Kasus Johnny Depp dan Amber Heard Tunjukkan Bahaya Persepsi Fans Dalam Pengaruhi Hasil Sidang

Johnny Depp memenangkan persidangan atas kasus pencemaran nama baik dgn Amber Heard. Kasus ini menunjukkan hubungan fans dan idolanya yg menciptakan diskusi yg sangat berbahaya dlm membentuk cara org menangani kekerasan seksual dalam rumah tangga.

Sulit untuk menelusuri media sosial sekarang tanpa melihat setidaknya satu postingan yang menyebut Johnny Depp, Amber Heard, dan sidang pencemaran nama baik yang melibatkan keduanya sejak 11 April 2022.

Johhny Depp menggugat mantan istrinya, Amber Heard atas pencemaran nama baik yang dilakukan Amber lewat sebuah op-ed yang dia tulis untuk Washington Post pada tahun 2018. Depp mengatakan bahwa dengan menampilkan dirinya sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, Amber telah mencoreng namanya, meski tidak menyebutkan namanya dalam karya tersebut. Dia menuntut ganti rugi sebesar US$50 juta atau sekitar Rp 721 miliar.

Banyak yang menyatakan keberpihakannya dalam kasus ini, menyatakan kubu lain bersalah, dan mengutuk adanya cancel culture di media sosial dan dalam liputan persidangan. Tagar #JusticeForJohnnyDepp dan #AmberHeardIsAPsychopath menjadi tren selama beberapa minggu terakhir.

Fans Depp mengklaim bahwa hidup dan karir Johnny Depp telah hancur akibat tuduhan Amber. Fansnya yakin dia (Johnny) adalah korban yang sesungguhnya. Berbagai laporan media menunjukkan bagaimana perlakuan buruk yang diderita Amber sepanjang persidangan termasuk yang menyatakandirinya adalah seorang “pembohong”, “psikopat” dan “monster”.

Sebagai pekerja sosial dan peneliti yang telah menghabiskan enam tahun terakhir bekerja dengan orang-orang yang menjadi penyintas kekerasan rumah tangga dan seksual, saya tertarik bagaimana kasus ini menunjukkan bahaya signifikan dari hubungan sepihak fans dengan tokoh idola mereka dan pengaruhnya dalam membentuk logika mereka.

Johnny dan Amber menunjukkan bagaimana ikatan emosional antara penggemar dengan selebriti idola mereka dan bagaimana hubungan ini dapat memiliki implikasi terkait cara kita memahami kekerasan dan cara menanganinya.

Apa itu hubungan parasocial dan carceral logics?

Hubungan parasocial adalah ikatan emosional dan intim sepihak yang dikembangkan seseorang dengan figur publik idolanya.

Sidang Johnny-Amber telah mengungkapkan bahaya dari ikatan ini karena para penggemar Johhny bersemangat membelanya , meskipun tidak mengenalnya secara pribadi. Johnny Depp disambut oleh sorakan penggemar dan pendukung saat ia tiba di gedung pengadilan.

Carceral logics adalah berbagai cara tubuh, pikiran, dan tindakan kita telah dibentuk oleh ide dan praktik pemenjaraan Dan mereka menghasilkan penggambaran tertentu tentang siapa yang melakukan kekerasan, mengapa, dan bagaimana orang-orang itu harus ditangani

Ketika logika ini terbentuk, hal-hal seperti polisi, pengadilan, hukum dan penjara dibingkai sebagai upaya intervensi yang diperlukan untuk menangani kekerasan. Misalnya, orang yang menganggap Heard sebagai pembohong dan menuntut penangkapan atas dirinya serta hukuman penjara.. Mereka juga mengusulkan kontraknya di film Aquaman dibatalkan.

Logika tersebut beranggapan bahwa sistem yang ada efektif, dan mengabaikan kenyataan bahwa kebanyakan pelaku kekerasan tidak pernah melihat ruang sidang, lalu ada isu sistemik berkaitan dengan ras, dan kekerasan domestik dan kekerasan seksual terus tidak dilaporkan.

Kekerasan adalah spektrum

Ketika orang mengembangkan ikatan parasocial dengan tokoh idolanya, garis tajam terbentuk terkait bagaimana mereka menganggap orang baik atau tidak bersalah. Ketika ini terjadi, asumsi terbentuk tentang karakter seseorang yang hanya berdasarkan apa yang terwakili di media.

Orang-orang tidak mengenal Johnny atau Amber dan tidak tahu sejarah lengkap hubungan mereka. Mereka hanya mengenal mereka sebagai karakter yang dipuja.

Ikatan ini mempengaruhi diskusi tentang apa yang dianggap atau tidak sebagai kekerasan. Saat ini, pelecehan online terhadap Amber dianggap dapat diterima karena dia telah dinyatakan sebagai pembohong oleh publik di media sosial.

TikTok telah secara terbuka mengejek reaksi emosional Amber saat persidangan sebagai orang yang bersandiwara saat persidangan dengan hewan peliharaannya. Pengguna media sosial juga telah membuat tagar #AmberTurd yang menjadi tren di seluruh platform media sosial.

Tapi kekerasan adalah spektrum dan sangat bergantung dengan relasi kekuasaan, identitas dan konteks. Ketika orang-orang memberi label “abuser/offender” untuk beberapa orang dan bukan yang lain, mereka memutuskan kekerasan mana yang tidak dapat diterima dan yang bisa dimaafkan

A woman with blond hear wears a sweater with a blazer over top, a man in sheriff uniform walks in front of her.
Amber kembali dari istirahat di ruang sidang di Fairfax County Circuit Courthouse di Virginia pada 18 Mei 2022. (Kevin Lamarque/AP)

Dampak

Bagaimana diskusi ini berdampak pada penyintas yang mengungkapkan ceritanya? Apa akibatnya terhadap anggapan kita tentang siapa yang kita anggap sebagai korban dan pelaku “yang asli”? Apa yang terjadi pada orang yang ceritanya kompleks?

Sementara banyak komentar di media sosial muncul sebagai produk dari budaya fans yang berlebih yang memiliki implikasi nyata terhadap kasus ini.

Semua terjadi secara real time. Ketika orang memutuskan bahwa mereka yang berbohong tentang kekerasan harus dihukum, kita melihat klaim yang menyatakan bahwa laporan kekerasan seksual di portal polisi adalah sesuatu yang konyol.

Kita melihat komitmen baru dalam sistem peradilan pidana , terlepas dari kekerasan yang dilakukan di dalam penjara dan dalam budaya penahanankomunitas terpinggirkan.

Apa yang tampak sebagai aktivitas media sosial yang normal memperlihatkan kenyataan yang jauh lebih gelap: bahwa hubungan fans dan idolanya menciptakan diskusi yang sangat berbahaya dalam membentuk cara orang menangani dan menangani kekerasan seksual dalam rumah tangga.


Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

Maddie Brockbank, PhD Student & Vanier Scholar, Social Work, McMaster University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

(Foto: Kompas TV)

Maddie Brockbank

PhD Student & Vanier Scholar, Social Work, McMaster University
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!