Tetap Kerja Walau Kena Covid-19: Derita Perempuan Pekerja Migran Indonesia di Abu Dhabi

Tetap kerja walau dalam kondisi terkena Covid-19, inilah yang dialami Sari, salah satu pekerja rumah tangga migran di Abu Dhabi. Ia tetap saja merawat majikannya dan membersihkan rumah. Selanjutnya, memasak dan menyiapkan makanan di jam-jam makan dan stand by bila majikannya ingin dibuatkan kopi, camilan, dan makanan lainnya.  

4 Februari 2022. Pukul 5 sore waktu Abu Dhabi. Sari, seorang perempuan pekerja rumah tangga, turun dari apartemennya bersama dua ekor anjing Pekingese yang berjalan setengah berlari. Ada perasaan senang, Sari akhirnya dapat sedikit menghirup udara segar. Tapi ada yang membuatnya cukup ‘gerah’, dia kini harus menutupi sekujur tubuhnya dengan alat pelindung diri atau APD, selain mengenakan masker saat menjalankan aktivitasnya sepanjang hari. 

Dua jam sebelumnya, majikan yang mempekerjakan Sari bangun tidur. Jam segitulah, rutinitas Sari dimulai. Pertama, menyiapkan sarapan untuk sepasang suami istri berkebangsaan Urdu dan Maroko itu. Lalu, Sari mesti membawa turun 4 ekor anjing untuk buang air besar di area khusus pada halaman apartemen. Biasanya, Sari akan membawa dua ekor anjing bergantian agar lebih mudah mengendalikan mereka. 

Tapi seminggu ini, rutinitas petang itu terasa semakin berat. Sudah berhari-hari, badan Sari demam, kepalanya sakit, seluruh badannya nyeri seperti dipukuli. Selera makan Sari juga tak ada, bibirnya kering keabuan. Di kondisi itu, Sari harus tetap bekerja sambil menahan sakit yang menjalar ke tubuhnya. 

Usai mengurus anjing-anjing majikannya, Sari biasanya bisa membersihkan tempat tidur hanya dalam 30 menit. Tapi sejak pandemi, Ia harus menghabiskan waktu 2 jam. 

“Selain mengganti sprei, selimut, menyapu dan mengepel. Juga harus menyemprotkan disinfektan,” ujar Sari melalui sambungan video call, beberapa waktu lalu. 

Dia kemudian membersihkan seluruh ruang apartemen dan kamar mandi dengan prosedur yang sama. Selanjutnya, memasak dan menyiapkan makanan di jam-jam makan dan stand by bila majikannya itu ingin dibuatkan kopi, camilan, dan lainnya.  

Satu prosedur tambahan, sejak mereka bertiga terinfeksi Covid-19, ketika Sari ke luar kamar untuk bekerja dan berinteraksi dengan pasangan itu, Sari harus mengenakan APD dan masker, menjadikannya lebih kerepotan terutama saat memasak. 

Terinfeksi Covid-19: Tak Ada Libur, Beban Berkali Lipat Semakin Berat

Libur bekerja di saat terinfeksi Covid-19, hanya berlaku untuk majikannya di tempatnya bekerja. Tapi, tidak bagi Sari yang tetap harus bekerja seperti biasa dalam kondisi sakit. 

Bagi Sari selama majikannya itu di rumah, 24 jam bersama pasangan itu adalah seperti empat kali beban kerjanya lebih berat. Dia yang biasanya melayani keduanya sebelum dan sepulang kerja, kini Sari harus melayani mereka kapan pun mereka butuhkan. 

Ditambah prosedur berpakaian, cara membersihkan rumah, memasak dan aktivitasnya yang harus mematuhi protokol keamanan Covid-19, menjadikannya berkali lipat lebih menguras tenaga dan waktu. Hal yang terberat, dia masih harus tetap bekerja meskipun sama-sama terinfeksi Covid-19. 

Bukankah harusnya ada cuti atau pengurangan beban kerja ketika Sari diketahui terinfeksi Covid-19? Seharusnya memang demikian. Tapi nyatanya, Sari bukannya mendapatkan cuti sakit, dia malah harus merawat pasangan itu dan beban kerjanya yang lebih menumpuk. 

Tragisnya lagi, Sari tidak mendapatkan pengaturan jam kerja yang layak. Bukan berdasarkan jam kerja “normal”, Sari harus mengikuti jam kerja bangun dan beraktivitas majikan yang mempekerjakan. Mereka mulai bangun pukul 3 sore waktu Dubai, dan baru tidur paling cepat biasanya jam 1 dini hari. Padahal, Sari adalah seorang muslim yang harus tetap bangun dan menjalankan sholat ketika subuh. Sari akhirnya tetap harus memulai aktivitas sejak pagi hari. 

Seperti halnya Sari, hal inilah yang juga selama ini menjadi pertanyaan: seberapa besar adanya ruang negosiasi dapat dibuka antara kebiasaan PRT migran dan keluarga yang mempekerjakannya? Apakah hal ini sudah menjadi pemikiran banyak orang terutama majikan yang mempekerjakan PRT migran? 

Bukan hanya menyoal jam kerja, Sari pun harus menerima kenyataan bahwa majikannya tak menjamin perlindungan dan kebutuhan dasar kesehatannya. Pasangan itu hanya membiayai Sari untuk pemeriksaan Covid-19 pertama. Pemeriksaan selanjutnya termasuk biaya untuk vitamin dan obat-obatan, Sari harus ambil dari gajinya. 

Hubungan kerja seperti ini, tentu saja beresiko membuat PRT migran bisa bangkrut bahkan bisa berutang, bila kondisinya terganggu saat pandemi. Bahkan menyedihkannya lagi, ada yang harus meregang nyawa karena minimnya jaminan kesehatan bagi PRT migran. 

“Ini baru ada kabar, dua PRT asal NTT meninggal karena Covid-19. Tidak dapat dikembalikan ke keluarganya, karena tidak ada nomor telepon dan alamat yang dapat dihubungi. Belum ada konfirmasi dari KBRI, karena pihak sini terlalu lama, akhirnya dikuburkan di sini,” terang Sari. 

Sari menduga, kedua PRT tersebut bisa jadi “tak tertolong” karena situasinya serupa dengannya, tidak mendapatkan perawatan yang baik dari majikan. Semakin diperparah, saat perlindungan dampak pandemi bagi PRT migran belum menjadi perhatian negara (asal dan tujuan). Dampaknya, tentu saja tak ada mekanisme yang dapat memantau seberapa jauh para pemberi kerja melindungi para PRT di masa pandemi. Termasuk, jika ada kekerasan yang mereka alami. 

Situasi jaminan kesehatan yang buruk, Sari merasakan, diperberat juga dengan beban kesehatan mental yang juga rentan terganggu. Jika sebelumnya, kala Sari lelah bekerja, dia masih bisa mencuri-curi waktu untuk sekedar berbincang bersama PRT di taman apartemen. Namun sejak pandemi memburuk lagi di awal tahun 2022, dia kehilangan momen refreshingnya itu. 

“Masih untung aku masih dapat menelpon keluarga dan agen. Sebagian kawan-kawan ada yang tidak boleh memegang handphone,” kata Sari.

Masalah Berlapis, Perjuangan Hak-hak PRT Harus Terus Digalakkan

Sampai hari ini, PRT migran memang masih menghadapi situasi serba sulit. Masih ada pemberi kerja dan perekrut yang membolehkan hal-hal tidak manusiawi bagi PRT terus berlangsung, seperti memutus komunikasi PRT dengan lingkungan dan orang-orang yang dapat memberikan dukungan dan pertolongan.

Di sisi lain, stigma PRT migran sebagai pembawa virus memang sudah cukup mendapat perhatian mata dan telinga dunia. Tetapi, diskriminasi terhadap mereka masih “mendarah daging” dan  masih belum hilang. Hal-hal mendasar seperti: ketika sakit, sulitnya berhenti bekerja dan mendapatkan perawatan, bahkan belum merdekanya hak-hak PRT untuk sekadar berkomunikasi dengan orang-orang yang ia sayang dan butuhkan. 

Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian terus terngiang menuntut jawaban:

Apa sebenarnya yang memberatkan para pemberi kerja untuk memanusiakan PRT sebagaimana manusia lainnya? Padahal sudah pasti, tanpa PRT mereka tidak dapat hidup sejahtera? Mengapa PRT sebagai  buruh yang terdekat dan 24 jam bersama pemberi kerja,  tapi masih terus yang terjauh dari jangkauan rasa kemanusiaan?

Mengapa ada Sari yang harus membiayai sendiri ketika  terinfeksi Covid? Mengapa ada dua PRT dari NTT yang kemungkinan besar kematiannya karena Covid tidak akan diketahui keluarganya? Seberapa besar upaya antar negara (asal dan tujuan bekerja) memberi hati dan anggarannya untuk perlindungan penuh  bagi PRT migran di masa pandemi? 

Juga bagaimana terkait keselamatan dan kesehatan kerja lainnya agar pemulihan dan keselamatan pekerja tidak bergantung pada kesadaran orang perorangan pemberi kerja?

Apa yang dapat dilakukan negara ketika kondisi kerja memburuk dan beban kerja PRT migran bertambah di masa pandemi? 

Padahal sebelum pandemi pun, pekerjaan PRT migran termasuk jenis pekerjaan yang masih rentan bagi para perempuan, akibat gaji rendah, eksploitasi jam kerja dan beban kerja yang dapat semena-mena, tidak ada tunjangan kesehatan dan sosial dan statusnya belum diakui sebagai pekerja.  Belum lagi kerentanan mereka mendapatkan diskriminasi dan kekerasan karena suku, ras, agama, kebangsaan, statusnya sebagai migran dan tubuh-gendernya sebagai perempuan.

Lalu, mungkinkah pandemi menjadi titik tolak layanan kesehatan publik dan jaminan sosial bisa didesak menjadi lebih baik bagi PRT? Sekaligus “jalan pintas” untuk menurunkan hierarki pemberi kerja dan pekerja? Serta menghapuskan pemiskinan pekerja juga peminggiran (eksklusi) sosial PRT migran? 

Bagaimanapun juga tak mudah perjuangannya, upaya-upaya menuju kesejahteraan dan memanusiakan PRT harus terus diupayakan.  

Dewi Nova

senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!