RUU TPKS Dikebut Agar Cepat Disahkan, Aktivis Perempuan: Awas Ada Bolong dalam Implementasinya

RUU TPKS akan segera disahkan pada Selasa, 5 April 2022. Namun ada sejumlah persoalan yang dilihat oleh para aktivis dan Komnas Perempuan. Salah satunya adalah dimasukkannya pasal aborsi sebagai kekerasan seksual, dan tak adanya pasal yang mengatur lembaga pengawasan independen. 

Memasuki penghujung Maret 2022, angin segar berhembus dari Komplek Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta. Pada Senin (28/3/2022) DPR dan Pemerintah mulai melakukan pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Pembahasan akan dilakukan secara maraton selama satu pekan ini, dan diharapkan RUU TPKS yang sudah lama ditunggu-tunggu ini sudah bisa disahkan pada Selasa (5/4/2022).

Ratna Batara Munti, Pengurus Bidang Advokasi Kebijakan, Asosiasi LBH APIK Indonesia/Direktur LBH APIK Jawa barat yang juga Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban (JPHPK) memberikan sejumlah catatan terkait pembahasan RUU TPKS yang saat ini sedang berlangsung.

Menurutnya proses pembahasan terkesan dikebut. Pasalnya untuk membahas 588 daftar inventaris masalah atau DIM akan dikejar hanya dalam waktu 4 hari, yakni dari 28 hingga 31 Maret).  Lantas pada 4 April sudah masuk Tim Perumus (Tim Perumus) dan 5 April sudah harus ketok palu. 

“Padahal RUU TPKS adalah hukum pidana khusus yang beban muatan hukum materil dan formilnya cukup banyak. Seharusnya pembahasan jangan tergesa-gesa, sehingga bisa lebih eksploratif, lebih cermat, menjangkau kompleksitas kasus kekerasan seksual (KS) dan rumusannya bisa menjawab persoalan di lapangan.” ujar Ratna dalam keterangan tertulis yang diterima Konde pada Senin (28/3/2022).

Ia menekankan, pengesahan tidak harus dipaksakan hanya untuk mengejar momentum hari Kartini atau menghindari Bulan Puasa. Selama proses pembahasan perlu dilakukan simulasi  hukum materil dan formil untuk memastikan RUU bisa implementatif dan solutif.

Dari simulasi yang dilakukan, khususnya terkait pengaturan bentuk KS  dan hukum acara terkait layanan dan restitusi,  teridentifikasi ada bolong-bolong atau celah dari RUU TPKS versi DPR maupun DIM Pemerintah.

“Kami telah menyampaikan masukan konkret terkait isu-isu krusial tersebut ke pimpinan dan anggota Panja, maupun pemerintah  agar bisa diakomodasi dalam RUU,” ujarnya.

Terkait substansi, Koalisi mengapresiasi diusulkannya tambahan dua bentuk KS, yakni perbudakan seksual dan pemaksaan perkawinan oleh pemerintah. Namun, Jaringan Pembela Hak Perempuan (JPHPK) menyayangkan sikap pemerintah menghapus rumusan eksploitasi seksual dan pelecehan seksual berbasis elektronik dari RUU.

JPHPK juga menyoroti DIM Pemerintah yang mengkategorikan aborsi sebagai kekerasan seksual. JPHPK mengusulkan agar eksploitasi seksual dan KS siber dipertahankan dengan penambahan unsur-unsur deliknya, bukan dihapuskan. 

“Selain itu, agar usulan ketentuan aborsi sebagai KS agar ditiadakan, dan sebagai gantinya,  memasukkan pemaksaan aborsi ke dalam RUU sebagai tindak pidana,” imbuh Ratna.

Ditegaskan oleh Ratna, pemaksaan aborsi merupakan kekerasan seksual, tetapi bukan aborsinya itu sendiri. Menurutnya, perempuan dengan kondisi tertentu, seperti korban perkosaan ataupun menderita penyakit yang mematikan, berhak mengakses aborsi yang aman. Dan, menurut Ratna hal itu telah diatur dalam UU Kesehatan. 

Komnas Perempuan Ingatkan Pentingnya Pemantau Independen

Terpisah, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi langkah ini. Komnas Perempuan berpendapat dibutuhkan Undang-undang yang komprehensif untuk pencegahan, penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual. Untuk itu enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual harus diakomodir dalam UU TPKS yang akan segera disahkan ini. 

Enam elemen tersebut adalah jenis tindak pidana kekerasan seksual, hukum acara pidana khusus yang meliputi penanganan kasus kekerasan seksual sejak penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan, pemidanaan terhadap pelaku, pencegahan serta pengawasan dan pemantauan.

Dari telaah yang dilakukan, naskah RUU TPKS dan DIM yang diajukan Pemerintah secara umum telah mengakomodasi lima pertama. Namun, elemen keenam yaitu “Pemantauan dan Pengawasan” belum terakomodir.

Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, aspek pemantauan dan pengawasan ini penting guna memastikan tercapainya tujuan pemberantasan tindak pidana kekerasan seksual yang komprehensif. Untuk pemantauan ini tidak perlu dibentuk lembaga baru dan bisa memaksimalkan pengalaman dari Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM), termasuk oleh Komnas Perempuan, Komnas HAM dan lembaga pengawas eksternal yang  independen seperti Komnas Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan ataupun Komisi Yudisial.

Komnas Perempuan memandang, hal ini perlu dimasukkan dalam pasal di UU TPKS sedangkan detail pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

“Dalam draft yang saat ini sedang dibahas, memang ada disebutkan pengawasan tetapi hanya oleh pihak internal. Dari pengalaman yang sudah ada, tanpa adanya pengawas independen sulit mewujudkan penyelesaian yang adil bagi korban seperti yang selama ini terjadi,” ujar Andi dalam jumpa pers yang digelar pada Selasa (29/3/2022).

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan, keberadaan lembaga pengawas independen sudah diusulkan sejak 2014 dan terus disuarakan saat Komnas Perempuan melakukan audiensi dengan Pemerintah, DPR maupun pimpinan partai politik.

Namun pada kenyataannya, butir ini tidak dicantumkan dalam draft final RUU TPKS maupun DIM yang diajukan Pemerintah. Menguatkan pendapat Andi, Siti Aminah menegaskan pentingnya lembaga indpenden ini guna memastikan Negara menjalankan kewajibannya dalam memenuhi dan melindungi hak korban kekerasan seksual secara purna sejak dari pencegahan, hingga pelaksanaan peradilan pidana dan pemulihannya.

“Keberadaan lembaga pengawas yang independen juga akan mengurangi konflik kepentingan bila Pemerintah sebagai pelaksana UU TPKS dimandatkan akan fungsi pemantauan dan pengawasan implementasi RUU tersebut,” papar perempuan yang biasa disapa Ami ini.

Usulan Komnas Perempuan agar ditunjuk menjadi lembaga yang melakukan pengawasan dan pemantauan didasarkan pada beberapa pertimbangan. Salah satunya, ini selaras dengan tujuan dibentuknya Komnas Perempuan yakni untuk mengembangkan suasana kondusif bagi pencegahan, penanganan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan (termasuk kekerasan seksual).

“Komnas Perempuan  telah memiliki modalitas yang mumpuni untuk menjalankan pemantauan terhadap pelaksanaan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual. Sebagai LNHAM, Komnas Perempuan telah memiliki mekanisme pemantauan, kesiapan sumber daya dan mekanisme kerja untuk melakukan pemantauan penerapan RUU TPKS ke berbagai wilayah di Indonesia,” imbuh Ami.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!