Ironi Stop Kekerasan Seksual di Kampus, Banyak Dukungan Tapi Sulit Diperjuangkan

Banyak dukungan dari publik dan kalangan pemerintah atas kekerasan seksual di kampus. Tapi ini jadi ironi, karena kampus sendiri masih minim implementasi soal kekerasan seksual. Sepertnya perjuangan di kampus masih butuh waktu panjang

Semoga kamu masih ingat. Kira-kira sebulan lalu, ada peristiwa yang jadi sorotan yaitu seorang dekan non-aktif Fisipol Universitas Riau (UNRI) yang diputuskan tidak bersalah atas dugaan pelecehan seksual pada mahasiswanya. 

Dekan tersebut dinilai tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan primer dan subsider, maka ia harus dipulihkan nama baiknya.

Kuasa hukum pelapor mengaku kecewa karena menganggap hakim tidak berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penanganan Perkara Perempuan di Pengadilan. Ada pula ancaman korban justru mendapat pelaporan balik pencemaran nama baik. 

Ada hal kontras sekaligus miris. Disuarakannya dukungan pada perempuan dan korban kekerasan banyak dilakukan publik, namun di satu sisi ada “peristiwa hukum” yang seringkali masih jadi hambatan yaitu paradigma hukum patriarki dalam penanganan kasus kekerasan seksual. 

Di kampus, kekerasan seksual memang  seperti fenomena gunung es: jumlahnya bisa jadi lebih besar dari yang terungkap di permukaan. Itu dibuktikan dengan adanya survei terbaru yang dilakukan Kemendikbud pada tahun 2021 dalam rentang bulan Januari hingga Juli tercatat ada 2.500 kekerasan terhadap perempuan.  Angka ini melampaui catatan pada tahun 2020 yakni 2.400 kasus. 

Peningkatan jumlah kasus ini tak bisa dilepaskan dari dampak krisis pandemi. Sebab diduga ada banyak jumlah kasus yang sebenarnya tidak dilaporkan yang berlipat ganda. Dampak dari kekerasan seksual ini bisa sampai jangka panjang hingga permanen dan mempengaruhi masa depan perempuan khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa (Kemendikbud.go.id.11.2021).

Situasi ini senada yang diungkapkan Hendarman selaku Plt. Kepala Pusat Penguatan Karakter, yang menemukan sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus mereka. Namun, 63% di antaranya memilih untuk tidak melaporkan kejadian itu. 

Diskursus Feminis: Kenapa Kekerasan Seksual Marak Terjadi? 

Dalam konstruksi masyarakat patriarkis, laki-laki di berbagai sektor mempunyai posisi surplus kuasa atas perempuan. Relasi yang timpang inilah yang kemudian terjadi di berbagai ranah kehidupan seperti pendidikan, ekonomi hingga hukum dalam implementasi paradigma ‘subjek hukum’. Bahkan menyasar hal yang paling privat sekalipun pada perempuan yaitu ketubuhan.

Timpangnya relasi kuasa dan gender itu kemudian terus berlanjut hingga ‘mendarah daging’ dalam alam pikir masyarakat tradisional yang disponsori budaya patriarki. Seolah mengukuhkan bahwa perempuan sebagai ‘kelas kedua’ yang secara hierarki di bawah kuasa laki-laki. Perempuan hanya dipandang sebagai ‘makhluk produksi’ yang melahirkan kehidupan, pemuas hasrat seksual, pelayan suami yang mesti tunduk dalam aturan yang patriarkis.

Dalam konteks pernikahan misalnya, perempuan mengalami doktrinisasi kepemilikan laki-laki dengan pengucapan ‘kau milikku’.

Di masyarakat patriarkis, laki-laki seolah berhak untuk memiliki tubuh pasangannya termasuk menamainya. Di situ politik bahasa yang dieksploitasi patriarki, bekerja. Kekuasaan yang dianggap wajar itu kemudian diterima tanpa proses sebagai sebuah hegemoni (keumuman). 

Perempuan yang secara sistematis didiskriminasi itu pun, tidak punya kuasa selain mengangguk atau mengiyakan. Bahkan untuk ketubuhan yang menjadi haknya.  Standar patriarki memberikan label terhadap makna cantik, baik dan pantas bagi perempuan. Doktrin ini kemudian bekerja: perempuan harus cantik untuk pasangannya, harus bisa memuaskan kelompok yang punya “kuasa lebih tinggi”. 

Dalam kekerasan seksual, perempuan yang menjadi korban telah “diambil” otoritas dan kontrol penuh atas tubuhnya. Padahal semestinya, perempuan sebagai pemilik otoritas tubuhnya memiliki kontrol penuh atas ketubuhannya secara bebas dan merdeka. 

Persetujuan (consent) sebagai keniscayaan yang sangat diperlukan bagi pihak dari luar, sebagai bentuk konfirmasi bagi si pemilik otoritas tubuh untuk memberi akses pada perempuan dihilangkan. Dari situ dapat dimengerti kata “persetujuan” atau frasa “tanpa persetujuan korban” sebagai subjektivitas perempuan yang selama ini menjadi korban. 

Pada konteks kampus, seorang dosen (laki-laki) kemudian bisa merasa mempunyai posisi hierarkis yang “lebih tinggi: dari mahasiswinya. Dengan sendirinya ada “pengkondisian” yang dilakukan dosen kepada mahasiswinya: “memudahkan” nilai akademik dengan seks. 

Itu ingatan kolektif kita yang seakan-akan sudah menjadi rahasia umum. Padahal itu tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Konsekuensinya, mahasiswi tidak mempunyai kuasa sebagai “inferior“ di hadapan “superior” selain membisu dan mengangguk. Pertama-pertama ia ditaklukkan oleh sistem patriarki, kedua ia ditekan secara psikologis.

Bicara soal ‘budaya bungkam’ di kalangan korban kekerasan seksual. Seolah kita kembali diingatkan pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ustadz pimpinan pondok pesantren di Bandung, Herry Wirawan, yang memperkosa belasan santriwatinya. 

Banyak santriwati yang juga masih anak-anak bisa jadi tidak tahu atas apa yang dia alami atau memilih diam seakan-akan menarik diri dari persoalan. Di titik ini, “budaya bisu” terjadi. Perempuan lagi-lagi, dibuat “tak punya kuasa” untuk membela dirinya dan tidak mampu mengucapkan apa yang dialaminya dengan bahasanya. Apalagi, sebab setelahnya ada stigma-stigma negatif yang akan menghakimi mereka. 

Mengawal Implementasi Permendikbud PPKS 

Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS) seharusnya menjadi langkah awal bagi terobosan paradigma hukum di lingkungan kampus di Indonesia yang satu garis lurus dengan feminist legal theory. Sebab, pada tubuh perempuanlah melekat ketidakadilan yang diselundupkan atas nama norma, asusila, hukum, dan agama.

Maraknya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan bukan hanya bisa dilihat sebagai tindakan kejahatan pidana, tetapi juga dapat dimaknai sebagai “peristiwa hukum” yang ada. Mengingat tidak sedikit para pelaku justru bebas dari tuntutan hukum atas dalil tidak cukup bukti lantaran terjadi “di ruang privat”. 

Dari situ diketahui paradigma hukum kita tidak hanya tertinggal dari pengetahuan, tetapi memang sengaja memunggungi keadilan bagi perempuan. Urusan moral memagari rumusan pengetahuan yang rasional. 

Terlebih kampus yang seharusnya melahirkan paradigma hukum dengan landasan filosofis yang kokoh dalam keberpihakannya terhadap perempuan, justru menjadi tempat yang berbahaya bagi tubuh, psikis, dan masa depan perempuan. Menjadi wajar jika dimensi etis dari perguruan tinggi dipertanyakan. Sebab yang dipamerkan ialah arogansi patriarki di hadapan perempuan. 

Ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud PPKS) tidak sepenuhnya disambut positif oleh sejumlah kalangan. Padahal, aturan itu dibuat sebagai upaya untuk mencegah dan menindak tegas maraknya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Aturan tersebut diperdebatkan lantaran adanya penggunaan penggunaan frasa: “tanpa persetujuan korban”.

Bagi mereka yang menolak regulasi Permendikbud PPKS menganggap penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban” di pasal 5 ayat (2) dengan kata kata kunci “persetujuan” (consent) dinilai hanya akan melegalkan praktik seks bebas.

Tudingan ini tidak hanya dibantah oleh Nadiem Anwar Makarim sebagai Mendikbud Ristek, tetapi juga oleh sejumlah kalangan yang mendukung diberlakukannya peraturan baru ini sebagai langkah progresif dalam menghapus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Premis yang disodorkan oleh Permendikbud PPKS ini, seharusnya dibaca dengan pikiran yang bersih: progresif.

Sekaligus, kita juga perlu terus mengawal implementasi Permendikbud PPKS ini dengan mengkapasitasi diri dan melebarkan aktivisme kritis untuk menciptakan kampus yang aman dan nyaman dari kekerasan seksual. 

Dari data Jaringan Muda Setara disebutkan, setidaknya ada berbagai masalah terkait mendesaknya kampus dan pemerintah secara tegas harus segera mengambil tindakan. Tak hanya soal partisipatif yang belum optimal hingga kurangnya sosialisasi, namun bahkan ada kampus yang hingga saat ini masih tertinggal belum mengimplementasikan Permendikbud PPKS.

Juga belum banyaknya proses pembentukan panitia seleksi (Pansel) dan satuan tugas (Satgas) PPKS, belum ada upaya untuk menyusun peraturan anti kekerasan seksual tingkat kampus, belum ada sosialisasi pencegahan kekerasan seksual maupun pembuatan tanda peringatan larangan kekerasan seksual di kampus

Ade Mulyono

Feminis dan pemerhati pendidikan pedagogi kritis. Penulis buku “Dehumanisasi Pendidikan” (2021), Namaku Bunga (2022).  Saat ini berdomisili di Jakarta. Dapat disapa di IG: @ademulyono.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!