Riset: 3 Media Dinilai Tak Independen Beritakan Keistimewaan Yogyakarta

Sebuah riset tentang independensi media menemukan bahwa terdapat 3 (tiga) media di Yogyakarta yang tidak independen dalam memberitakan soal keistimewaan Yogyakarta. Dalam riset didapatkan tidak ada berita dengan nada kritis yang berusaha menelusuri dugaan kejanggalan maupun kecurangan Keraton Yogyakarta.

Penelitian yang dilakukan Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Gilang Jiwana Adikara mengungkap: terdapat 3 (tiga) media massa lokal di Yogyakarta yang terindikasi tidak independen memberitakan tentang status keistimewaan Yogyakarta.

Riset berjudul “Independensi Media Lokal di Yogyakarta” itu menemukan tiga media massa itu tidak kritis karena mendapat pengaruh dari pemodal, pasar, dan khawatir mendapat serangan dari loyalis keistimewaan.

Seluruh perwakilan media massa yang diteliti menyatakan menjalankan jurnalisme secara independent, tapi, temuan Gilang berkata lain. “Independensi itu tidak berjalan utuh,” kata Gilang dalam diskusi publik secara daring seri dua bertajuk Potret Independensi Media Lokal di Yogyakarta, Senin, 25 Juli 2022.

Penelitian itu muncul setelah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar liputan kolaborasi 15 media massa tentang konflik agraria. Lima media massa di antaranya menerbitkan liputan penguasaan tanah kas desa oleh Keraton Yogyakarta secara serentak pada September 2021.

Temuan AJI Yogyakarta menunjukkan tidak ada satupun jurnalis dari media lokal di Yogyakarta yang bergabung dalam proyek kolaborasi tersebut. Melalui dukungan Kurawal Foundation, AJI Yogyakarta kemudian menggandeng Gilang untuk meriset tiga independensi media lokal yakni Harian Jogja, Kedaulatan Rakyat, dan Tribun Jogja.

Gilang mengambil sampel berita tentang Sultan Ground dan Pakualaman Ground yang terbit versi online tiga media tersebut pada periode 2021-2022. Selain itu, mantan jurnalis itu juga mewawancarai perwakilan 3 media massa dan AJI Yogyakarta.

Menurut Gilang, tiga media lokal itu membingkai pemanfaatan dan kepemilikan asset Sultan Ground dan Pakualaman Ground sebagai hal yang baik dan ditujukan bagi masyarakat. Tidak ada berita dengan nada kritis yang berusaha menelusuri dugaan kejanggalan maupun kecurangan oleh Keraton Yogyakarta.

Tiga media itu fokus mendukung jalannya pemerintahan daerah di Yogyakarta. Amanat Undang-Undang Keistimewaan menjadi dasar pengelolaan pemerintahan daerah oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Harian Jogja memilih berhati-hati dalam mengkritik karena kerabat Keraton Yogyakarta memiliki sebagian saham perusahaan.

Kedaulatan Rakyat memilih netral dengan alasan kepentingan ekonomi. Tribun Jogja jarang mengkritik karena pertimbangan rutinitas media yang memaksa mereka memproduksi berita secara cepat dan diminati masyarakat.

“Kepentingan pasar dan ekonomi jadi dasar KR dan Tribun. Harian Jogja karena faktor kepemilikan saham keraton,” kata mantan jurnalis itu.

Selain Gilang, diskusi yang AJI Yogyakarta gelar itu melibatkan anggota Dewan Pers Komisi Hukum dan Perundang-undangan, Arif Zulkifli. Arif Zulkifli menjelaskan pemenuhan hak publik untuk tahu dalam negara demokrasi menjadi hal mendasar. Contoh hak publik untuk mendapatkan informasi tentang pengelolaan tanah. Media massa seharusnya berikhtiar mengungkap fakta, bukan sekadar mencari untung dari iklan.

Media massa semestinya menjaga independensi yang berarti sikap yang tak bisa dipengaruhi oleh apapun kecuali kebijakan editorial. Independen juga bebas dari tekanan kelompok tertentu seperti loyalis keistimewaan, perusahaan, dan pengiklan.

Celakanya, belum semua perusahaan belum menempatkan independensi sebagai bagian penting kredibilitas suatu media. Di tingkat ruang redaksi, independensi juga menjadi masalah. Dia mencontohkan tidak ada jaminan media massa bisa independen bila pemimpinnya independen. Ruang redaksi bisa independen bila orang-orang dalam ruang redaksi itu bersikap egaliter.

“Keputusan tidak boleh di tangan satu orang, tapi sidang redaksi yang egaliter,” kata Arif.

Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk itu mengapresiasi riset Gilang sebagai otokritik terhadap pers. Dia memberi catatan terhadap riset tersebut agar tidak mencampuraduk obyektivitas, netralitas, dan independensi. Obyektivitas bicara fakta sesuai yang dilihat, netralitas tidak memihak, dan independensi tidak dipengaruhi oleh apapun. Arif menyarankan agar periset memisahkan ketiganya supaya lebih tajam karena bisa jadi media yang diteliti tidak independen dan tidak obyektif.

Menurut dia, independensi juga dipengaruhi oleh sejarah dan kultur media tersebut. Keyakinan secara organisasi mempengaruhi independensi media tersebut. Arif merekomendasikan kolaborasi liputan untuk mengatasi persoalan independensi.

“Liputan kolaboratif mengungkap skandal korupsi bisa jadi contoh,” kata dia.

(Foto: Ilustrasi)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!