Manifesto IDAHOBIT 2022: Cabut Aturan Diskriminatif bagi Minoritas Seksual dan Gender 

Arus Pelangi mengeluarkan manifesto dalam rangka memperingati hari International Day Against Homophobia, Biphobia, Intersexism and Transphobia (IDAHOBIT) agar setiap orang termasuk LGBTIQ+ bebas dari kebencian, kekerasan dan diskriminasi. Salah satu manifestonya meminta negara untuk mencabut aturan diskriminatif bagi minoritas seksual dan gender.

Seorang polisi di Semarang pernah mengalami Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) usai diketahui dirinya gay. Polisi berinisial TT itu ditangkap sehabis bertemu pasangannya pada hari Valentine tahun 2016. 

Selama proses pemeriksaan, TT banyak ditanyai tentang orientasi seksualnya. Hingga dua tahun kemudian dia dipecat atas tuduhan melanggar Kode Etik Polri karena perilakunya disebut sebagai ‘perbuatan tercela’. 

TT dijerat dengan pasal 7 dan 11 Peraturan Polri tentang Kode Etik Profesi Polri yang menyatakan bahwa anggota Polri harus menjaga dan meningkatkan citra, solidaritas, kredibilitas, reputasi dan kehormatan Polri. Selain itu juga harus menaati, menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum. 

Dia lantas mengajukan gugatan Kepolisian Daerah Jawa Tengah kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 16 Mei 2019. Kabar terbaru per 2021, amar putusan menyatakan hakim menerima eksepsi atau keberatan dari pihak tergugat karena gugatan kadaluwarsa dan gugatan penggugat tidak diterima. 

Sekilas adalah gambaran dari sentimen negatif terhadap kelompok minoritas seksual dan gender di lingkup pekerjaan yang melibatkan institusi negara. Berdasarkan penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2018, ada sekitar 70,59% responden pekerja yang memiliki sentimen negatif seperti yang terjadi terhadap TT. 

Ketua Badan Pengurus Harian Arus Pelangi, Ryan Korbarri mengatakan pengekangan dan penyangkalan terhadap kebebasan sipil dan hak sipil politik terhadap minoritas seksual dan gender memang bisa menimbulkan dampak yang meluas yaitu meningkatnya kerentanan, pembatasan akses dan pelanggaran atas hak ekonomi, sosial dan budaya. 

“Meskipun terkadang akses pekerjaan dapat diakses oleh kelompok minoritas seksual dan gender, tetapi stigma, diskriminasi dan kekerasan masih cukup tinggi di ruang kerja,” ujar Ryan dalam konferensi pers IDAHOBIT secara daring, Selasa (31/5). Setiap tanggal 17 Mei, seluruh dunia memperingati hari International Day Against Homophobia, Biphobia, Intersexism and Transphobia (IDAHOBIT) agar setiap orang termasuk LGBTIQ+ bebas dari kebencian, kekerasan dan diskriminasi

Minimnya akses pekerjaan bagi kelompok minoritas seksual dan gender bukan alasan untuk mengabaikan. Per tahun 2017 saja, angka pengangguran pada kelompok minoritas seksual dan gender mencapai angka 17% —yang mana angka ini hampir mencapai tiga kali lipat dari angka pengangguran nasional tahun tersebut yaitu 5,8%. Inilah yang menyebabkan 31% minoritas seksual dan gender hidup dibawah garis kemiskinan. 

Ryan melanjutkan, situasi penyangkalan dan pengekangan kebebasan sipil dan hak sipil politik ini diakibatkan karena adanya kekosongan perlindungan hukum terkait kebebasan sipil dan hak sipil politik individu dan atau kelompok minoritas seksual dan gender. 

“Ini adalah bentuk kegagalan Indonesia dalam menjalankan mandat dan prasyarat sebagai negara hukum. Khususnya kegagalan dalam produksi produk hukum (law making) yang memastikan perlindungan atas Hak Asasi Manusia secara menyeluruh dan juga kegagalan dalam aspek penegakan konstitusi (law enforcing),” terangnya.  

Berdasarkan konstitusi UUD 1945 pasal 1 ayat 3 secara jelas menyatakan, Indonesia adalah negara hukum. Sehubungan dengan ini, sebagai sebuah negara hukum, Indonesia harus menjunjung tinggi dan memenuhi elemen-elemen penting sebagai negara hukum, dua diantaranya adalah perlindungan HAM dan persamaan dihadapan hukum (equality before the law)

Dua elemen penting ini, harus terefleksi secara mutlak melalui produk-produk hukum yang menjamin bahwa setiap orang mendapatkan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dalam penikmatan kebebasan sipil (civil liberties) dan hak-hak sipil dan politik (civil and political rights)

Jaminan ini juga telah ditetapkan pada UUD 1945 Pasal 28I ayat 2 bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu” 1. Sebagai negara hukum, UUD 1945 merupakan konstitusi tertinggi (the supreme law of the land) Indonesia yang digunakan sebagai acuan dasar menjalankan mandatnya sebagai negara hukum. 

“Meskipun jaminan atas perlindungan hukum dan persamaan dihadapan hukum di atas tertuang dalam konstitusi, sayangnya hal ini tidak banyak terefleksi pada produk-produk hukum dan perundang-undangan turunannya,” katanya.  

Negara Harus Benahi Produk Hukum

Aktivis LGBT itu menekankan, kegagalan ini harus segera diatasi dan direspon dengan cara melakukan pemulihan kebebasan sipil dan hak sipil politik minoritas seksual dan gender di Indonesia. Termasuk mendorong produk hukum nasional anti-diskriminasi.

“Untuk perlindungan kelompok rentan termasuk minoritas seksual dan gender dari diskriminasi sebagai upaya penegakan, pemajuan, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan hak-hak kelompok rentan,” imbuhnya. 

Pihaknya menyebut, produk hukum ini yang ada dan akan dibuat seharusnya bisa memuat: pertama, jaminan secara eksplisit bahwa orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik biologis (SOGIESC) adalah salah satu dasar yang dilarang untuk didiskriminasi.

Kemudian, akses keadilan terhadap minoritas seksual dan gender dari diskriminasi dan kekerasan dengan menguatkan mekanisme akuntabilitas pemulihan yang efektif dan mudah diakses oleh minoritas seksual dan gender di Indonesia. Selain itu, negara harus memastikan adanya jaminan upaya-upaya memadai yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap minoritas seksual dan gender. 

“Upaya ini dapat dilakukan namun tidak terbatas pada pengintegrasian pendidikan terkait penghormatan HAM, toleransi, dan inklusivitas dalam kurikulum pendidikan dan mencabut segala produk-produk hukum dan perundang-undangan yang mendiskriminasi dan berpotensi mengkriminalisasi minoritas seksual dan gender,” pungkas dia. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!