‘Perempuan Nakal, Bodoh dan Bisa Diperdaya’: Stop Labeling Perempuan Pekerja Migran

Sudah jatuh ketimpa tangga. Para perempuan pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri banyak mendapat labeling atau stereotype negatif. Labeling ini tak banyak ditemui pada laki-laki pekerja migran

Coba simak labeling yang selama ini ditujukan pada perempuan pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri:

“Perempuan yang suka menikah dengan orang luar negeri”

“Bodoh dan bisa diperdaya.”

“Perempuan nakal.”

“Sebagai pembawa HIV/AIDS.”

“Sebagai pembawa Covid-19.”

Banyak labeling yang selama ini ditujukan terhadap pekerja migran. Padahal bagi perempuan Indonesia yang bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri (TKI)  atau yang kini disebut dengan pekerja migran Indonesia (PMI), ini adalah salah satu cara untuk membantu perekonomian keluarga keluar dari jeratan kemiskinan.

Bagi pekerja migran, bekerja di luar negeri sebenarnya bukanlah tujuan utama, namun ketika bekerja di dalam negeri tak menjanjikan apa-apa, bekerja di luar negeri pun dilakoni, meski untuk itu mereka harus berpisah jauh dari keluarga.

Indonesia termasuk salah satu dari 10 besar negara yang paling banyak mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri. Pada tahun 2015 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat bahwa jumlah PMI di luar negeri berkisar pada 6,5 juta jiwa dan diperkirakan akan terus bertambah. Sayangnya perjuangan perempuan yang bekerja sebagai PMI ini kadang tidak didukung oleh lingkungan atau masyarakatnya, menjadi berat dengan menyematkan label-label yang tak perlu.

Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di luar negeri juga sering kali mendapat stigma-stigma negatif di masyarakat, terlebih di desa tempat ia tinggal. Sering sekali mereka dapat tanggapan nyinyir ketika mereka bekerja ke luar negeri:

“Bagaimana dengan keluarganya, kok malah ditinggal di luar negeri? Pasti anaknya tidak terurus.”

Lalu anggapan lain yang disematkan, yaitu perempuan yang bekerja di luar negeri pasti akan terpengaruh dengan dunia luar, mereka pasti akan selingkuh ataupun bermain dengan laki-laki lain, padahal urusan domestik adalah urusan perempuan. Stigma sebagai pekerja luar negeri tak banyak disematkan pada laki-laki. Sepertinya ini karena masalah kultur di mana laki-laki bebas memilih ke luar negeri sedangkan perempuan lebih tepat jika mengurus domestik

Labeling sebagai perempuan tidak benar dan nakal juga terjadi pada perempuan migran teman saya. Teman perempuan saya yang masih berumur 23 tahun bekerja sebagai pekerja domestik atau PRT di Hong Kong, ia rela meninggalkan keluarganya di rumah demi mendapatkan gaji yang layak jauh lebih tinggi dari pendapatan sebelumnya di desa tempat ia tinggal. Dengan perubahannya secara signifikan mulai dari penampilan dan gaya hidup yang diposting di media sosialnya, otomatis teman-teman, lingkungannya di kampung yang melihat di medsos berasumsi, “Wah, orang ini sudah tidak benar, nakal.” Kalimat itu yang sering saya dengar.

Ibu dari teman terdekat saya yang bekerja di luar negeri juga mengalaminya. Banyak sekali celetukan dari orang-orang terdekatnya seperti: “Ibunya kog main sosmed mulu dengan gaya yang brutal pasti nakal, tidak mengurus anaknya.”

Hingga kemudian mereka juga berpikir kalau ibunya bekerja di luar negeri pasti akan lupa dengan anaknya bahkan enggan menghubunginya. Padahal  kebenarannya, teman saya menjalin komunikasi dengan ibunya sangat intens, toh sudah ada teknologi. Jadi labeling seperti ini tak terbukti dan sengaja dibuat-buat.

Para perempuan ini jelas menanggung tanggung jawab besar sebagai pekerja. Mereka menyadari bahwa penghasilan mereka dapat memperbaiki finansial keluarga, sekaligus menyadari bahwa hal itu membutuhkan pengorbanan besar dari diri mereka sendiri. Sebab pekerja migran perempuan juga banyak mendapat perlakuan yang tidak baik dengan majikannya.

Saudara terdekat saya yang bekerja di Arab juga mendapat perlakuan kekerasan seksual hingga fisik seperti dicambuk dan dilempari benda-benda. Bahkan ia pernah dipenjara di Arab dengan tuduhan pencurian, padahal katanya ia tidak mencuri, ia justru difitnah.

Sesampai dipulangkan di Indonesia pada tahun 2015an, ia tidak mempunyai apa-apa “hartanya habis” dan mentalnya hancur mungkin sudah di tahap trauma akut. Karena pertama kali ia pulang, ia takut melihat sosok laki-laki dan bisa memberontak

Tentu para pekerja perempuan itu menanggung beban ganda yang berlipat-lipat, selain beban pekerjaan yang ditanggung, dan stigma sosial yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal inilah yang akhirnya memunculkan stereotipe terhadap perempuan pekerja migran

Jadi stop mengeneralisir para pekerja perempuan di luar negeri dengan labelling negatif. Simpan kalimat yang tak perlu karena perempuan pekerja migran bekerja keras disana dan berjuang untuk keluarga, juga berjuang menghadapi kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang bisa menghampiri mereka setiap saat.

Ravika Alvin Puspitasari

Kesibukan sehari-hari kuliah daring dan mengikuti berbagai diskusi online. Selain itu aktif menulis di Lembaga Institute For Javanese Islam Research. Tertarik dengan isu-isu gender yang sedang berkembang saat ini
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!