Mencari pasangan yang setara itu katanya sulit. Pakai banget. Ada yang mengatakan, ini seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Banyak data yang menyebutkan soal ini: rasa-rasanya waktu pacaran, dia kelihatan baik banget, punya rasa humor yang tinggi, bisa jadi teman yang menyenangkan dan pasangan yang hebat.
Riset yang dilakukan Ramesh Kaipa, Associate Professor of Communication Sciences & Disorders, Oklahoma State University dalam Theconversation.com menyebut, bahkan banyak pasangan yang memanggil dengan panggilan sayang atau baby talk di masa-masa ini karena saking sayangnya, seperti memanggil “sayangku” “manisku,” “boneka bayiku,” atau “sweetheart”. Pasangan seperti ini sampai bisa merancang bisnis bareng atau membuat kegiatan atau program bareng. Dari urusan hati sampai finansial rasanya bisa sehati deh!
Tapi setelah menikah, kenapa kenyataannya bisa berputar 180 derajat? yang dulu penyayang, easy going, kini suka marah-marah, apa saja bisa bikin ribut. Yang dulu komunikasinya nyambung, sekarang gak nyambung. Yang dulu bisa menjalankan bisnis bareng secara enjoy, sekarang bisnis atau kerjaan bareng jadi berantakan.
Banyak pasangan di dunia ini mengalaminya. Kita juga sering melihat di media sosial pasangan-pasangan artis atau influencer yang terlihat adem ayem dan jarang terdengar kabar miring, relationship goals pokoknya! tapi ternyata tiba-tiba pisah atau cerai.
Mungkin memang menikah itu tidak selalu seindah yang kita lihat, dan menjalankan pernikahan itu tidak sama seperti kayak di masa pacaran. Malah ada pameo yang menyebut: menikah tak pernah seindah pacaran. Ini yang membuat banyak pasangan seperti mau lepas dari ikatan perkawinan.
Apakah ini merupakan ciri-ciri pasangan yang kurang mengenal satu sama lain? Atau pasangan bisa berubah ketika menikah– karena dalam situasi yang rumit: mesti mencari uang, mesti memenuhi kebutuhan, akibatnya gak punya banyak waktu untuk berkomunikasi berdua. Ataukah ini terjadi karena sebenarnya kita tidak benar-benar mengenal pasangan kita?
Banyak pasangan bercerai, diantaranya adalah karena tidak adanya keterikatan emosional/cinta, tidak ada rasa menghormati, sampai tidak satu tujuan lagi. Yang awalnya bisa mengelola hidup dan finansial bareng, jadinya bubar.
Saling Membangun Relasi Sehat
Lalu apa sebenarnya konsep relasi yang sehat? Benarkah ini semua terjadi karena adanya hubungan yang toksik diantara keduanya—sebuah relasi yang sulit bagi perempuan ketika berada dalam situasi ini
Toxic relationship adalah sebuah hubungan yang tidak setara atau ada dominasi dari satu pihak pada pihak yang lain, ini bisa terjadi dalam jangka panjang. Pasangan yang didominasi ini– kebanyakan perempuan—sering merasakan ketakutan, tertekan, cemas dan gelisah.
Banyak orang tak benar-benar tahu apa yang dimaksud dengan toxic relationship, bahkan kebanyakan merasa bahwa relasi dalam hubungan ini merupakan sebuah bentuk kasih sayang dan merupakan perhatian yang diberikan oleh pasangan untuk menjaga pasangannya. Padahal seharusnya setiap orang dapat menyampaikan dan melakukan apa yang diinginkannya dengan kehendak bebas dan bukan menuruti keinginan orang lain.
Sayangnya kita banyak yang tidak paham bahwa relasi dominan ini, bahkan dalam jangka panjang akan berdampak pada menyakiti, menghilangkan kesempatan dan bahkan menyebabkan kekerasan. Kita seakan tidak memahami apa yang kita inginkan dan menggantungkan keputusan hidup kita pada pasangan, menunjukkan bahwa pasanganlah orang yang paling tahu tentang hidup kita. Hal ini seperti melanggengkan pemikiran bahwa perempuan tidak memiliki keputusan dalam hidupnya
Salah satu filsuf modern, Simon de Beauvoir, menyatakan bahwa cinta yang maha dahsyat bukanlah cinta yang bahagia nan abadi, melainkan cinta yang memerdekakan individu yang terlibat di dalamnya. Perempuan harus bisa menjadi dirinya sendiri di manapun ia berada dan dengan siapapun ia bersama karena dengan begitu dia bisa mencintai dan dicintai secara otentik -menulis kalimat barusan saja membuat saya merinding, keren betul rasanya.
Nicky Stephani, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya, Jakarta pernah menulis soal ini di Konde.co: selama ini kita memahami bahwa relasi romantis selalu menggabungkan dua insan yang jelas berbeda menjadi satu kesatuan dalam ikatan bernama relasi, pacaran, tunangan, maupun pernikahan.
Menyatukan dua manusia yang lahir dari rahim berbeda, dibesarkan dengan masing-masing cara, dan mengalami banyak hal personal, bukanlah perkara mudah. Sepertinya terlalu naif kalau penyatuan tersebut berjalan secara alamiah, namun sesudahnya ada pemaksaan-pemaksaan.
Memaksakan diri yang dimaksud ini bisa meliputi: mengikuti selera pasangan, menghindari perdebatan, mengalah, atau membuat diri kita merasa nyaman entah bagaimana caranya meski kita tahu ada kondisi yang membuat kita tidak nyaman. Kalau kata “memaksakan diri” dan “mengalah” terlalu terus terang, mungkin bisa diganti dengan terminologi yang lebih bisa diterima dengan adem hati, yaitu “kompromi.”
Benarkah kondisinya seperti ini? lalu bagaimana titik temu mencari pasangan yang sehat dan cinta yang otentik ini?
Konde.co bersama Investing in Women akan mengadakan sebuah diskusi tentang: Berpasangan: Komitmen #BersamaBerperan, Bukan Adu Kekuatan. Diskusi ini akan membahas tentang ciri hubungan toxic, pengaruhnya terhadap diri, penerapan hubungan sehat dan setara dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari dari segi psikologis, agama, dan pengembangan atau aktualisasi diri.
Dalam diskusi aktif ini, kamu bakal bisa mendapatkan pemahaman tentang hubungan setara antara perempuan dan laki-laki yang sesuai dengan budaya di Indonesia. Tak ketinggalan bisa menggali dan memahami faktor-faktor penyebab hubungan toxic yang terjadi di pasangan urban millennial di Indonesia hingga mendapatkan inspirasi dan kekuatan agar bisa keluar dari relasi toxic.
Yuk, jangan lewatkan diskusi Berpasangan: Komitmen #Bersama Berperan, Bukan Adu Kekuatan yang akan dilaksanakan bertepatan dengan perayaan Hari Kartini pada Kamis, 21 April 2022 ini.