Riset: Media Tak Punya Kebijakan yang Sensitif Isu Keragaman Gender dan Seksual Non-Normatif

Kebijakan redaksi media masih mengacu pada aturan-aturan diskriminatif pada isu LGBT. Riset yang dilakukan Konde.co menemukan beberapa redaksi termasuk redaksi media besar mengatakan bahwa ketimpangan pemberitaan mengenai LGBTIQ masih terjadi.

Riset yang dilakukan oleh Remotivi.com pada 2016 serta Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat/LBHM pada 2017 mengungkap peran media dalam membangun stigma negatif yang mendorong perilaku diskriminatif dan pemahaman homofobik terhadap individu atau kelompok dengan keragaman gender dan seksual non-normatif (LGBTIQ).

Selang beberapa tahun berlalu, stigma dan ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas gender yang dilakukan media, terutama media online sejak 2016, masih banyak ditemukan.

Pada 2022, Konde.co, media online yang fokus mengangkat isu kesetaraan gender dan minoritas, dan Internews, organisasi nirlaba untuk media internasional, meluncurkan hasil riset terhadap sejumlah media di Indonesia dan menguak kebijakan internal redaksi di media TV dan media online dalam memberitakan LGBTIQ.

Riset yang berjudul “Their Story”: Riset Media Memandang Keragaman Gender dan Seksual Non-normatif ‘LGBT’ tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan pemberitaan mengenai LGBTIQ masih terjadi.

Salah satu temuan riset mengenai kebijakan internal redaksi menunjukkan bahwa redaksi tidak memiliki kebijakan khusus atau panduan yang pasti dalam penulisan berita mengenai individu atau komunitas LGBTIQ. Hal ini menyebabkan berita cenderung tidak berimbang dan masih menggunakan istilah-istilah yang mengandung stigma.

Apa Kata Media tentang LGBTIQ?

Seorang informan yang merupakan pimpinan redaksi di sebuah stasiun TV mengatakan bahwa LGBTIQ adalah “gaya hidup yang tidak bisa dipromosikan”.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa redaksi tidak memahami individu atau komunitas LGBTIQ.

Informan dari stasiun TV berbeda mengatakan bahwa media TV cenderung patuh pada Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang meminta lembaga penyiaran untuk tidak memberikan ruang bagi praktik, perilaku, dan promosi LGBTIQ.

Surat edaran (SE)KPI tersebut jelas bersifat diskriminatif dan sebenarnya tidak diatur dalam UU Penyiaran No.32 tahun 2002.

SE itu juga bertolak belakang dengan salah satu pasal P3SPS yang menegaskan bahwa lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan program yang merendahkan atau melecehkan suku, agama, ras, gender, dan golongan tertentu, bukan melarang untuk tampil.

Mengapa redaksi media cenderung mengacu pada aturan-aturan diskriminatif tersebut?

Riset menemukan beberapa redaksi termasuk redaksi media besar seperti Metro TV, mengatakan tidak memiliki, bahkan merasa tidak perlu, panduan khusus terkait pemberitaan mengenai individu atau komunitas LGBTIQ.

Menurut pemimpin redaksi Metro TV, belum ada peristiwa khusus di masyarakat yang mengharuskan mereka membuat panduan. Tampaknya media sudah melupakan ujaran kebencian yang telah mereka buat, terutama pada 2016-2018, yang menyebabkan kepanikan moral terhadap komunitas LGBTIQ.

Mereka tidak menyadari, berita yang timpang akan menuntun masyarakat ke persepsi yang keliru dalam memahami fenomena keragaman gender dan seksual.

Inklusivitas yang seharusnya ada di ruang redaksi, justru menjadi hal yang masih diperjuangkan. Media masih “membatasi” diskusi terkait isu LGBTIQ. Jurnalis yang menaruh perhatian pada isu ini dianggap tidak kompeten dalam isu lain.

Menurut informan lain yang merupakan seorang jurnalis, ketika mereka berusaha membuka diskusi di ruang redaksi, para pemangku kebijakan di media tersebut cenderung takut menyuarakan keberagaman gender dan seksualitas dalam perspektif progresif. Pihak media khawatir akan digeruduk oleh kelompok agama fundamentalis.

Pengetahuan jurnalis dan redaksi dalam memahami isu LGBTIQ pun tampaknya masih jauh dari harapan. Hasil riset menunjukkan tidak ada satu pun media online yang melakukan pembekalan khusus pada awak medianya sehubungan isu sensitif ini.

Mereka tidak mendapatkan sarana, akses, serta materi yang cukup terkait peliputan dan penulisan isu-isu LGBTIQ. Bisa dipahami bila berita cenderung diskriminatif dan penuh prasangka.

Meski informan dari redaksi media online menyatakan bahwa isu LGBTIQ ini tidak terlalu “menjual”, namun faktanya konten berita tentang individu atau kelompok LGBTIQ justru sangat banyak di media online.

Riset Konde.co dan Internews meneliti 10 media online dengan pembaca terbanyak di Indonesia, yakni Okezone.com, Tribunnews.com, Kompas.com, Detik.com, Liputan6.com, Merdeka.com, Grid.id, Suara.com, Kumparan.com, dan Pikiran-rakyat.com, selama periode Maret 2020 sampai Februari 2021 dan mendapatkan total 1.814 berita tentang isu LGBTIQ selama periode tersebut.

Artinya, jumlah pemberitaan yang berkaitan dengan komunitas LGBTIQ ini tidak sedikit, dan masih “laku” untuk dimuat di media online.

Adanya content creator juga melemahkan kontrol redaksi terhadap pemberitaan isu LGBTIQ. Para content creator ini ada di semua media online dan bekerja dengan target mendapatkan klik sebanyak-banyaknya dari para pembaca.

Dampaknya, mereka kerap menuliskan informasi yang tidak mempertimbangkan kode etik jurnalistik.

Mengharapkan para jurnalis di media online sepenuhnya memperhatikan prinsip standar hak asasi manusia dan penghormatan terhadap keberagaman gender dan seksual ketika menulis berita tampaknya tidak mudah.

Para jurnalis memikul beban berat, karena mereka ditargetkan menulis 10-15 artikel berita dalam sehari, sehingga mereka mengutamakan semata-mata kuantitas, bukan kualitas pemberitaan.

Menagih Tanggung Jawab Media

Salah satu peran penting media adalah menyuarakan kelompok rentan dan minoritas, termasuk suara kelompok LGBTIQ. Mereka harus diberikan ruang untuk memperjuangkan hak dasarnya.

Kecenderungan media yang mengeksploitasi pemberitaan kelompok LGBTIQ dari sisi kriminalitas dan kontroversi, sebagaimana ditunjukkan hasil riset kami, haruslah dihapuskan. Media harus mulai menekankan bahwa komunitas LGBTIQ merupakan bagian penting dari hak asasi manusia.

Saat ini, beberapa pihak, seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan SEJUK (Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman), tengah menggodok semacam buku panduan penulisan mengenai kelompok LGBTIQ bagi jurnalis, .

Dari riset ini, kami menemukan beberapa “harapan” bahwa sebagian personel redaksi mengaku akan menerima panduan penulisan berita LGBTIQ bila diberikan. Beberapa redaksi media juga akan membuka peluang kerjasama untuk mengadakan pelatihan penulisan isu keragaman gender dan seksualitas.

Tulisan ini adalah hasil riset Konde.co yang didanai oleh Internews dan USAID, dengan kolaborasi para peneliti dan penulis Widia Primastika, Lestari Nurhajati, Dina Listiorini, Marina Nasution, Luviana, dan Reka Kajaksana

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Dina Listiorini dan Lestari Nurhajati

Dosen. peneliti untuk media dan isu seksualitas, Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Dosen dan Peneliti Kajian Media, London School of Public Relation (LSPR) Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!