Tanda Bahaya Jika Permendikbud Stop Kekerasan Seksual Tersendat di Kampus

Jaringan Muda Setara menemukan data soal tersendatnya implementasi Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021. Tersendatnya Permendikbud memang menjadi babak baru perjuangan melawan kekerasan seksual di kampus.

Annisa, aktivis perempuan di Jaringan Muda Setara memetakan, banyak kampus di Indonesia yang belum mengaplikasikan Permendikbud. Ia menyebut ini sebagai kampus-kampus yang masih sangat tertinggal. 

Misalnya ini bisa ditunjukkan dengan belum adanya Panitya Seleksi/ Pansel atau satgas stop kekerasan seksual yang terbentuk di kampus. Padahal Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) sejak 26 Oktober 2021

Kampus dengan kategori tertinggal ini umumnya belum punya peraturan soal anti kekerasan seksual, bahkan sosialisasinya juga belum ada. Kondisi ini seperti temuan Jaringan Muda Setara terjadi di Universitas Pattimura dan Universitas Hasanuddin.

“Universitas Hasanuddin saat ini sudah ada aliansi mahasiswa untuk mendorong kampus tapi dari kampus belum ada tanggapan dan sejumlah kampus lain yang belum ada gerakannya,” kata Annisa dalam diskusi perkembangan Permendikbud pada Minggu, 30 Mei 2022 secara daring

Kampus lain adalah kampus dengan type kedua,  yaitu kampus dengan type perjuangan modifikasi. Contohnya seperti Universitas Mulawarman dan UPI Bandung. Disana misalnya sudah punya crisis center yang kemudian akan dimodifikasi disesuaikan dengan kebijakan kampus, jadi kampus seperti ini tidak akan memperjuangkan Permendikbud  dari awal karena sudah lebih dulu diperjuangkan

Atau modifikasi lain seperti Kampus Unsika. Rektorat disana sudah membuat aturan, walau sayangnya aturan tersebut tidak melibatkan mahasiswa, hanya melibatkan dosen dan staf akademika. Data-data soal babak baru perjuangan di kampus ini pernah dipaparkan Annisa dalam acara konsolidasi Jaringan Muda Setara pada Maret 2022. 

Di situasi ini, ia mengatakan pembentukan panitia persiapan yang dilakukan kampusnya pun, masih belum partisipatif dikarenakan hanya mengajak staf akademik dan dosen. Selain itu, minimnya perspektif korban serta gender juga masih menjadi pekerjaan rumah sendiri di internal pansel itu. 

“Di akhir Februari lalu, baru dibuka civitas akademika menjadi pansel, ada 40 orang menjadi pansel. Ini perlu dikawal apakah pansel sudah sesuai komposisinya dan memastikan orang-orang yang ada di dalam pansel berperspektif korban,” tegasnya. 

Sementara itu, Aneu Damayanti dari GERPUAN, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menjelaskan bahwa  di UNJ sebetulnya telah menerbitkan Peraturan Rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini sebelum turunnya Permendikbud PPKS, namun dalam praktik selanjutnya, kampus jadi kurang responsif terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi. 

Hal itu terbukti dengan menyeruaknya dugaan kasus pelecehan seksual dosen kepada beberapa mahasiswa yang belakangan santer diberitakan di UNJ. Kampus sempat menerbitkan pers rilis pada 9 Desember 2021 untuk merespons soal dugaan pelecehan seksual ini, dan 14 Januari 2022 juga telah memberitahukan bahwa kampus UNJ telah membentuk satgas, namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut pemberitahuan proses yang terjadi. 

“Satgas belum responsif di UNJ,” katanya dalam diskusiPublik Permendikbud Ristek stop kekerasan seksual di kampus pada 29 Mei 2022 secara online yang diadakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Universitas Brawijaya

Dosen Universitas Indonesia (UI), Lidwina Inge dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa hambatan seperti inilah yang kemudian membuat para korban mengalami kesulitan dalam berjuang. 

“Jika ada kekerasan, sepertinya semua terpaksa harus diredam, cuma bisa bisik-bisik saja, ngomongnya diem-diem, karena belum adanya aturan yang melindungi mereka untuk bicara dan berjuang.”

“Ini yang dulu biasa terjadi karena pemahamannya adalah kita harus menjaga nama baik kampus, makanya harus diem-diem atau diredam. Namun ketika mahasiswi di UGM speak up, maka semua orang bisa belajar bahwa logika diam-diam saja ini tak bisa dibiarkan dan kampus harus berani melakukan penyelesaian. Jika diam saja, maka ini berarti kampus justru tak bisa menjaga nama baiknya.”

Inge Lidwina memaparkan soal tantangan yang ada di kampus. Tantangan pertama adalah soal mengubah paradigma. Paradigma yang dulu mengatakan bahwa diam-diam saja itu baik, saat ini harus diubah bahwa semua orang harus mendukung para korban untuk berani bicara.

Berani bicara ini adalah salah satu cara untuk memporak-porandakan wilayah gelap yang biasa dilakukan para predator yang tidak pernah mengaku melakukan kekerasan seksual dan menutup  semua secara rapat-rapat 

“Para predator ini, mereka suka bilang hubungannya dengan mahasiswa itu seperti hubungan kakak dan adik, hubungannya anak dan ayah, padahal ini melaggar hak anak didik dan melanggar ketubuhan anak didik. Cara berpikir ini yang harus diubah, karena ini bukan hanya sekedar relasi kuasa, namun juga nilai-nilai patriarkinya yang sangat kuat banget dan feodal strukturnya. Sehingga ketika ada situasi yang beda dengan struktur, maka ini dianggap ganguan.”

Ada juga yang percaya jika kampus merupakan lembaga pendidikan yang educated dan tak mungkin terjadi kekerasan seksual di kampus, padahal kondisinya tidak begitu, ada sejumlah orang yang sering menyalahgunakan. Maka pekerjaan rumah untuk membongkar paradigma inilah yang harus terus-menerus dilakukan

“Jadi langkah pertama adalah penguatan korban, tidak boleh menyalahkan korban, korban ditanya mau atau tidak dibawa ke ranah hukum, korban ditanya juga apakah kuat dengan komentar netizen, di kita ini belum terlalu berkembang dengan pemikiran seperti itu, trus ada yang bilang setelah korban bercerita malah dibilang, udah sana kamu korban lapor polisi aja, padahal korban bisa bicara ini saja sudah luar biasa berani speak up, harusnya yang seperti ini didampingi.”

Lidwina Inge menambahkan, pekerjaan kedua yang harus dilakukan yaitu pendataan kasus di kampus,  ini sangat penting untuk dipelajari, karena jika ini dibiarkan, maka akan terjadi peluang baru yang lebih banyak.

“Soal pendataan ini, ini juga merupakan kondisi yang harus diperjuangkan dan memetakan siapa saja pelaku di kampus, edukasi ini tidak hanya diberikan pada mahasiswa baru, tapi juga pada guru besar, dosen, dll

Pekerja Rumah Besar: Isu Kekerasan Seksual Belum dianggap Penting

Implementasi di kampus-kampus lain juga menunjukkan bahwa isu stop kekerasan seksual belumlah isu yang dianggap penting di kampus. 

Banyak kasus Kekerasan Berbasis Gender/ KBGO  yang terjadi di Universitas Diponegoro (Undip), disana banyak candaan berbau seksual, catcalling, sentuhan fisik, namun hanya 10,89% yang tahu soal pencegahan dan penanganan seksual di Undip.

“Jika ramai, maka kasus baru ditangani, ini bukan karena kampus ingin kasusnya selesai, tapi tujuannya biar kasusnya tidak jadi ramai dan melebar. Undip belum punya langkah konkret kecuali aturan rektor soal rancangan SOP,” kata Nadya Yuniar

Di Undip, data juga menunjukkan bahwa kampus butuh SOP kekerasan seksual, sebanyak 11,67% menyatakan butuh regulasi kekerasan seksual di Undip

Secara umum di beberapa kampus didapatkan data bahwa pelecehan juga banyak terjadi seperti di tempat-tempat yang gelap dan minim sarana dan prasarana, seperti adanya kasus-kasus seperti begal payudara di tempat yang gelap.

“Jadi kampus harus mengusahakan tempat yang aman, ini seharusnya masuk dalam pencegahan. Masih ada ketakutan sepertinya ada satgas. Aturan rektor ada tapi belum memberikan dampak. Maka rekomendasi kami untuk tim penyusun draft yaitu: memberikan rekomendasi tetap mencantumkan Permendikbud, adanya aturan hukum gender, disabilitas yang baik karena mereka juga rentan, standar SOP yang jelas, ada setiap unsur diberikan andil yang sama untuk pencegahan, dan andil sejak dalam penyusunan,” kata Nadya Yuniar

Lintang M Savana menyatakan jika di Universitas Brawijaya, Permendibud ini belum diimplementasikan, padahal ini adalah hal mendasar namun sampai sekarang peraturan rektor belum diturunkan. Padahal harapannya adalah setelah aturan rektor ini dikeluarkan sehingga semua unsur terpenuhi.

Jaringan Muda Setara berharap, pihak kampus segera memberikan timeline pasti soal implementasi Permendikbud PPKS. Selain itu, juga harus adanya monitoring di kampus seluruh Indonesia terkait pencapaian proses pelaksanaannya. 

Sebab beberapa birokrat kampus bahkan masih beranggapan bahwa isu kekerasan seksual bukanlah isu prioritas kampus. Hal ini merupakan ‘tanda bahaya’, karena birokrat kampus merupakan salah satu aktor dalam proses mewujudkan kampus aman dan bebas kekerasan seksual. 

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!