Perempuan Lebih Suka Minum Lemon dan Laki-laki Suka Kopi? Padahal Minuman Tidak Berjenis Kelamin

Identifikasi soal minuman dan makanan yang disukai laki-laki dan perempuan ternyata justru memberikan stigma buruk. Apakah benar perempuan suka minuman asam, sedangkan laki-laki suka minuman pahit?. Padahal ini cuma konstruksi sosial, karena selera orang itu bisa dipertukarkan

Suatu hari kawan saya menaruh minuman pereda nyeri haid di ruang publik. Ternyata ini menjadikan orang jadi berasumsi bahwa minuman pereda haid itu berjenis kelamin perempuan.

Minuman ini lalu diidentifikasi sebagai minuman untuk perempuan, dan hanya cocok disimpan di dalam tas perempuan.

Berangkat dari pengalaman rekan saya ketika ia menaruh minuman pereda nyeri haid itu di jendela kereta api, dimana tempat tersebut adalah tempat bebas, siapa saja yang ingin menaruh minumannya, boleh. Namun ternyata ia kemudian mendapat teguran dari teman lain yang menganggap bahwa tidak etis menaruh minuman itu di ruang publik dengan alasan minuman pereda nyeri haid adalah minuman perempuan dan jorok yang seharusnya disimpan di dalam tas. Bahkan orang tersebut mengatakan “jika aku disuruh istriku beli minuman itu, saya tidak mau dan nggak banget”.

Jadi minuman pereda haid dianggap minuman jorok karena untuk haid. Dari sini lalu timbul pertanyaan, sejak kapan minuman itu berjenis kelamin? Bukankah minuman tersebut juga merupakan ramuan yang mempunyai khasiat tertentu? Mengapa harus dipermasalahkan sebegitu peliknya?

Bukankah kita seharusnya bisa membedakan dan memahami minuman secara fungsional, bahwa minuman nyeri haid memang jamu yang diperuntukkan untuk mayoritas perempuan supaya nyeri haid berkurang. Begitupun boleh dikonsumsi oleh siapapun orang dengan beberapa khasiat yang berbeda, misalnya bisa menyegarkan tubuh, menghilangkan bau badan yang tidak sedap, sakit pada persendian dan menghangatkan tubuh.

Hal tersebut tidak jauh beda dengan minuman-minuman kuat yang biasanya dikonsumsi oleh mayoritas laki-laki. Minuman yang dipercaya bisa menguatkan badan, menambah stamina untuk bekerja dan menambah energi. Hal ini jika dikaitkan dengan minuman berstigma gender tertentu yang pada dasarnya memang tidak ada.

Dalam salah satu karyanya, Carol J. Adams yang berjudul The Sexual Politics of Meat (1990) menulis pemikirannya tentang Teori Kritis Feminis-Vegetarian yang menggambarkan persimpangan antara feminisme, pasifisme dan vegetarianisme untuk mengkaji penggunaan bahasa dan narasi untuk membentuk masyarakat.

Ia mengatakan, anggapan tersebut bermula dari dongeng-dongeng yang berkembang di dunia. Ia mengamati banyak dongeng yang menampilkan raja yang sedang melahap daging, sementara ratu mengonsumsi madu dan roti. Meski demikian, perempuan terkadang juga dicitrakan memakan daging. Namun, citra ini dilekatkan kepada seorang penyihir yang merupakan tokoh antagonis atau tokoh jahat. Artinya bahwa dari makanan, minuman, sudah ada stigma yang dilekatkan pada perempuan, tidak hanya daging dan tumbuhan, beberapa makanan dianggap memiliki ‘kelamin’. Makanan yang tidak sehat dianggap mewakili maskulinitas, sedangkan makanan sehat dianggap mewakili feminitas. Representasi ini ditulis oleh peneliti Luke Zhu dari University of Manitoba.

Contoh pada peristiwa yang saya alami ketika datang ke kafe, saya datang untuk memesan kopi dan partner laki-laki saya memesan lemon tea. Ketika diantar di meja kami, tanpa ditanya oleh pelayan, saya disodori pesanan lemon tea yang mana itu adalah pesanan partner saya.

Dari kejadian tersebut terlihat bahwa masih banyak orang yang menstigmakan minuman, bahwa minuman kafein itu pasti untuk laki-laki, sedangkan perempuan suka minuman asam. Hanya karena terlihat bahwa lemon tea memiliki kadar kafein lebih ringan daripada kopi yang mana diidentikkan dengan perempuan. Sementara itu, kopi diidentikkan dengan laki-laki karena dianggap mewakili ‘sifat’ maskulin di dalamnya. Kadar kafein inilah yang menjadi alasan mengapa kopi disebut sebagai ‘minuman yang lebih berat’ daripada lemon tea.

Kembali pada peristiwa yang dialami rekan saya, dimana setelah beradu argumen temannya tersebut mau mengambil foto dan membuat story whatsapp untuk bahan olok-olokan. Rasanya perilaku tersebut tidak menghormati sesama manusia utamanya perempuan.

Dengan peristiwa tersebut seolah-olah ia merepresentasikan perempuan sebagai ‘darah’ yang mana diartikan kotor. Karena terdapat stigma di masyarakat juga bahwa siklus haid itu kotor, menjijikan, dan tidak diinginkan. Anggapan tersebut merupakan bentuk period shaming, yang mana hal itu adalah konstruksi sosial.

Dari sini kita bisa melihat baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak dapat memenuhi peran sesuai stigma/stereotip, akan mengalami diskriminasi. Mereka dicibir karena dianggap ‘abnormal’ jika menyukainya. Padahal setiap orang memiliki kemerdekaan untuk memilih minuman untuk ia konsumsi.

Ravika Alvin Puspitasari

Kesibukan sehari-hari kuliah daring dan mengikuti berbagai diskusi online. Selain itu aktif menulis di Lembaga Institute For Javanese Islam Research. Tertarik dengan isu-isu gender yang sedang berkembang saat ini
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!