Trend Kecantikan Bergeser dari Barat ke Korea: Lalu Dimana Posisi Perempuan?

Benarkah pergeseran standar kecantikan ala Korea telah mendobrak konstruksi sosial bahwa kosmetik tidak hanya digunakan oleh perempuan, tapi juga laki-laki dan meruntuhkan dominasi kecantikan ala barat?. Dimana posisi perempuan dalam narasi harus tetap putih dan glow up ini?

Publik sering dipertontonkan aneka produk kecantikan Indonesia yang berlomba-lomba menggaet selebritas Korea untuk menjadi duta merek atau brand ambassador.

Ada lebih dari lima individu maupun grup Korea yang menjadi duta merek dari produk kecantikan asal Indonesia, mulai dari pemain drama hingga bintang K-Pop, sebut saja Kim Soo Hyun, Han So Hee, girl group Twice, Cha Eun Woo, Song Joong Ki, Lee Min Ho, dan lainnya. 

Kemunculan artis dari Korea pada produk Indonesia ini tak lepas dari adanya pengaruh gelombang Korea atau hallyu. Apalagi Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dari pengaruh Korean wave tersebut. 

Namun, tak sedikit publik yang mengkritik penggunaan duta merek Korea untuk produk kecantikan asal Indonesia karena akan memunculkan standar kecantikan baru: kulit putih, kinclong, glow up, berbadan langsing.

Pergeseran standar kecantikan ala Korea Selatan tersebut tak hanya terlihat dari penggunaan duta merek asal Korea. Iklan-iklan klinik kecantikan, spa, hingga salon yang menjual treatment dan gaya ala Korea pun mulai bermunculan di Indonesia. Bahkan di beberapa tempat, mereka juga mengimpor tenaga kerja dari Korea untuk memberikan jasa dengan harga yang lebih mahal.

Pergeseran standar kecantikan menjadi ala Korea Selatan ini memiliki dua sisi, positif dan negatif. Dari sisi positif, gelombang Korea berhasil mendobrak konstruksi sosial bahwa kosmetik hanya bisa digunakan oleh perempuan. Ini terlihat dari penggunaan duta merek yang juga menjangkau laki-laki. Selain itu, gelombang Korea ini juga menggeser dominasi negara barat yang bertahun-tahun menguasai industri kecantikan. 

Identifikasi standar kecantikan itu selalu ada di setiap zaman. Dulu perempuan cantik itu identik dengan perempuan yang berdada besar dan berpinggul besar seperti lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci. Lalu identifikasi cantik berubah ketika munculnya revolusi industri.

Di Amerika, kecantikan diidentifikasi seperti boneka Barbie: tinggi, kurus, rambut panjang. Trend ini membanjiri ke seluruh dunia sehingga banyak orang mengidentifikasi jika perempuan tak seperti Barbie, maka ia tak dianggap cantik. Banyak perusahaan di dunia yang kemudian memproduksi alat kecantikan ala Barbie.

Walapun trend bergeser ke Korea, tapi penggunaan duta merek idola Korea Selatan pada produk Indonesia masih menunjukkan adanya narasi “keputihan” dalam standarisasi kecantikan yang perlahan mulai dipatahkan. 

Saat ini, ada juga di media sosial soal trend kecantikan atau yang biasa disebut sebagai standar Glow up Challenge. Banyak perempuan yang kemudian mengubah penampilannya agar lebih glow up, lebih cantik, lebih menarik di sosial media. 

Glow up challenge yang ramai di media sosial ini juga membuat para perempuan kemudian mengunggah foto atau video transformasi perubahan fisik yang dialami dari waktu ke waktu, misalnya yang dulu gemuk diubah jadi kurus, yang dulu hitam lalu diubah menjadi putih. Standardisasi kecantikan lewat glow up challenge di sosial media menjadi fenomena yang mencemaskan.

Para perempuan secara tidak langsung dipaksa untuk mengaminkan bahwa standardisasi kecantikan tertentu adalah segalanya agar dihargai oleh masyarakat. Tak jarang standardisasi kecantikan ini memunculkan rasisme terhadap mereka yang tidak memenuhi standar tersebut, contohnya perempuan yang berkulit gelap.

Bentuk lain dari standarisasi kecantikan yang sangat dekat dengan konteks Indonesia contohnya yakni pendaftaran HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) Citayam Fashion Week yang dilakukan oleh Baim Wong dengan partnernya Paula Verhoeven yang merupakan seorang model. Fenomena fashion show jalanan di sekitar stasiun BNI City, Sudirman, Jakarta yang menjadi ruang bermain bagi warga pinggiran Jakarta didaftarkan oleh dua pesohor itu dengan dalih “agar publik melakukan kegiatan fashion yang benar.”

Fenomena ini menunjukkan bahwa industri atau pihak yang memiliki modal besar akan selalu berusaha untuk membentuk standar kecantikan berdasarkan kriteria yang dibentuk oleh mereka. Akibatnya, mereka yang memiliki bentuk tubuh tak sesuai dengan selera mereka akan mengalami perundungan dan mereka yang sesuai standar akan lebih dihargai. 

Jika kondisi ini dibiarkan, maka perempuan yang selama ini banyak mengalami diskriminasi dan subordinasi, dan lingkungan yang misoginis harus terus berusaha keras agar diakui di tengah masyarakat, karena masyarakat hanya menghargai yang cantik.

Konsepsi kecantikan ini dari dulu selalu diadopsi oleh industri kecantikan dan disebarluaskan oleh media massa.

Lalu bagaimana perempuan harus bersikap dalam menghadapi standar kecantikan ini? Bagaimana tren kecantikan ke depan? Apakah mengacu ke Barat, ke Korea, atau akan terus terombang-ambing oleh standar tertentu dan dibesarkan oleh media sosial dan media? Apakah kapitalisme akan terus memenangkan pembentukan standarisasi kecantikan?

Untuk membahas hal ini, Konde.co akan menyelenggarakan diskusi berjudul “Trend Kecantikan Bergeser dari Barat ke Korea: Dimana Posisi Perempuan?” pada Jumat, 29 Juli 2022 jam 14.00 WIB melalui zoom dan Live Youtube Konde Institute

Diskusi ini untuk melihat objektifikasi perempuan dalam tren kecantikan. Lalu melihat posisi perempuan dalam kondisi ini, melihat bagaimana peran media dalam membesarkan narasi kecantikan dan apa yang bisa dilakukan oleh media dalam kondisi ini?

Narasumber yang akan memberikan paparannya antaralain Widia Primastika (Editor Konde.co), Anisa Inayah/ Peneliti pink tax, Wisnu Prasetya (dosen dan peneliti UGM) dan Widi Lestari Putri (lulusan S2 Kajian Gender UI) dengan moderator: Marina Nasution (Redaktur Konde.co)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!