Aktivis Tolak RKUHP: Awas, Ada Pasal Reviktimisasi Korban Kekerasan Seksual

Para aktivis melakukan aksi penolakan pada draf RKUHP yang gencar disosialisasikan oleh pemerintah, setidaknya ada 23 pasal yang dinilai bermasalah oleh Aliansi Nasional RKUHP. Sejumlah pasal dinilai mengancam kebebasan berekspresi. Ada juga pasal yang dinilai terlalu mencampuri urusan privat sehingga berpotensi mereviktimisasi perempuan korban kekerasan seksual.

Selasa, 28 Agustus lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar kick off terkait pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Kritik lalu datang dari Aliansi Nasional RKUHP yang menilai bahwa acara yang dilakukan pemerintah ini sebagai jalan formalistik yang ditempuh dengan tujuan untuk sosialisasi atau edukasi semata.

Aliansi menolak cara-cara pemerintah yang melakukan sosialisasi searah tanpa memperhatikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation). Pasalnya masyarakat sipil menghendaki adanya ruang partisipasi dan konsultasi guna mendengar masukan publik secara maksimal.

Kick off RKUHP yang menghadirkan lebih dari seratus tamu undangan baik dari pemerintah dan DPR ini dinilai elitis. Pihak-pihak yang diundang dinilai tidak representatif dan mewakili unsur masyarakat yang ada. Masyarakat miskin dan tertindas yang akan banyak berhadapan dengan KUHP, justru tidak dilibatkan. Padahal, merekalah yang akan merasakan saat KUHP diberlakukan.

Forum ini juga dinilai bukan sarana untuk membangun diskursus publik terkait pasal-pasal problematik yang ada pada draf terbaru yang dirumuskan pada 4 Juli 2022 lalu. Forum itu bersifat monolog dan tidak membangun dialog yang dikonstruksikan secara setara.

Aliansi menilai bahwa kedatangan atau ketidakdatangan masyarakat sipil dalam agenda tersebut akan diklaim sebagai bagian dari persetujuan publik. Pemerintah akan berdalih telah menyediakan ruang partisipasi publik, demi memuluskan jalan agar RKUHP bisa segera disahkan.

“Forum itu bersifat satu arah, bahkan ketika kami menyampaikan keberatan Wamenkumham tetap melanjutkan pemaparannya, tanpa mengindahkan suara kami. Bahkan kami diusir dari forum,” ujar pengacara publik dari LBH Jakarta Citra Referandum saat berbincang dengan Konde, Rabu (24/8/2022).

Pemerintah dinilai sangat membatasi akses masyarakat terhadap draf RKUHP. Organisasi masyarakat sipil yang punya perhatian terhadap isu ini baru bisa mengakses draf RKUHP pada 6 Juli 2022 dan draf (4 Juli) itu baru diunggah pada Rabu (24/8/2022).

Ruang dialog yang tak tersedia secara luas dinilai bertentangan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang meminta agar pembahasan RKUHP dilakukan secara partisipatif dan inklusif bersama masyarakat. Sayangnya, pembahasan selama ini dilakukan secara terburu-buru, serta tidak mendengar dan mempertimbangkan masukan masyarakat.

“Jika memang pemerintah tetap bersikap seperti ini, mungkin aksi besar-besaran seperti 2019 harus kami lakukan agar suara kami didengar,” cetus Citra.

Pada tahun 2019, RKHUP memicu gelombang penolakan besar-besaran yang bahkan memakan korban. Saat ini pun, koalisi masyarakat sipil hingga mahasiswa juga berencana melakukan aksi demonstrasi.

Hal ini dilakukan karena diskusi dan berbagai masukan baik yang disampaikan secara terbuka maupun dalam forum terbatas seolah tidak diindahkan. Selain itu belum terlihat itikad pemerintah untuk membuka ruang-ruang diskusi sesuai dengan prinsip partisipasi bermakna, bukan hanya sosialisasi searah yang hanya bersifat formalitas

Desakan Menghapus Pasal-pasal Bermasalah

Pemerintah dan DPR selama ini terkesan membangun narasi bahwa topik yang dibahas hanya akan berkaitan dengan 14 pasal krusial. Padahal menurut Citra, Aliansi mencatat ada setidaknya 24 poin yang harus menjadi perhatian di luar 14 kluster yang disebut pemerintah.

23 poin diusulkan untuk dihapus, sedangkan 1 poin lainnya diusulkan untuk ditambahkan. Sebanyak 23 poin tersebut, utamanya berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat serta campur tangan pemerintah dalam ranah privat warga negara.

Sebagai contoh, pasal-pasal yang mengancam demokrasi tercermin dalam penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240 RKUHP), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 & 354 RKUHP), serta penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa izin (Pasal 273 RKUHP).

“Sebagian pasal-pasal ini telah dinyatakan konstitusional oleh MK, tetapi malah dihidupkan kembali dalam RKUHP ini,” ujarnya masygul.  

Terkait pasal penghinaan presiden, dalam draf 4 Juli sebenarnya ada perubahan yang dilakukan pemerintah yakni dengan menambahkan penjelasan.

Pemerintah juga memberikan pengecualian, bahwa pasal ini tidak bisa dikenakan pada kritik yang ditujukan untuk membela kepentingan umum. Namun syarat-syarat yang menyertai bagaimana kritik itu disampaikan, dinilai akan menghalangi masyarakat dalam mengekspresikan suaranya.  

“Dalam rumusan itu kritik harus berupa kritik terhadap suatu kebijakan, harus dibuat konstruktif, harus objektif dan diurai. Artinya untuk mengkritik, orang harus membuat kajian terlebih dahulu,” ujarnya.

Terkait penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa izin, ada perubahan rezim dari semula pemberitahuan diganti dengan pemberian izin. Perubahan ini dinilai akan membatasi kebebasan berekspresi, karena mereka yang berunjuk rasa tanpa mengajukan izin bisa dikenai pidana 6 bulan. Rumusan ini dinilai bertentangan dengan UU Kebebasan menyatakan pendapat.

Citra menambahkan pihaknya kini juga tengah menggencarkan kampanye untuk menuntut RKUHP lebih berpihak kepada masyarakat termasuk bagi para korban kekerasan seksual. LBH Jakarta juga menyoroti pasal-pasal yang masuk ke ruang privat.

“Contohnya tentang persetubuhan di luar perkawinan. Ini secara general sudah masuk ke ruang privat dan bertolak belakang dengan penanggulangan HIV/AIDS. Dan dalam kaitan ini, pihak yang sering menjadi korban adalah perempuan. Jadi jika ini diterapkan, perempuan tidak hanya akan menghadapi pemidanaan tetapi juga stigma,” imbuhnya. 

Pasal ini dinilai berpotensi mereviktimisasi korban kekerasaan seksual karena dia dijerat dengan pasal persetubuhan di luar perkawinan.  

Citra juga menyoroti pasal-pasal bermasalah RKHUP yang dinilainya tidak optimal mengakomodasi semangat perjuangan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual/UU TPKS. Salah satunya adalah aborsi aman bagi korban kekerasan seksual.

Pasal mengenai tindak pidana aborsi dan pengguguran kandungan dinilai belum ada harmonisasi dengan UU TPKS.

Dalam draf 2019, memidana perempuan yang melakukan pengguguran kandungan dengen pengecualian bagi korban perkosaan dan darurat medis. Pasal ini mengatur usia janin maksimal yang bisa digugurkan. 

Citra menjelaskan aliansi waktu itu memprotes, seharusnya pengecualian tak hanya untuk korban perkosaan, karena korban kekerasan seksual lainnya juga berisiko alami kehamilan yang tak diinginkan, seperti eksploitasi seksual dan perbudakan seksual. Dan ketika ia sebagai korban kekerasan seksual seharusnya tidak ada batasan waktu.

“Menanggapi hal ini, akhirnya ada pengecualian bagi korban eksploitasi seksual dan perbudakan seksual, tetapi batas waktu tidak dikabulkan,” terang Citra.

Ia menyayangkan hal ini, karena untuk berani speak up dan mencari bantuan hukum, korban butuh waktu yang tidak sebentar. Pasal itu juga belum menjamin hak aborsi aman. Karena di sana disebutkan setiap orang yang membantu aborsi aman bagi korban kekerasan seksual seperti dokter, bidan, apoteker, hingga konselor bisa dipidanakan.

Citra mengapresiasi RKHUP yang telah mendefinisikan kekerasan seksual pemerkosaan secara lebih komprehensif dan jelas. Definisi perkosaan yang dulu terbatas pada penetrasi alat kelamin yang mengeluarkan air mani, tak lagi dimaknai sesempit itu. 

Namun ia melihat hal ini belum cukup, UU TPKS, meski telah mengakomodasi banyak hal yang perlu dilakukan untuk menangani kasus kekerasan seksual juga belum secara komprehensif mendefinisikan perkosaan. Untuk itu, ia memandang perlunya harmonisasi UU TPKS dan RKUHP.

Hal ini, ujarnya, supaya semua korban kekerasan seksual baik yang diatur di RKUHP maupun yang diatur di UU TPKS bisa mengakses hal yang sama seperti yang tercantum dalam UU TPKS, seperti hak korban untuk mendapatkan perlindungan, penanganan, pemulihan dan sebagainya. Hal lain yang juga menjadi sorotan adalah tindak pidana pemaksaan aborsi yang juga belum masuk dalam UU TPKS.

Ada dua opsi yang ditawarkan, terkait hal ini. Pertama, semua jenis tindak kekerasan seksual didaftar dan dimasukkan dalam bab tersendiri mengenai kekerasan seksual.

“Atau bisa juga, definisi perkosaan dan pemaksaan aborsi diberikan penjelasan di ketentuan penutup. Bahwa dua hal ini termasuk tindak pidana kekerasan seksual,” ujarnya.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati dalam kesempatan media briefing pada Juni 2022 mengungkapkan pendapat serupa. Pasal mengenai kekerasan seksual ini perlu disinkronkan dengan UU TPKS. 

Ancaman bagi LGBT

RKUHP juga dinilai berpotensi memicu diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas LGBT. Dalam draf terakhir 4 Juli 2022 ada perluasan makna cabul yang menyebutkan hubungan sesama jenis.

Pasal 418 ayat 1:  Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:

a. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III; b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun; atau c. yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Pasal 418 ayat 2: Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Jika melihat rumusannya, sepintas pasal ini memang tidak ada perbedaan perlakuan antara homoseksual dan heteroseksual. Namun Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan, Ratna Batara Munti mengingatkan, agar masyarakat tak hanya melihat substansi hukum tetapi juga harus dipertimbangkan kultur hukum di Indonesia yang cenderung homophobic atau terlalu heteroseksual sentris.

“Jadi meskipun rumusan RKUHP terkesan netral, berlaku buat beda jenis dan sama jenis, tetapi untuk apa dieksplisitkan seperti itu? Justru jika dieksplisitkan seperti itu, saya khawatir kriminalisasi dan stigmatisasi oleh masyarakat semakin menjadi-jadi,” ujarnya kepada Konde beberapa waktu lalu. 

Ratna menyatakan, kata beda jenis dan sesama jenis tak perlu dicantumkan dalam pasal tersebut. Sementara menurut Citra, pasal ini berpotensi memunculkan beban stigma ganda pada kelompok queer.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!