Kami Merindukan Ruang Yang Ramah Bagi Disable: Cerita Traumatis Para Disable 

Lakpesdam NU melakukan survei ke-300 rumah ibadah di Kota Mataram. Hasilnya menunjukkan, tak satupun rumah ibadah menyediakan fasilitas layak untuk penyandang disabilitas, seperti akses jalan landai bagi pengguna kursi roda, tongkat, papan informasi, sampai kursi roda dan penerjemah bahasa isyarat.

Suatu siang, Sri (40), hendak menuju ke lantai dua masjid Islamic Center (IC) Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, sama sekali tak ditemukan tangga berjalan atau pun lift di area masjid yang besar itu. 

Sri pun akhirnya dibopong oleh sejumlah orang bersama dengan kursi rodanya. Menaiki satu persatu tangga hingga ke lantai dua. Susah payah. 

Kala itu, perempuan penyandang disabilitas tengah menghadiri acara bertemu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA). Sri diundang sebagai perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). 

“Panitia membopong saya bersama kursi roda ke lantai dua masjid IC,” Sri yang saat itu menjadi Ketua HWDI  di Nusa Tenggara Barat/ NTB mengisahkan peristiwa yang terjadi sekitar 6 tahun lalu itu kepada saya belum lama ini. 

Kejadian itu tak akan pupus dari ingatannya. Sri merasakan trauma mendalam. Ia menyayangkan masjid semegah IC tak ramah bagi kelompok disabilitas. Fasilitas fisik yang aksesibel bagi disable belum terpenuhi, seperti guiding block atau pemandu jalan bagi tunanetra, ramp atau jalur kursi roda, tempat wudu dengan penyangga, hingga kursi roda khusus di IC juga belum tersedia. 

Belum lagi, Sri bilang, kondisi kamar kecil yang ukurannya masih sempit pun sangat menyulitkan bagi penyandang disabilitas perempuan sepertinya. Di situ juga belum mengakomodir penerjemah bahasa isyarat khutbah, kitab bertuliskan huruf braille atau dalam format digital yang ramah bagi disable. 

“Teman-teman difabel bisa mandiri dan melakukan aktivitas ibadah, jika fasilitas di rumah ibadah layak,” ucap Sri, perempuan kelahiran Muhajirin, Lombok Tengah dengan raut wajah tampak sedih.

Pengalaman serupa juga dialami Zinnurain (24), yang pernah mengurungkan niatnya melaksanakan shalat dzuhur di Masjid Masjid Raya Al-Mujahidin, Selong, Lombok Timur, akibat minimnya fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Dia tidak bisa berwudu karena tidak adanya penyangga.

“Pengguna tongkat seperti saya, tak bisa wudhu, tanpa tempat penyangga,” ujar Zinnurain saat saya berkunjung ke rumahnya pada Selasa, 29 Maret 2022 lalu.

Zin merupakan perempuan penyandang disabilitas, pengguna tongkat asal Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur. Dalam satu terakhir 2021, sudah dua kali ia mampir di masjid termegah di Lombok Timur ini. Zin tak melihat perbaikan fasilitas yang layak untuk disabilitas perempuan.

Jalur buat pengguna kursi roda yang ukuran lebar dua meter, tempat wudhu, dan kursi roda dalam shaf shalat belum tampak. Zin berharap ada perbaikan dan perhatian fasilitas untuk disabilitas di Masjid Raya Al-Mujahidin.

Sebab begitu ironis menurutnya, saat masjid paling megah di Kota Selong, ini belum menyediakan fasilitas layak untuk disabilitas di Lombok Timur. 

Minimnya Rumah Ibadah Ramah Disabilitas 

Tak hanya masjid, sejumlah rumah ibadah, seperti gereja, masjid, kelenteng, pura, dan vihara juga ditemukan banyak yang belum menyediakan fasilitas layak untuk kelompok disabilitas di Lombok, NTB. Pada awal 2021, Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) Wilayah Nahdlatul Ulama NTB melakukan survei ke-300 rumah ibadah di Kota Mataram.

Hasilnya menunjukkan, tak satupun rumah ibadah yang menyediakan fasilitas layak untuk penyandang disabilitas, seperti akses jalan landai bagi pengguna kursi roda, tongkat, papan informasi, kursi roda di dalam saf, dan penerjemah bahasa isyarat di rumah ibadah.  

Pada akhir Maret 2022 lalu, saya bersama teman-teman di Sekolah Literasi Rinjani sempat bertandang langsung ke sejumlah rumah ibadah di Kota Mataram. Di antaranya, Gereja Katolik Panen Abadi, ST. Antonius Padua, Masjid IC, Klenteng Po Hwa Kong, dan Vihara Avalokitesvara.

Minimnya fasilitas bagi kalangan disabilitas misalnya tampak di Gereja Katolik Panen Abadi, ST. Antonius Padua. Hanya jalur untuk lansia yang terpasang di pintu utama. Akses jalan landai buat pengguna kursi roda tidak tampak di gereja. Padahal, setiap bulannya gereja itu didatangi oleh lebih dari 500 jemaat, yang tentunya ada dari kalangan disabilitas. 

“Jemaat kami yang difabel di sini, ada satu orang. Untuk kegiatan ibadah, ia mengikuti jemaat lain di gereja,” kata Fransiskus (52), Kepala Sekretariat Gereja Katolik Panen Abadi, Ampenan, yang kami temui siang itu.  

Begitupun di Klenteng Po Hwa Kong, yang terletak persis di jalan Yos Sudarso, Kota Tua Ampenan. Rumah ibadah untuk tiga agama; Khonghucu, Tao, dan Buddha ini juga belum menyediakan akses yang layak untuk penyandang disabilitas.

Pintu masuk utama ke ruang utama persembahyangan hanya menggunakan sekat pembatas seukuran satu batu-bata. Sekat pembatas tersebut, menyulitkan pengguna kursi roda, lansia, dan tongkat.

Menurut salah seorang warga setempat, Nyoman (51), kelenteng tersebut memang belum menyediakan jalur khusus untuk jemaat disable. Selama empat tahun menjadi penjaga kelenteng, tiap minggu ia rutin membantu jemaat difabel yang berjumlah 5 orang.

“Pengurus kelenteng belum menyediakan jalur khusus untuk disable. Tapi, setiap jemaat pengguna kursi roda dan tongkat datang, kami bantu masuk lewat pintu samping,” tutur Nyoman.

Hal serupa juga berlaku di Vihara Avalokitesvara, Sweta, Kota Mataram. Pengurus vihara masih belum menyediakan akses yang layak untuk difabel. 

“Pengurus vihara hanya menyediakan kursi roda dan jalur masuk tanpa tangga untuk jemaat disable,” ujar pengurus vihara Buddha, Yudiono (36).

Pemerintah dan Masyarakat Perlu Kompak Perhatikan Hak-hak Difabel                       

Per tahun 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB mencatat ada sekitar 6.036 rumah ibadah. Masjid dan musholla menjadi urutan terbesar yaitu mencapai 5. 514 rumah ibadah tersebar di 518 desa. Sisanya adalah gereja, vihara, klenteng, masjid, dan pura. Tak heran, jika Pulau Lombok mendapat sebutan Pulau Seribu Masjid.

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Atun Wardatun mengatakan, perhatian pemerintah dan masyarakat pada difabel hingga kini memang masih sangat rendah terutama di masjid.

Menurutnya, beberapa indikatornya adalah minimnya fasilitas layak disabilitas seperti jalur kursi roda, papan informasi, kursi roda khusus untuk shalat berjamaah, tempat wudu, Al-quran braille, dan bahasa isyarat khutbah. Dampaknya, keterbatasan akses di rumah ibadah membuat difabel kesulitan menjalankan ibadahnya dengan nyaman.

“Dalam Islam tak ada pembedaan bentuk fisik dan non fisik. Masjid menjadi tempat yang inklusif dan setara buat perempuan dan laki-laki, yang disable atau non-disable,” ujar Atun saat ditemui di lantai 2 Gedung Fakultas Syariah.  

Atun menduga, situasi di Lombok yang minim rumah ibadah ramah disabilitas termasuk masalah sistematis. Padahal dalam aturan sebetulnya sudah ada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2019 mengatur perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Dua aturan itulah yang bicara tentang kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan fasilitas yang setara buat kelompok difabel yang layak di rumah ibadah. Namun implementasinya masih banyak terabaikan. 

“IC punya fasilitas buat difabel tapi belum layak. Terutama akses buat perempuan,” ujar Direktur Larimpu dan peneliti perempuan itu. 

Kepala Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) IC, Syarif Hidayatullah turut mengonfirmasi atas kurangnya fasilitas untuk difabel di IC. Menurut dia, akses buat difabel terbatas karena jumlah anggaran dari Pemerintah Provinsi NTB terbatas. Dia mengakui, belum ada alokasi pengadaan fasilitas untuk disable hingga tahun ini. 

“Fasilitas buat disable di IC belum lengkap, IC baru ada jalur buat kursi roda, tempat wudu, dan lift, tapi untuk tangga berjalan belum berfungsi,” Kata Syarif. 

Pihaknya pun berharap pada tahun anggaran berikutnya kebutuhan untuk difabel mendapat pembiayaan khusus. IC bisa menjadi percontohan rumah ibadah yang memberikan akses yang layak dan setara untuk disabilitas di NTB.

Di samping penyediaan anggaran yang mencukupi, peneliti dan pemerhati disable, Maya Rahmayati, menekankan bahwa Pemda NTB juga semestinya bisa meningkatkan sensitivitas kaitannya dalam menciptakan rumah ibadah yang inklusif bagi kalangan disabilitas. Bahkan segala macam fasilitas publik lainnya. 

Pemda NTB juga perlu melakukan penyadaran kepada masyarakat untuk bisa bersama-sama menciptakan rumah ibadah yang ramah disable. Sebab, hal itu juga tak kalah penting selain fasilitas fisik. 

“Akan berdampak pada akses yang setara pada kelompok disable,” pungkasnya. 

(Tulisan ini merupakan bagian dari Fellowship yang diselenggarakan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jakarta)

Achyar Ros

Pegiat Isu Kemanusiaan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!