Trend Kecantikan Bergeser dari Barat ke Korea? Girls, Bebaskan Kamu Dari Standar Kecantikan!

Benarkah trend kecantikan Korea berhasil mendobrak konstruksi sosial bahwa kosmetik tak hanya digunakan oleh perempuan, tapi juga laki-laki?. Dengan kondisi ini, benarkah kita bisa mengatakan bahwa ini merupakan gelombang positif di Korea, atau ini justru merupakan bentuk kapitalisme baru?

Apakah benar standar kecantikan sudah bergeser dari barat ke Korea?

Publik saat ini sering dipertontonkan aneka produk kecantikan Indonesia yang berlomba-lomba menggaet selebritas Korea untuk menjadi duta merek atau brand ambassador. Apakah ini menunjukkan bahwa standar kecantikan sudah bergeser ke Korea?

Widia Primastika, Editor Konde.co, mencoba menelusuri sejumlah salon dan toko yang menjual sejumlah produk Korea. Hasil penelusurannya menyebutkan bahwa kemunculan artis dari Korea pada produk Indonesia ini tak lepas dari adanya pengaruh gelombang Korea atau hallyu. Apalagi Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dari pengaruh Korean wave tersebut. 

“Pergeseran standar kecantikan ala Korea Selatan tersebut tak hanya terlihat dari penggunaan duta merek asal Korea. Iklan-iklan klinik kecantikan, spa, hingga salon yang menjual treatment dan gaya ala Korea pun mulai bermunculan di Indonesia,” ujar Tika dalam diskusi Tren Kecantikan Bergeser dari Barat ke Korea yang diselenggarakan Konde, Jumat (29/7).

Bahkan di beberapa tempat, mereka juga mengimpor tenaga kerja dari Korea untuk memberikan jasa dengan harga yang lebih mahal.

Pergeseran standar kecantikan menjadi ala Korea Selatan ini memiliki dua sisi, positif dan negatif. Dari sisi positif, gelombang Korea berhasil mendobrak konstruksi sosial bahwa kosmetik hanya bisa digunakan oleh perempuan. Ini terlihat dari penggunaan duta merek yang juga menjangkau laki-laki. Selain itu, gelombang Korea ini juga disebut-sebut telah menggeser dominasi negara barat yang bertahun-tahun menguasai industri kecantikan. 

Identifikasi standar kecantikan itu selalu ada di setiap zaman. Dulu perempuan cantik itu identik dengan perempuan yang berdada besar dan berpinggul besar seperti lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci. Lalu identifikasi cantik berubah ketika munculnya revolusi industri.

Di Amerika, kecantikan diidentifikasi seperti boneka Barbie: tinggi, kurus, rambut panjang. Trend ini membanjiri ke seluruh dunia sehingga banyak orang mengidentifikasi jika perempuan tak seperti Barbie, maka ia tak dianggap cantik. Banyak perusahaan di dunia yang kemudian memproduksi alat kecantikan ala Barbie.

Ada sejumlah individu maupun grup Korea yang menjadi duta merek dari produk kecantikan asal Indonesia, mulai dari pemain drama hingga bintang K-Pop, sebut saja Kim Soo Hyun, Han So Hee, girl group Twice, Cha Eun Woo, Song Joong Ki, Lee Min Ho, dan lainnya. 

Kemunculan artis dari Korea pada produk Indonesia ini tak lepas dari adanya pengaruh gelombang Korea atau hallyu. Apalagi Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dari pengaruh Korean wave tersebut. 

Namun, tak sedikit publik yang mengkritik penggunaan duta merek Korea untuk produk kecantikan asal Indonesia karena akan memunculkan standar kecantikan baru: kulit putih, kinclong, glow up, berbadan langsing.

Kini, walaupun trend bergeser ke Korea, tapi penggunaan duta merek idola Korea Selatan pada produk Indonesia masih menunjukkan adanya narasi “keputihan” dalam standarisasi kecantikan yang perlahan mulai dipatahkan. 

Widia Primastika juga mengatakan bahwa di salon Korea misalnya, ada kapster salon orang Korea yang harganya lebih mahal dari kapster salon Indonesia.

“Beauty privilege akan terus memunculkan ketimpangan. Rasa rendah diri ketika tidak sesuai dengan standar kecantikan dan berpotensi memunculkan perilaku tidak sehat. Belum lagi, tekanan publik utk terus menuruti standar kecantikan berpotensi mengganggu kesehatan mental dan dapat berakibat pada keinginan bunuh diri (termasuk Korea),” terangnya. 

Rasa rendah diri ini ternyata tak hanya terjadi para perempuan Korea, tapi sekarang juga terjadi pada laki-laki Korea. Laki-laki Korea selalu terintimidasi untuk tampil glowing, jika tidak glowing, maka mereka merasa terintimidasi. Ini bisa berarti bahwa Korea bisa mendobrak jika standar kecantikan bukan hanya milik perempuan, namun ini pula yang membuat laki-laki Korea kemudian terintimidasi karena standar ini

Dengan kondisi ini, benarkah kita bisa mengatakan bahwa ini merupakan gelombang positif di Korea, atau ini justru merupakan bentuk kapitalisme baru?

Sosial Media Bikin Standar Cantik Makin Toksik

Kondisi ini juga merambah ke media sosial. Jika kamu pengguna aktif sosial media instagram, tentu tahu dengan soal tren kecantikan atau yang biasa disebut sebagai standar Glow up Challenge. Banyak perempuan yang kemudian mengubah penampilannya agar lebih glow up, lebih cantik, lebih menarik di sosial media. 

Glow up challenge yang ramai di media sosial ini juga membuat para perempuan kemudian mengunggah foto atau video transformasi perubahan fisik yang dialami dari waktu ke waktu, misalnya yang dulu gemuk diubah jadi kurus, yang dulu hitam lalu diubah menjadi putih. Standarisasi kecantikan lewat glow up challenge di sosial media menjadi fenomena yang mencemaskan.

Para perempuan secara tidak langsung dipaksa untuk mengaminkan bahwa standardisasi kecantikan tertentu adalah segalanya agar dihargai oleh masyarakat. Tak jarang standardisasi kecantikan ini memunculkan rasisme terhadap mereka yang tidak memenuhi standar tersebut, contohnya perempuan yang berkulit gelap.

“Setiap orang lahir dalam keberagaman. Stop standarisasi kecantikan,” ujar Widia Primastika 

Dosen dan peneliti UGM, Wisnu Prasetya menjelaskan, literatur tentang media dan kecantikan sebagian besar memang menunjukkan tingkat eksposur terhadap kecantikan yang ideal di media. Jadi, tak hanya sosial media, media massa juga berperan dalam normalisasi standar kecantikan yang terjadi. Kondisi ini selalu terjadi di setiap masa.

Imbasnya, hal itu mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Diantaranya, ketidakpuasan atas diri sendiri (body dissatisfaction), persepsi negatif atas diri sendiri, depresi, hingga perubahan pola makan, 

“Orang insekyur melihat media dan iklan. Ada setting sosial ekonomi. Konteks yg gak kita sadari tapi terinternalisasi,” kata Wisnu. 

Kaitannya ini, media jelas turut memunculkan standar tertentu. Standar untuk mendefinisikan atau memberikan patokan tertentu untuk disebut cantik atau kurang cantik. Media melegitimasi siapa atau apa profesi yang harus diberikan embel-embel cantik. Bagaimana proses pelabelan cantik. 

“Lalu, komparasi sosial (perbandingan yang terjadi di sekitar individu) semakin langgeng. Ini bisa melahirkan diskriminasi. Dianggap tidak normal dalam kerangka normalitas di dalam masyarakat. Ada proses marginalisasi. Ini jadi berbahaya,” imbuhnya.  

Para perempuan secara tidak langsung dipaksa untuk mengaminkan bahwa standardisasi kecantikan tertentu adalah segalanya agar dihargai oleh masyarakat. Tak jarang standardisasi kecantikan ini memunculkan rasisme terhadap mereka yang tidak memenuhi standar tersebut, contohnya perempuan yang berkulit gelap.

Bentuk lain dari standarisasi kecantikan yang sangat dekat dengan konteks Indonesia contohnya yakni pendaftaran HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) Citayam Fashion Week yang dilakukan oleh Baim Wong dengan partnernya Paula Verhoeven yang merupakan seorang model. Fenomena fashion show jalanan di sekitar stasiun BNI City, Sudirman, Jakarta yang menjadi ruang bermain bagi warga pinggiran Jakarta didaftarkan oleh dua pesohor itu dengan dalih “agar publik melakukan kegiatan fashion yang benar.”

Fenomena ini menunjukkan bahwa industri atau pihak yang memiliki modal besar akan selalu berusaha untuk membentuk standar kecantikan berdasarkan kriteria yang dibentuk oleh mereka. Akibatnya, mereka yang memiliki bentuk tubuh tak sesuai dengan selera mereka akan mengalami perundungan dan mereka yang sesuai standar akan lebih dihargai. 

Jika kondisi ini dibiarkan, maka perempuan yang selama ini banyak mengalami diskriminasi dan subordinasi, dan lingkungan yang misoginis harus terus berusaha keras agar diakui di tengah masyarakat, karena masyarakat hanya menghargai yang cantik.

Konsepsi kecantikan ini dari dulu selalu diadopsi oleh industri kecantikan dan disebarluaskan oleh media massa.

Pink Tax Jauh Lebih Mahal untuk Produk Perempuan

Annisa Inayah, peneliti pink tax mengatakan bahwa standar kecantikan untuk perempuan ini ternyata juga direpresentasikan pada “barang-barang atau produk perempuan” yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan laki-laki. Hal ini terlihat dari “barang-barang perempuan” yang berwarna pink harganya lebih mahal dibandingkan harga barang dengan warna lainnya.

Annisa Inayah mengatakan, pink tax ini bukan seperti girl band blackpink yang terkenal itu, tetapi kehadirannya sering kali diabaikan banyak orang alias banyak yang nggak sadar bahkan nggak tau bahwa suatu barang yang berwarna merah muda, atau secara sosial dikonotasikan sebagai barang-barang untuk perempuan memiliki “harga” yang lebih tinggi dibanding barang laki-laki.

“Ternyata pink tax atau pajak merah muda ini menjadi problematika yang cukup lama dialami oleh perempuan, bahkan sejak 2015 sudah banyak orang-orang yang tergabung dalam gerakan untuk menghapus pink tax ini.”

Annisa melakukan sejumlah penelitian pasar lewat barang-barang warga pink untuk perempuan yang harganya jauh lebih mahal seperti kaos singlet, baju perempuan berwarna pink yang harga lebih mahal dibandingkan baju laki-laki yang banyak berwarna biru. Hal ini menunjukkan tentang pasar yang bergerak dan mengidentifikasi perempuan dan laki-laki sesuai standar industri.

Ini juga semakin menandaskan bahwa perempuan masih diidentifikasi dengan warna pink dan laki-laki suka warna lebih gelap sesuai dengan konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat

Lalu, bagaimana semestinya perempuan mengambil posisi di situasi ini? 

Widi Lestari Putri, Lulusan S2 Kajian Gender UI mengatakan tren kecantikan memang tak bisa dihindari terjadi. Namun, bukan berarti kita terpaksa mengikuti berbagai praktik pendisiplinan tubuh melalui standar kecantikan itu. 

Munculnya banyak tren Barat, Korea, atau lainnya semestinya bisa disikapi tetap sesuai identitas unik diri. Kita juga tidak berhak untuk memaksakan standar itu kepada orang lain. 

“Bebaskan dirimu, bukan karena paksaan,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!