Mimpi Tak Jadi Kandas: Setelah Belasan Tahun Menanti, Akhirnya Berdirilah Pura Kami

Sebagai kelompok minoritas, tak mudah bagi umat Hindu di Sumatera Barat untuk punya tempat ibadah sendiri. Mimpi yang sudah selama belasan tahun dipendam, kandas saat semua sudah di depan mata. Harapan itu baru terealisasi pada 1998. Letaknya tersembunyi, namun pura tersebut tetap disambut dengan senang hati.   

Ini kisahku sekitar 19 tahun lalu. Pagi itu kami sekeluarga- ayah, ibu dan aku- dengan menumpang motor tua menuju ke suatu tempat di pinggiran Kota Padang, Sumatera Barat. Tidak mudah untuk mencapai lokasi tersebut. Kami harus menyusuri jalan berbatu-batu yang diapit semak belukar di sisi kanan kirinya.

Kurang lebih 15 menit  berkendara dan berkat kesabaran Bapak, akhirnya kami sampai juga ke lokasi yang dituju. Aku tak bisa membayangkan perihnya pinggul Ibu, harus duduk di atas pegangan besi di ujung belakang jok motor.

Tempat yang kami tuju adalah Pura, tempat kami melakukan persembahyangan bersama umat Hindu lainnya yang datang dari berbagai wilayah di Sumatera Barat. Sesampainya di pura, sempat terbesit dalam benakku, mengapa letak pura ini sangat jauh, tidak mudah diakses, dan tidak terlihat oleh masyarakat luar.

Sembari memandang langit yang biru cerah, aku yang saat itu masih berumur 4 tahun berulang kali menanyakan pertanyaan itu ke diriku sendiri. Kelebat pemikiran yang rumit ini memenuhi benak kanak-kanakku kala itu. Tapi, aku tetap menahan diri hingga waktunya tiba.

Setelah cukup umur, aku mulai-mulai mencari informasi dari sumber yang kredibel tentang keberadaan pura itu. Aku bertekad untuk mengungkap tabir sejarah pembangunan pura serta ketakutan yang dialami oleh umat Hindu.

Di pojok kamar tidurku yang mungil dan bercat kuning, aku coba menelusuri apa yang sebenarnya dialami keluargaku dan warga Padang lainnya yang juga memeluk agama Hindu. Perlahan rasa penasaranku terobati. Ternyata pendirian pura ini harus melalui perjuangan panjang.

Banyak orang telah mengetahui, mayoritas penduduk Sumatera Barat beragama Islam.  Sebanyak 97,6 persen atau sekitar 5,67 juta warga Sumatera Barat beragama Islam. Tak heran jika norma-norma ajaran Islam kental mewarnai kehidupan sehari-hari di provinsi berjuluk ranah Minang ini.     

Bagaimana kondisi umat Hindu? Kami adalah kelompok minoritas di Sumatera Barat. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, pada 2021 jumlah penganut agama Hindu di tanah Minang hanya 102 orang atau kurang dari 0,1 persen dari total penduduk Sumatera Barat yang berjumlah 5,6 juta jiwa. 

Dengan jumlah pemeluk yang sangat sedikit dan dengan tempat tinggal yang menyebar, mendirikan pura bukanlah perkara mudah. Butuh perjuangan panjang agar umat Hindu di Padang bisa memiliki pura sendiri. 

Sebelum pura ini berdiri, peribadatan dilakukan di rumah penduduk secara bergiliran. Kurang nyaman memang, tapi itu lebih baik ketimbang kami sama sekali tak bisa melakukan peribadatan.

Untuk melacak perjuangan umat Hindu ini, aku coba mewawancarai dua orang sesepuh yang ikut andil dalam pembangunan pura di masa lalu. 

Dari mereka aku tahu, pada tahun 1995, umat Hindu di Padang pernah merencanakan untuk membangun pura di daerah Kelurahan Bukit Gado-Gado yang terletak tak jauh dari Pantai Air Manis yang dikenal dengan legenda Batu Malin Kundang. Jalannya berliku-liku untuk sampai kesana.

Lahan yang akan digunakan untuk membangun pura sudah tersedia. Lahan itu merupakan sumbangan salah satu pemeluk Hindu di Padang. Awalnya kami tak memenuhi hambatan berarti. Tanda-tangan persetujuan dari Ketua RT dan masyarakat setempat telah dikantongi.

“Itu saya lihat tanda-tangannya ada tetapi, berdasarkan persetujuan dari ketua RT lantas mengajukan prinsip ke walikota. Waktu itu, walikotanya dijabat oleh Zulyen Rais,” ujar beliau menceritakan kembali peristiwa tersebut.

Dari dokumen yang dilampirkan, tertera 78 tandatangan dari masyarakat sekitar Kelurahan Bukit Gado-Gado yang menyetujui pembangunan pura. Mereka tidak merasa keberatan. Namun, hal ini bertolak-belakang dengan informasi yang diterima oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Padang. 

Salah seorang penganut  Hindu yang dulunya mengajar di salah satu kampus Negeri di Padang, sebut saja namanya Pak Made, mengemukakan bahwa Lurah menyodorkan dokumen surat pernyataan ketidaksetujuan dari masyarakat setempat.

Dengan nada bicara yang lirih, ia menuturkan, ternyata informasi yang disodorkan ke Pemkot Padang seolah masyarakat di sekitar Bukit Gado-Gado tidak menyetujui pembangunan pura yang akan menjadi tempat beribadah umat Hindu. 

“Itu kata-kata Lurahnya. Surat itu ada, ga setuju, ternyata itu beda dengan kita, persepsi kita. Pada saat kita mencari tanda tangan, orang-orang yang berdomisili di lingkungan tempat kita akan bangun pura itu, setuju mereka. Karena mereka, secara tadi kan orang Mentawai. Kita orang Hindu, gitu kan. Nah, ternyata orang itu tanda tangannya tidak ada. Kemudian, yang disodorkan oleh Lurah itu ialah tanda tangan orang yang di bawah di sekitar kantor Lurah,” terangnya.

Rasa kecewa dan kesal sempat muncul. Tenaga, dan waktu yang telah dicurahkan terasa sia-sia. Padahal, perjuangan tinggal sedikit lagi mencapai garis finish. Peletakan batu pertama kawasan pura di daerah Kelurahan Bukit Gado-Gado tinggal menghitung hari. Perencanaan juga telah dilakukan secara matang. 

Pengerahan tentara untuk mengawal Ida Bagus Sudjana, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi periode 1993-1998 yang bertugas untuk meresmikan kelak, juga telah disiapkan. Naas, semua itu batal. Semua sia-sia belaka!

Setelah mendapati berita penolakan dari Pemda terkait surat izin prinsip, beberapa umat Hindu diundang ke salah satu hotel, dekat dengan pantai. Pihak Pemda berjanji akan mengatur serta menyesuaikan apa keinginan umat Hindu dengan sikap yang berkembang di masyarakat. 

Dengan dijembatani Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Singgalang, umat Hindu dipertemukan dengan pemuka masyarakat di Padang. Perundingan dilanjutkan, guna merumuskan langkah-langkah yang perlu ditempuh agar tidak terjadi bentrokan dengan masyarakat Kelurahan Bukit Gado-Gado. 

Namun perundingan ini tidak membuahkan kesepakatan. Nihil adanya. Keputusan pun diambil: “Pembangunan pura di Kelurahan Bukit Gado-Gado tidak bisa dilanjutkan’.

Dengan kesepakatan yang telah dicapai ini, umat Hindu tidak bisa berbuat banyak. Walaupun begitu, umat Hindu masih berusaha melakukan negosiasi dengan pihak Pemda. Mereka mengutarakan alasan mengapa membangun pura di Bukit Gado-Gado. 

Disebutkan, syarat utama pembangunan pura adalah tempatnya tenang dan ada mata air. Hal ini disampaikan kepada pihak Pemkot. Tak lupa ditambahkan nilai lebihnya, bahwa pura ini akan menambah tujuan wisata di Sumatera Barat.

Dibangunnya pura berarti akan ada penambahan obyek wisata. Walaupun pura memang bukan merupakan wisata, tetapi pada akhirnya akan memberikan keragaman budaya di Minangkabau. Daya tarik wisata bisa terlihat. Orang yang berkunjung ke daerah Pantai Air Manis, selain melihat batu Malin Kundang, mereka juga bisa melihat pura. 

“Nah, itu sudah disarankan dulu. Tetapi tidak mau mereka menerima,” ujar tetua yang kau temui. 

Ia lantas menunjukkan berita bertajuk “Pemda Padang tidak Izinkan Berdiri Pura di Kelurahan Bukit Gado-Gado” yang dimuat di Koran Haluan pada hari Senin, 20 Maret 1995. Dalam artikel tersebut, Walikota Padang menyatakan pendirian rumah ibadah dinilai tidak layak karena di lokasi ini tak ada penganut agama Hindu. 

Selanjutnya, ia menegaskan, dalam Surat Keputusan Menteri Agama, pendirian rumah ibadah seyogyanya berkaitan dengan pemukim atau masyarakat yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut.

Dengan keluarnya berita dari Haluan, salah satu umat berterus terang dengan pernyataan, “Jadi di situ, kami diterima, jadi masyarakat sekitar tidak keberatan. Ini kan kalau saya sih secara pribadi menilai walikotanya itu akal-akalan saja dia. Saling lempar gitu. Jadi mengatasnamakan masyarakat gitu loh. Padahal tidak ada penolakan semacam demo begitu, tidak ada. Penolakan tertulis dari masyarakat juga tidak ada.”

Terus berjuang

Perjuangan untuk membangun tempat ibadah pura di Kelurahan Bukit Gado-Gado pun berakhir dengan kegagalan. Kami, umat Hindu di Padang pun kembali kepada rutinitas semula, menjalani persembahyangan di rumah-rumah warga secara bergiliran. 

Awalnya, persembahyangan dilaksanakan di rumah salah satu umat yang bekerja di PLN. Rumah beliau tergolong luas, sehingga dinilai cukup untuk menampung semua umat. Namun, tak urung kegiatan ini memicu keramaian. Kendaraan roda dua, dan roda empat lalu lalang mencari tempat parkir hingga akhirnya menuai protes dari warga sekitarnya. 

Meski tidak disampaikan secara  langsung, keberatan ini mampu membuat resah umat Hindu. Kami paham kalau persembahyangan rutin dilakukan di rumah warga, lama-lama akan menimbulkan pro kontra. Setelah berpindah-pindah bersembahyang di rumah-rumah warga, satu hari kami melaksanakan persembahyangan di rumah salah satu umat Hindu yang bekerja sebagai prajurit TNI-Angkatan Udara (AU), sebut saja namanya Dewa.

Saat persembahyangan berlangsung, komandan beliau meninjau lokasi secara langsung. Saat itu ia langsung bersimpati pada kondisi umat Hindu di Sumatera Barat. Dewa kemudian menanyakan kemungkinan Komandannya berkenan membantu umat Hindu. 

Dewa juga sempat berkeluh-kesah kepada komandannya.

“Mengapa agama saya di sini seperti agama terlarang, kok sulit sekali. Kan kita sebagai masyarakat Indonesia, rakyat Indonesia sebetulnya sama hak-nya dengan yang lain untuk mendapatkan, dan melaksanakan ibadah. Kenapa kita bangun tempat ibadah, sulit sekali izinnya.”

“Anak-anak ini sudah seharusnya mendapatkan pendidikan agama di sekolah. Terus tidak ada yang memfasilitasi.”

Dari pernyataan tersebut, tidak disangka, Komandan merespon dengan sigap. Ia memerintahkan Dewa untuk menuliskan tulisan radiogram dan ditujukan ke kantor pusat (Jakarta) atas nama beliau. Surat itu langsung ditanda-tanganinya dan dikirim ke pusat. Dua minggu kemudian, balasan diterima yang isinya secara prinsip “disetujui untuk membangun tempat ibadah, dan diminta segera dibuatkan MoU”.

MoU yang tertera, terdapat pasal 2 yang menekankan. ‘Pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia Sumatera Barat bersedia mengembalikan tanah tersebut kepada Pangkalan TNI-AU (Pihak ke Satu) tanpa menuntut ganti rugi”.

Dilema muncul. Di satu sisi, umat Hindu menyadari kalau posisi mereka lemah. Mereka hanya mengantongi Hak Pakai bukan Hak Guna Bangunan. Namun, di sisi lain tawaran ini sangat membantu karena umat Hindu sangat membutuhkan tempat ibadah. 

Akhirnya, disepakatilah pasal tersebut oleh sesepuh Hindu karena mereka berpikir, tidak mungkin akan mengembangkan kawasan ini soalnya bandara baru akan pindah lagi. Tidak menutup kemungkinan, hal yang tidak diinginkan terjadi.

“Nah, seandainya itu terjadi, ya jadi kita mungkin kita merelakan seperti yang ada di Sumba, NTT. Jadi ada kan pura, tidak difungsikan lagi. Sudah dihancurkan secara Hindu.”

Keberadaan pura, satu-satunya di Provinsi Sumatera Barat, menjadi angin segar bagi umat Hindu di sana. Kebingungan, dan kekhawatiran yang dialami sirna sudah. Mereka bersyukur diberikan lahan oleh pihak TNI-AU untuk membangun pura. Anak-anak yang harus mengenyam pendidikan agama Hindu, akhirnya bisa terwujud. 

Sebelum membangun pura, Dewa memberitahu untuk mengambil lahan yang luas. Pasalnya hingga sekian puluh tahun ke depan, tidak ada rencana pembangunan oleh pihak TNI-AU. Jadi, berapapun luas lahan yang akan diambil tidak akan dipersoalkan. Tidak ada pernyataan tertulis yang akurat terkait luas areal lahan.

Umat sengaja mengambil lahan yang posisinya agak di pinggir. Alasannya kami tidak tahu bagaimana nasib lahan ini, apakah akan dihibahkan atau ada keputusan lain. Pertimbangan lainnya, jika mengambil posisi lahan di pinggir akan lebih mudah untuk dibuatkan sertifikat, sehingga posisinya jauh lebih kuat.

Setelah urusan lahan tertangani, tugas mereka belum usai. Dengan jumlah umat sekitar 26 orang, mereka bahu membahu membersihkan jalan, dan calon areal untuk pura.

Berbekal peralatan seadanya, umat Hindu menyiangi tumbuhan yang tumbuh liar di areal Pura. Hal ini secara rutin dilakukan setiap hari Minggu. Hari libur, mereka pergunakan untuk gotong royong. Peluh turun menghiasi wajah, tetapi mereka menyadari, umat minoritas dengan jumlah yang minim, harus saling membantu. Bentuk perjuangan yang sesungguhnya!

Untuk jalan setapak menuju pura saat pembangunan pura tahap awal, jalan harus menelusuri rel kereta api sampai pada akhirnya belok ke arah pura. Dikhawatirkan, jalan setapak tersebut akan mengundang kehadiran masyarakat umum. Akhirnya, jalan dekat rel ditutup.

Setiap kali hendak berkunjung ke areal pura, kami harus melapor ke Pos Penjagaan. Dengan dasar pertimbangan tersebut, Pak Dewa mengusulkan kepada Komandan agar umat Hindu diberikan jalan khusus menuju pura. 

Usulan ini disetujui, dan perataan tanah dilakukan oleh pihak TNI-AU sedangkan umat membantu untuk membersihkan kiri-kanan areal jalan.

Seusai urusan ‘jalan’ beres, umat Hindu membangun bangunan sementara, sehingga anak-anak bisa mengenyam pendidikan agama. Sistem guru yang mengajar, dilakukan secara sukarela oleh umat. Guratan senyum, dan semangat tampak jelas di wajah kami saat itu. 

Kekhawatiran akan memudarnya pengetahuan agama perlahan sirna. Keberadaan pura sangat membantu mereka untuk belajar agama secara mendalam.

Pura yang sangat didambakan itu akhirnya selesai dibangun dalam kurun waktu dua tahun. Dimulai dari  tahun 1996 sampai dengan tahun 1998. Namun, untuk sampai ke tahap tersebut, bukan langkah yang mudah. Umat harus mencari sumber dana, agar pembangunan lancar tanpa kendala. 

Sekretaris yang menjabat saat itu, membuat draft proposal, lalu dibagikan kepada para donatur. Seluruh umat diwajibkan untuk membuat daftar kenalan, dan berpotensi bisa menyumbangkan dana. Kurang lebih, 100 buah proposal disediakan oleh Sekretaris. Dengan segenap upaya yang dikerahkan oleh umat, akhirnya kebutuhan dana tercukupi. 

Pekerja dari luar didatangkan dan dicari pekerja yang telah berpengalaman dalam membangun pura. Fasilitas tercukupi.

Pada saat peletakan batu pertama, umat Hindu memberikan surat undangan ke Pemerintah Daerah tetapi, tidak ada respon. 

“Jadi tidak ada balasan. Tapi tidak masalah yang penting pengiriman surat itu sudah ada di agenda, sudah diterima. Pada saat peletakkan batu pertama, satupun tidak ada yang hadir, tidak ada,” terang Dewa.

Tapi, umat Hindu tidak mengambil pusing dengan ketiadaan hadirnya pihak Pemda. Yang paling penting, prosesi bisa berjalan lancar secara khidmat tanpa kendala apapun. Umat memiliki tempat untuk menjalankan ritual persembahyangan dengan aman, dan khidmat. Mereka patut berbangga karena hasil kerja keras-nya membuahkan hasil.

Setelah pura berdiri

Foto: Dokumentasi pura

Pura itu akhirnya selesai di tahun 1998, setelah tahun demi tahun harus dilewati oleh umat dengan perasaan trauma mendalam. Tidak mudah untuk menyembuhkan ‘luka’ itu. Luka itu terutama dirasakan oleh perempuan. Mereka harus membatasi diri untuk ikut forum keagamaan. 

Bagi perempuan Hindu, minoritas yang tinggal di Sumatera Barat, harus merasakan beban ganda. Satu sisi, mereka harus selalu menahan diri. Misal, bagaimana cara bergaul dengan tetangga di lingkungan sekitar, melakukan persembahyangan di rumah, dan bergelut untuk menyiapkan sarana prasarana sembahyang dengan jumlah umat dan ketersediaan alat yang minim.

Tapi kami coba memahami bagaimana seharusnya bergaul dengan masyarakat mayoritas. Dengan bersikap ramah, hubungan sosial yang harmonis terutama dengan tetangga, bisa dibangun sedemikian rupa. 

Salah satunya adalah Yati (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan Hindu yang merantau ke Sumatera Barat hampir 4 tahun yang lalu. Ia merantau ke Sumatera Barat, mengikuti suaminya yang dimutasi ke salah satu kota di Sumatera Barat.

Sebagai satu-satunya keluarga Hindu di kota tempat tinggalnya, tidak mudah bagi Yati untuk bisa beradaptasi. Sambutan yang diterima Yati dan keluarganya juga tak seperti yang diharapkan. Saat Yati memulai aktivitas sebagai perempuan Hindu di Sumbar, ia sering menerima pertanyaan-pertanyaan terkait ritual keagamaan yang dijalankannya. Salah satunya saat ia menghaturkan canang di depan rumah, tetangga seraya menengok atau bahkan bertanya karena penasaran.

“Ibu orang apa?”

“Agamanya apa?”

Dengan sabar, Yati menjelaskan kepada tetangga yang menanyakan pertanyaan sensitif tersebut. Cemas, dan takut bercampur menjadi satu. Tapi Yati tak mau menyerah. Untung saja, suami mendengarkan keluh kesah, dan menjadi sandaran ternyaman. Keresahan, dan ketakutan meredam. Dukungan suami sangat membantu Yati menjalani kehidupan barunya di lingkungan barunya.

Masalah juga dihadapi Yati saat mendaftarkan dua anaknya sekolah. Anak perempuannya diwajibkan untuk mengenakan jilbab, dan anak laki-lakinya diharuskan untuk memakai peci saat hari Jum’at.

Yati yang keberatan dengan kebijakan ini, lantas mendatangi Kepala Sekolah dan menemui gurunya. Ia mencari solusi agar  anak-anaknya tidak disisihkan meski tidak memakai jilbab, tidak bisa mengikuti pembelajaran. Tetapi, tidak ada hasil.

Pimpinan perusahaan dari pihak suaminya menjelaskan kalau mengenakan jilbab di Sumatera Barat merupakan hal yang lumrah. Tidak terima dengan penjelasan itu, akhirnya Ibu Yati mengajukan protes.

“Kalau bisa kalau memang harus diwajibkan, kami balik lagi ke Jambi, dimutasikan balik lagi, kami tidak mau di sini lagi, kami bilang gitu kan. Jadi dari pihak PT mendatangi sekolah, mencari solusinya bagaimana, itu anak-anak kami.”

Segenap upaya yang dikerahkan Yati menemukan titik terang. Anaknya yang perempuan tidak lagi wajib mengenakan jilbab, dan anak laki-lakinya bisa mengenakan udeng di hari Jum’at tanpa mengenakan peci.

Kisah lainnya dituturkan Wati (bukan nama sebenarnya). Ia telah menetap di kota Padang selama puluhan tahun, mengikuti suaminya yang bekerja sebagai PNS. Sejak pertama kali meninggalkan kampung halamannya. Wati terus belajar beradaptasi dengan lingkungan baru yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Wati cenderung lebih tertutup dan tidak pernah ikut berkegiatan dan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Namun, Wati tetap menjalin komunikasi yang baik dengan tetangganya. 

Beruntung, di komplek Wati tinggal ada 2 keluarga HIndu lainnya. Sehingga mereka bisa bersama-sama menjalankan peribadatan. Wati mengaku, ia tidak pernah merasa terancam saat menjalankan peribadatan. 

Juga saat perayaan hari raya atau sembahyang ke pura menurut kalender Hindu saat mereka harus ke pura dengan mengenakan kebaya, selendang, dan kamen. Tetangga komplek tentunya melihat pemandangan tersebut sebagai hal yang lumrah. Kehadiran Wati dan dua temannya yang perempuan Hindu menjadi bukti keberadaan, umat Hindu di kota Padang.

Para perempuan HIndu ini aktif berperan dalam kegiatan pura yang hanya satu-satunya di Provinsi Sumatera Barat ini. Mereka bernaung dalam organisasi ”Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Prov. Sumatera Barat. Organisasi ini bergerak khusus untuk perempuan Hindu sehingga mereka bisa berdaya, dan memiliki kegiatan. Mereka rela datang jauh-jauh dengan jarak tempuh berjam-jam, untuk mengikuti pertemuan rutin di minggu pertama dan kedua bulan.

Kegiatan yang biasa dilakukan adalah membuat sarana persembahyangan untuk menyambut hari raya agama. Tanpa peran perempuan, mustahil persembahyangan di hari raya bisa berjalan lancar. Perempuan tak pernah absen dalam menyukseskan jalannya suatu persembahyangan baik hari raya besar maupun kecil. Andil perempuan juga tak bisa disepelekan dalam pembangunan satu-satunya pura di Sumatera Barat. 

Kisah Yati dan Wati menunjukkan, mempertahankan identitas agama tetap bisa dilakukan selama ada komunikasi yang baik antara mayoritas dan minoritas. 

(Artikel ini didukung atas kerjasama Konde.co dan The Asian Muslim Network (AMAN) Indonesia dengan didukung UN Women dalam program Peace Innovation Academy 2022)

(Artikel yang sama juga dimuat di Project Multatuli: https://projectmultatuli.org/pura-tersembunyi-di-padang-bagaimana-kami-membangun-pura-satu-satunya-di-sumatera-barat/)

Ni Putu Eka Budi PWD

Penulis perempuan yang akrab dipanggil Wulan. Sedang menempuh pendidikan S2 di Jurusan Ilmu Komunikasi UNAND.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!