Harus Cantik dan Glowing? Beauty Privilege itu Cuma Mitos

Sejatinya beauty privilege itu cuma mitos. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya tuntutan yang sama pada semua perempuan: harus tampil cantik, tapi di balik semua itu, perempuan tetap dibebani untuk memuaskan orang lain: yang dianggap tidak cantik harus tampil cantik, yang dianggap sudah cantik harus lebih cantik.

Dea Safira, pernah patah hati lalu beli catokan rambut dan make up mahal agar tetap tampil percaya diri. 

Tak hanya ketika patah hati, pernah suatu ketika saat ia mau berangkat kerja, ia juga harus dandan biar menambah kepercayaan dirinya. Ini adalah cerita yang bisa menjadi contoh bagaimana perempuan harus hidup sebagai orang yang diinginkan orang lain.

Ada juga cerita lain yang dialami banyak teman Dea lainnya yang harus menggunakan foundation yang cukup mahal biar terlihat glowing. Harga foundation lebih dari Rp 1 juta, padahal ini tak sebanding dengan gaji mereka yang hanya Rp 5 juta.

Ada juga cerita lain dimana perempuan dituntut untuk tampil cantik ketika bekerja. Ini dialami para pramugari yang wajahnya berjerawat atau berat badannya naik 1 kg. Berat badan naik dan berjerawat ini bagi pramugari bisa jadi masalah di dunia kerja karena secara estetika, berjerawat dan berat badan naik dianggap nilai buruk bagi mereka

Fitri Oktaviani, dosen Universitas Brawijaya Malang yang aktif di organisasi PHD Mama Indonesia menyatakan, bahwa kondisi seperti ini lazim dialami para perempuan, yaitu selalu dibebani untuk menjadi orang yang disukai orang lain. Ini yang membuat semua perempuan harus selalu fokus pada penampilan diri agar tidak distempeli sebagai orang yang tidak cantik. 

“Ada juga yang berat badannya naik jadi masalah, harus pakai make up seolah ini bagian alami dari perempuan, padahal ini tidak. Jam 4 pagi sudah harus make up, milih make up yang tidak luntur yang harganya mahal, tapi ini tidak dihargai oleh perusahaan. Saya juga pernah berusaha terus untuk tampil menarik ketika melamar kerja, tapi tetap saja dianggap kurang menarik,” kata Fitri Octaviani dalam diskusi yang dipandu founder Indonesia Feminis, Dea Safira di Instagram yang diadakan Indonesia Feminis, 22 April 2022.

Jadi menurut Fitri Oktaviani, istilah beauty privilege itu hanya mitos, karena itu semua justru merupakan kondisi yang tak pernah membebaskan perempuan. 

Jika sudah dianggap ‘cantik’ maka pasti masih ada tuntutan seperti kurang langsing, dianggap masih kalah cantik dibandingkan perempuan lain, jadi ‘cantik’ ini lalu jadi mitos yang terus-menerus membebani perempuan.

Ini sejalan dengan riset yang menyatakan bahwa secara tradisional, cantik itu beda-beda, ada yang bilang cantik itu matanya besar dan belo, rambutnya lurus, berat badan besar karena itu simbol vertility. Nilai cantik di beberapa negara juga beda-beda, tergantung budaya yang membesarkan mereka.

Jika dulu nilai cantik ini dibesarkan oleh industri dan iklan di media, saat ini yang membesarkan ini semua adalah budaya medsos yang punya nilai-nilai industri untuk membesarkan nilai kecantikan. 

“Jadi sebenarnya secara budaya, cantik itu macam-macam. Lalu muncul idealisasi seperti industri yang disebarkan ke medsos, idealisasinya seperti yang mereka katakan. Semua jadi mitos dan dibesarkan oleh media populer,” kata Fitri Oktaviani.

Dan jangan salah melihat, karena budaya populer inilah yang kemudian membesarkan nilai-nilai industri seperti semua orang harus membeli alat kecantikan baru agar dianggap mengikuti trend, ini bisa terlihat dari pemilihan model iklan atau endorse yang banyak dilakukan di medsos.

“Dulu alis yang bagus itu tipis itu dinilai cantik, sekarang yang tebel, sekarang wajah harus glowing, gigi putih rata. Di Jepang misalnya beda lagi trend nya, ini mitos aja yang main mengukuhkan mitos kecantikan karena terkena paparan marketing. Kayak rambut yang bagus dulu juga yang mengembang, berubah keriting dan sekarang harus lurus, akhirnya kita harus membeli alat-alat baru untuk  dengan trend untuk budaya populer ini.”

Hal lainnya yaitu ada proses daur ulang kecantikan dari tahun ke tahun yang berubah. Ini yang semakin mengukuhkan mitos kecantikan tadi yang dibesarkan budaya populer.

“Kita ini diciptakan menjadi konsumen dan hanya jadi penonton, lalu kita disulap menjadi pengguna yang menghabiskan banyak uang.”

Situasi ini selanjutnya dikomodifikasi oleh industri agar perempuan dianggap enak dilihat dan cantik. 

“Di media sosial, nilai diri dan kecantikan serta kepopuleran ini kemudian dihargai dari jumlah follower. Jika followernya sedikit, maka akan dihargai kecil, ini yang kemudian disebut unpaid dan estetik labour yang tidak dihitung karena tidak ada uang khusus untuk make up dan tubuh.”

Disuruh Tampil Cantik Tapi Tidak Dibayar: Unpaid Labour

Fitri Oktaviani juga mengatakan bahwa kondisi ini juga dibesarkan oleh konstruksi media dan masyarakat yang melihat bahwa perempuan itu selalu diasosiasikan dengan tubuhnya, sedangkan laki-laki dengan otaknya. Ini yang kemudian merugikan perempuan di dunia kerja karena cap pekerja ideal itu selalu dilihat dari otaknya, sedangkan perempuan hanya diidentifikasi dari tubuhnya

Zaman dulu juga ada anggapan bahwa perempuan cantik itu identik dengan tidak pintar. Industri kecantikan lalu menyatakan bahwa perempuan cantik itu modal bagi perusahaan dan kita diminta untuk menambah modal perusahaan agar tampil cantik, padahal ini semua tidak dibayar alias unpaid labour.

“Bagi perusahaan, cewek idola itu adalah yang cantik, nilai diri dilihat dari wajah cantik, kecantikan itu jadi mata uang, sedangkan gender pay gap masih ada, kita seperti memberi modal pada perusahaan untuk tampil cantik, tapi kita dibayar lebih kecil dibandingkan pekerja laki-laki. Ada kalimat seperti ini, masak kamu menjadi resepsionis, kamu kurang cantik sih?.”

Konsep beauty privilege ini memang dianggap mengagungkan seseorang yang cantik, maka yang cantik ini memang memiliki privilege karena yang gemuk itu dibedakan, tapi bukan berarti ini adalah kemenangan bagi perempuan yang diistimewakan, karena ini semua hanya jebakan saja.

Para perempuan akan makin menua tapi mereka harus selalu menggunakan make up, ini adalah siksaan karena para perempuan harus selalu penuh polesan agar ia bisa diterima. Padahal laki-laki yang tampil biasa saja sudah bisa diterima, sedangkan perempuan harus bertenaga besar untuk diterima. Jadi konsep ini bukan privilege.

Perempuan juga harus menggunakan banyak cara untuk tampil cantik agar tetap dihargai, selain make up mahal, juga diet ketat, olahraga yang banyak dan masih banyak lagi yang membutuhkan pengeluaran uang.

“Perempuan yang dianggap ‘cantik’ juga kerap mengalami pelecehan seksual seperti sales SPG rokok dan mau gak mau dia harus mau diperlakukan buruk dan tubuhnya digunakan untuk mempercantik perusahaan. Belum tentu juga perusahaan mau mengurus ketika mereka mendapatkan pelecehan karena alasan ini, make up yang katanya adalah investasi, ini justru bumerang bagi perempuan,” kata Fitri Oktaviani.

Yang harus dilakukan dalam kondisi ini yaitu stop memperkukuh beauty privilege atau beauty premium, jadi harus stop disini dan perempuan harus diberikan pengetahuan untuk menolak, lingkungan patriarki harus diberikan pengetahuan untuk menolak ini. Yang lain yang harus dilakukan yaitu kampanye bahwa tubuh perempuan itu beragam, ini untuk menghormati apapun tubuh perempuan.

Fitri Oktaviani menyatakan optimis jika ini bisa diperjuangkan bersama, karena perempuan sekarang ini terbuka, menerima masukan dan perubahan-perubahan. 

“Dulu saya suka takut dengan kondisi ini, tapi selama kita membuka komunikasi untuk terbuka, selalu ada kans untuk berubah, apakah ini sesuai dengan hati nurani kita ataukah tidak dan menjadikan ini dialog sosial biar makin banyak orang yang mengerti.”

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!