Ramai Pemberitaan Sule-Nathalie Cerai: Media Berburu Sensasi atas Nama Urusan Privat

Selain perkawinan artis, media terus-menerus mengurusi hal privat seperti kelahiran anak artis, ulangtahuan artis, dan kini perceraian artis, salah satunya perceraian yang sedang ramai ditayangkan yang terjadi pada pasangan Sule dan Nathalie Holscher. Media rajin berburu sensasi atas nama urusan privat

Beberapa hari ini, kasus perceraian artis Sule-Nathalie Holscher ramai diberitakan di berbagai media online hingga TV.

Hal ini sejalan dengan berbagai konten di sosial media termasuk youtube yang terus diproduksi. Podcast demi podcast seolah menjadi ‘ladang cuan’ untuk berburu urusan privat agar jumlah klik mereka makin melimpah. Ini tak ada bedanya dengan tayangan infotainment di televisi. Televisi terus mereplikasi urusan privat

Komedian Sule dan Nathalie Holscher memang tengah jadi perbincangan. Pasangan suami istri itu dikabarkan akan bercerai setelah nyaris dua tahun usia pernikahan. Nathalie menggugat cerai Sule ke Pengadilan Agama Cikarang, Jawa Barat. Tak jauh dari ramainya kabar perselisihan dengan anak perempuan Sule, Putri Delina, mencuat ke publik.

Pengamatan Konde, tak sedikit media yang kemudian mengangkat isu Sule-Nathalie ini, termasuk menyangkut anak-anaknya.

Seperti dalam sebuah video kebersamaan Putri Delina bareng kedua adiknya yang turut mendapat perhatian publik. Salah satu media online nasional bahkan menyadur dari sebuah akun gosip @rumpi_gosip di Instagram yang menggambarkan potret tersebut. Inti dari berita itu mengangkat, ekspresi sedih yang katanya bikin nyesek Ferdi, Anak Sule yang tak ikut bercanda bareng kedua kakaknya. 

Tak jauh beda, berita di media online nasional juga menampilkan hal serupa. Dengan gamblang, judul dari berita itu bahkan lengkap menunjukkan situasi ‘Sule dan Nathalie cerai, tawa lepas Putri Delina saat Rizwan menyindir warganet yang menyebut Ferdi sedih karena perceraian orang tuanya menjadi sorotan. Belum lagi, ada pula media lain yang membikin biodata dan profil lengkap anak Sule yang masih berumur sebelas tahun itu (di bawah umur). 

Dosen dan Peneliti di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Lestari Nurhajati mengatakan bahwa dalam kasus ini, banyak pelanggaran etika jurnalistik yang masih dilakukan dalam praktik pemberitaan isu-isu artis dan ini terus-menerus terjadi. Banyak berita yang hanya mementingkan ramainya isu dengan mengangkat hal yang semestinya privat, tapi minim kepentingan publik.

Hal itu sebagaimana tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 9 “wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.”

“Isu utamanya adalah media cenderung mengejar sensasi,” ujar Lestari kepada Konde.co, Kamis (14/7). 

Dalam isu perceraian artis, media-media yang terlampau sering mengangkat sosok anaknya, juga dikhawatirkan Lestari Nurhajati bisa melakukan eksploitasi, terlebih tidak menjamin perlindungan bagi anak. 

“Ada upaya komodifikasi konten media dengan proses eksploitasi anak-anak, apakah itu keceriaan anak maupun kesedihan anak,” lanjut Lestari. 

Dalam Pedoman Pemberitaan Anak oleh Dewan Pers disebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh media. Pada poin (3) menegaskan, wartawan semestinya tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan, orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik. 

Di sisi lain, poin (11) juga menyebutkan, wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) hanya dari media sosial.

Pemberitaan isu perceraian artis ini tidak hanya dilakukan sekali dua kali, malah terlampau sering. Perburuan perceraian artis mungkin hampir sama banyaknya dengan perkawinan artis yang masuk di televisi, juga ulangtahun artis atau kelahiran anak artis. Di luar itu, banyak urusan personal lain yang masuk televisi seperti artis lagi liburan, artis lagi masak, artis lagi berenang, artis lagi belanja, intinya mengaduk-aduk persoalan privasi 

Marina Nasution dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menekankan, media harus senantiasa berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik/ KEJ. Maka hal yang sekiranya berurusan dengan ranah privat dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik tak layak dijadikan berita. Pun di era banjirnya konten sosial media dan mengejar viral ini, media juga harus hati-hati dalam mencomot konten di sosial media. 

“Soal kutip mengutip, jurnalisme itu kan jelas pegangannya fakta, dalam prosesnya ia sangat menghindari sumber anonim (terkecuali isu sensitif dan membahayakan nyawa), mencomot langsung tanpa izin, tanpa penyebutan sumber ya mencederai praktik ideal jurnalisme itu sendiri,” terang Nina kepada Konde.co, Kamis (14/7).

Glorifikasi Kehidupan Selebritis

Konde.co pada 16 Juni 2022, pernah menuliskan terkait dengan glorifikasi media atas kehidupan para artis termasuk televisi.

Serupa dengan kasus perceraian yang terjadi pada Sule-Nathalie, berbagai isu terkait hal-hal personal terus-menerus menjadi tayangan sensasi di televisi, seperti artis seperti perkawinan, kelahiran anak-anak artis, hingga eksposur anak artis yang masih balita masih terus dilakukan. Padahal, kesemuanya ini adalah urusan privat yang ditampilkan secara publik.  

Pengamat komunikasi, Lintang Ratri pernah menyatakan, secara kultur masyarakat Indonesia memang tergolong masyarakat kolektif. Di kondisi ini, urusan privat dan publik yang ada di tengah masyarakat seolah-olah memang hampir tak ada batasan. Cenderung kepo dan terlibat, dan turut andil (jika tak boleh dibilang ikut campur) dalam urusan orang lain. 

Mengintip kehidupan pribadi menjadi kebutuhan dan keasyikan tersendiri, untuk dikomentari, sebagai standar kehidupan impian, dan tentu beberapa dinyinyiri sebagai katarsis kehidupan pribadi yang mungkin tidak baik. Ini terlihat dari cerita anak-anak artis yang menjadi komodifikasi baru di televisi.

Paham sekali jika media selalu mengejar kebaruan, tayangan eksklusif, dan lain-lain namun jika sudah melakukan glorifikasi, ini yang jadi persoalan. Jika sudah menganggap bahwa selebritis adalah bagian terpenting dari sebuah isi siaran dan isu lainnya tidak penting, ini yang harus dikritisi. Inilah yang memicu terjadinya glorifikasi media.

Glorifikasi merupakan peristiwa meluhurkan, memuliakan, melebih-lebihkan sesuatu atas subjek. Media melakukan glorifikasi karena punya nilai-nilai sendiri, padahal seharusnya media bekerja untuk kepentingan publik. 

Nur Aini dalam Konde.co juga pernah menulis, perempuan misalnya kerap menjadi sasaran bahwa kita tak boleh mengulik urusan-urusan personal. Namun, begitu perempuan menjadi korban kekerasan dari pasangan atau keluarganya termasuk kekerasan dalam rumah tangga, orang kerap menyebut itu sebagai urusan privat. Itulah ironi yang kemudian terjadi. Apalagi jika ia berasal dari kelompok miskin dan minoritas, televisi seolah meninggalkan kelompok ini. 

Kondisi ini juga menunjukkan, ketika otonomi perempuan dirampas lewat kekerasan, media kerap menghindar untuk mau tahu cerita perempuan, dianggap remeh pengalaman perempuan, apalagi kelompok minoritas yang tak banyak mendapat tempat di televisi. Pengalaman perempuan korban kekerasan, terutama kekerasan seksual bahkan ada yang masih menganggapnya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Membicarakannya berarti membincangkan persoalan orang lain, dianggap kepo dan kita tak pantas mengurus derita orang lain atau mengurus rumah tangga orang lain

Lalu jika yang terjadi adalah melakukan personalisasi artis yang laku di televisi dan ditayangkan dengan cara seperti ini terus-menerus: live acara perkawinan, acara perceraian yang diurus media, ulang tahun dan yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik, kapan kondisi ini bisa berubah?

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!