Artikel ini kami terbitkan untuk menyambut United Nations (UN) World Youth Skills Day yang jatuh pada tanggal 15 Juli.
Pada seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengumumkan bahwa ada sekitar 100 orang yang mengundurkan diri. Mayoritas kandidat tersebut berasal dari Generasi Z (lahir sekitar tahun 1996-2012).
Anomali ini menjadi menarik mengingat PNS merupakan ‘pekerjaan impian’ bagi generasi sebelumnya. Tapi, banyak calon pekerja Generasi Z tersebut nampaknya dengan mudah melepaskan peluang mendapatkan ‘pekerjaan impian’ ini. Mengapa?
Bisa jadi, ini berhubungan erat dengan konsep perceived employability – yakni seberapa ‘percaya diri’ seorang pekerja bisa mempertahankan pekerjaan atau meraih pekerjaan yang lebih baik, berdasarkan kualifikasi dan keterampilan (skill) yang mereka miliki.
Dalam kasus di atas, ini dapat berarti bahwa Generasi Z merasa nyaman dengan kehilangan kans mendapat ‘pekerjaan impian’ sebagai PNS – yang dalam beberapa tahun terakhir pun banyak dikritik atas ketimpangan gaji dan lingkungan kerja yang statis – karena cukup pede meraih karier yang saat ini dianggap lebih prestisius.
Tren ini pun kami amati secara umum pada Generasi Z dalam riset yang kami lakukan (belum dipublikasikan).
Pada 2021, Tim Penelitian Pusat Karier di Universitas Andalas dan Tanoto Foundation melakukan survei daring pada mahasiswa Generasi Z. Kami mendapatkan 1175 responden mahasiswa semester 5-9 dari 23 provinsi di Indonesia.
Para responden Generasi Z dalam survei kami menyatakan kepercayaan diri yang tinggi untuk memasuki dunia kerja, dengan keterampilan profesional yang mereka rasa selaras dengan kebutuhan oleh industri.
Generasi yang percaya diri
Riset kami menemukan bahwa 67% responden Generasi Z menganggap keterampilan mereka tergolong tinggi. Hanya 1,5% yang menilai bahwa skill mereka masih rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas Generasi Z di Indonesia menilai bahwa dengan kemampuan yang mereka memiliki, mereka kemungkinan besar bisa meraih pekerjaan yang mereka inginkan – bahkan di tengah makin ketatnya persaingan kerja dan disrupsi teknologi. https://flo.uri.sh/visualisation/10621220/embed
Hasil ini mungkin juga dapat menjawab mengapa mereka cukup percaya diri untuk meninggalkan pekerjaan yang mereka nilai kurang sesuai dengan diri mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih pantas.
Generasi Z, misalnya, merupakan kelompok yang cukup rajin bergonta-ganti pekerjaan (job-hopping).
Berdasarkan kajian dari platform pekerjaan CareerBuilder, rerata masa bekerja Generasi Z pada suatu perusahaan adalah 2 tahun 3 bulan, lebih kilat dari generasi terdahulu seperti milenial (2 tahun 9 bulan), Generasi X (5 tahun 2 bulan), dan Baby Boomers (8 tahun 3 bulan).
Dalam riset kami, kepercayaan diri yang tinggi antara Generasi Z terwujud dalam beberapa keyakinan.
Mayoritas responden, misalnya, merasa yakin akan menembus pasar kerja karena punya pengalaman yang cukup relevan dengan bidang pekerjaan (87%) dan memiliki skill yang sesuai dengan kebutuhan industri (80%). Sebagian besar (82%) juga merasa yakin bahwa mereka akan berhasil saat wawancara kerja. https://flo.uri.sh/visualisation/10621396/embed
Merasa punya keterampilan profesional tinggi dan didukung kampus
Berdasarkan cerita para responden kami, tingkat kepercayaan diri atau perceived employability mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama, ada kecenderungan bahwa responden mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi, kegiatan, dan program kemahasiswaan memiliki perceived employability yang tinggi. Dalam data kami, sebanyak 68% mahasiswa Generasi Z menyatakan aktif dalam kegiatan kampus.
Mereka merasa kegiatan-kegiatan ini dapat memberikan pengalaman dan peningkatan soft skill (keterampilan non-teknis).
Salah satu kegiatan yang banyak diikuti mahasiswa adalah kepanitian pada acara kampus. Sebagai panitia, mahasiswa dituntut mengembangkan dan mengasah keterampilan manajerial, komunikasi, negosiasi, hingga membangun jaringan profesional.
Apalagi, saat ini juga makin banyak kegiatan dan klub kampus yang menawarkan pengalaman yang dekat dengan dunia profesional – dari kompetisi desain produk bagi mahasiswa teknik, hingga klub peradilan semu (moot court) bagi mahasiswa hukum.
Tak hanya di dalam kampus, pengalaman bekerja di luar kampus juga meningkatkan kepercayaan diri para responden.
Banyak dari mereka, misalnya, memiliki kegiatan profesional seperti freelance (bekerja lepas) dan program magang – hal-hal yang tentu menjadi poin plus dalam resume seorang pelamar kerja. Riset kami juga mendapati 11% responden sudah membuka usahanya sendiri.
Kedua, kemahiran dalam penguasaan bahasa Inggris juga meningkatkan level kepercayaan diri responden kami untuk memasuki dunia kerja.
Dalam beberapa dekade belakangan, dari Indonesia hingga Cina, anak dan siswa semakin gencar mendapatkan pengajaran dan terpapar bahasa Inggris di kelas maupun di media sosial. Hal ini melahirkan generasi yang sangat lihai menggunakan atau bahkan mencampur bahasa Inggris dibanding generasi-generasi sebelumnya.
Ini juga berkaitan dengan kenyataan bahwa bahasa Inggris telah menjadi lingua franca (bahasa umum) – baik bagi masyarakat dunia maupun dunia kerja global.
Semakin mahir bahasa Inggris, semakin besar peluang para lulusan menembus perusahaan papan atas atau korporasi dan lembaga multinasional. Beberapa kajian pun telah menyebutkan bahwa kompetensi multilingual bisa menjadi poin plus pekerja di pasar global.
Ketiga, keberadaan semacam pusat bantuan karier atau career development center (CDC) di perguruan tinggi juga membuat para responden Generasi Z memiliki perceived employability yang tinggi.
Berbagai program dilaksanakan oleh pusat karier – mulai dari pelatihan kesiapan kerja dan berwirausaha, pengadaan pameran kerja, hingga kerjasama rekrutmen dengan perusahaan. Bahkan, beberapa pusat karier sudah menyediakan layanan konseling karier bagi mahasiswa dan alumni yang mengalami kebingungan atau hambatan.
Beberapa perguruan tinggi sebenarnya sudah memiliki pusat karier sejak lama. Namun, berbeda dengan kegiatan terdahulu yang lebih banyak menyasar calon wisudawan dan alumni sehingga kurang dikenal oleh mahasiswa, banyak pusat karier saat ini mengadakan program dan layanan yang membidik mahasiswa sejak awal masuk kuliah.
Adanya berbagai pusat karier ini membuat mahasiswa memiliki akses informasi yang lebih baik terkait lapangan kerja, link (relasi) kampus yang bisa mempercepat pencarian kerja mereka, serta hal apa saja yang harus mereka persiapkan untuk memasuki dunia kerja nantinya.
Berbagai faktor di atas membantu membekali para responden kami dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Akhirnya, mereka menjadi lebih percaya diri atas employability mereka.
Penting bagai dunia pendidikan tinggi dan aktor terkait untuk terus memfasilitasi mereka dengan peningkatan keterampilan, termasuk yang belum pede akan skill mereka – dari memastikan keberadaan pusat karier hingga memperluas program dan kegiatan profesional di dalam maupun luar kampus.
Artikel ini terbit melalui dukungan dari Tanoto Foundation. Meifal Rusli, Rahmi Fahmy, dan Lala Septiyani dari Universitas Andalas juga berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Amatul Firdausa Nasa, Lecturer in Psychology Department, Faculty of Medicine, Universitas Andalas dan Meria Susanti, Dosen, Universitas Andalas
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.