kesetaraan gender, maka upaya untuk membongkar konstruksi sosial yang selama ini sangat merugikan perempuan akan lebih mudah dilakukan. 

Satu hal yang tak kalah penting adalah tindakan afirmasi. Di mana perempuan berhak mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Fanny S Alam

Alumni of Australia Awards for Indonesia 2020, Alumni of IVLP US Dept. of State Program 2020, Regional Coordinator of Bandung School of Peace Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!