Diprotes Ramai-Ramai Pemaksaan Jilbab di Zavilda TV: Rampas Hak Digital Perempuan 

Konten Zavilda TV diprotes banyak kalangan karena melecehkan dan merampas hak digital perempuan.

Seorang perempuan yang menjadi korban Zavilda TV belum lama ini mengirimkan pesan melalui direct message (DM) pada sosial media instagram @Perempuanberkisah. 

Ia menceritakan, gara-gara konten video Zavilda TV, dirinya mengalami overthinking dan takut berkonflik dengan orang tuanya hingga menjadikan dia dilarang kemana-mana. 

“Orang tuaku pasti akan merasa malu, tapi Zavilda TV tidak mau takedown kontennya padahal aku sudah memohon,” dikutip dari IG Perempuan Berkisah yang telah dikonfirmasi oleh Konde.co, Selasa (6/9). 

Beberapa slide dalam postingan Perempuan Berkisah itu, sudah dihapus demi menghargai permintaan sender (korban). Sebab beberapa hari usai konten itu sempat naik, sender didesak oleh tim Zavilda TV untuk menghapus kisahnya yang berupaya bicara (speak up)

“Korban melalui DM kami sebenarnya sudah menyertakan bukti chat permohonan kepada ZavildaTV agar di-takedown kontennya, namun Zavilda TV tetap menolak karena konten sudah mendapatkan banyak viewer,” terang Perempuan Berkisah. 

Konten Zavilda TV beberapakali menuai kontroversi karena memaksa para perempuan mengenakan jilbab. Seorang perempuan menyatakan sebagai korban Youtube Zavilda TV yang membongkar kejadian dalam konten tersebut. Ia dipaksa melepas hijabnya lalu berpura-pura merokok oleh pemilik kanal tersebut demi konten. Suara.com menulis, Zavilda TV viral karena kontennya yang memaksa perempuan berpakaian terbuka yang ditemui di jalan untuk mengenakan hijab.

“Saya disuruh buka hijab, terus pura-pura ngerokok. Tapi, saya ngerokok gak mau soalnya gak bisa asap. Cuma lepas hijab aja,” katanya ditilik dari Twitter @littlevixen_ pada Jumat (2/9/2022). 

Untuk beberapa korban, pihak Perempuan Berkisah juga telah mengupayakan agar tim pendamping mereka di daerah bisa menjadi support system bagi penyintas jika membutuhkan pendampingan secara langsung.

Penulis, Kolumnis, dan Fasilitator Gender, Kalis Mardiasih mengatakan Zavilda TV telah melakukan pelanggaran konten yang masuk ke dalam kekerasan berbasis gender online (KBGO). Paling tampak, Zavilda TV dianggap tidak paham soal makna consent (persetujuan).

“Jenis KBGO mereka tidak memahami makna consent/persetujuan yang mereka sebut sebagai ‘target’, yang mereka itu korban,” ujar Kalis dalam diskusi publik Kontroversi Zavilda TV: Pemaksaan Jilbab, Kekerasan Simbolik hingga Psikologis yang diselenggarakan Perempuan Berkisah, Minggu (4/9).

Kalis menjelaskan setidaknya ada beberapa poin yang perlu diketahui menyoal consent. Pertama, freely given yang merujuk pada persetujuan yang diberikan secara bebas dengan memberikan pilihan. 

Berdasarkan kesaksian para korban, dirinya menilai, Zavilda TV justru tidak memberikan pilihan-pilihan secara bebas itu. Misalnya saja, korban tiba-tiba Zavilda TV datangi di kafe hingga jalan, dengan punya niatan untuk membikin konten. 

Jika perempuan yang jadi “target” konten itu tidak mau, maka dia akan diomongin seperti ‘masak kamu gitu aja gak mau’ ‘sombong’ dan lainnya. Sehingga, ini pertanda jika korban tidak diberikan pilihan persetujuan secara bebas.  

Parahnya lagi, korban ada yang dipaksa untuk memakai pakaian yang tidak diharapkan. Baju-baju yang para perempuan itu pakai, tidak sesuai dengan keinginannya.  

“Korban bahkan di DM (dipaksa –red) memakai baju yang lebih seksi lagi agar viral. Konsen tidak valid,” katanya. 

Selain itu, perempuan penulis buku ‘Sister Fillah, You’ll Never be Alone’ ini juga menyebut persetujuan haruslah reversible atau harus bisa berubah sewaktu-waktu. Sehingga, meskipun perempuan yang ada di video Zavilda TV di awal bersedia melakukan shooting, namun dia bisa mengubah kesepakatannya. Seperti dia ternyata tidak nyaman ketika videonya sudah di-upload satu atau dua hari kemudian. 

Persetujuan menurutnya juga harus bersifat informed. Kalis mengumpamakan persetujuan itu seperti saat pergi ke dokter dan melakukan tanda tangan (ttd) untuk pemeriksaan. Segala sesuatu yang dilakukan terkait tubuh tersebut harus ada informasinya. Sehingga persetujuan hanya bisa diberikan pada kontrak rinci dan terbuka seperti halnya pada Zavilda TV yang mestinya juga harus terbuka. 

“Bagaimana thumbnail akan dibuat, judul, angle ceritanya seperti apa. Padahal judul dan thumbnail melecehkan, apalagi dikomersialisasi. Konten itu ada adsense iklan dan sebagainya. Apakah korban mengetahui itu. Bagaimana hari ini, ketika ada tuntutan publik. Orang-orang atau talent, jadi saksi atau tersangka, apa yang akan dilakukan Zavilda TV?” kata Kalis. 

Jika beberapa unsur persetujuan tadi itu tidak ada, menurut Kalis, konten Zavilda TV itu bisa termasuk KBGO. Terlebih, Zavilda TV secara gamblang juga menyebutkan lokasi hingga informasi personal yang semestinya dilindungi. Seperti, identitas agama, memakai tato, dan lainnya. 

“Itu semua adalah doxing. Security personal information… Itu adalah data penting dan asasi dari tubuh kita. Dan tubuh kita hari ini bukan tubuh fisik saja, tapi tubuh digital. Ketika Zavilda TV sudah men-doxing dari personal information dan (melanggar otoritas–red) tubuh digital, dia sudah melakukan kekerasan yang sangat serius,” terangnya. 

Di sisi lain, Kalis berpendapat, pemaksaan pemakaian baju seksi terhadap para perempuan yang menjadi talent hingga memberi framing yang melecehkan tersebut sudah bisa masuk dalam unsur tindak pidana yaitu pelecehan seksual non-fisik. 

Hal itu sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 UU TPKS yang menyebut “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara non fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan atau kesusilaannya dipidanakan penjara paling lama 9 bulan dan atau denda paling banyak 10 juta rupiah. Selain itu, melanggar pula Pasal 14 UU TPKS tentang kekerasan berbasis media elektronik. 

Aktivis perempuan itu juga melihat bahwa Zavilda TV itu telah melakukan kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik merupakan praktik dominasi melalui komunikasi (Thomson, 1984, Foucault, 1971). Contohnya, kekerasan simbolik menyembunyikan kekerasannya dalam simbol-simbol bahasa.

Menurut Bourdieu (1994), kekerasan simbolik adalah kekerasan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Artinya, kekuasaan (baik ekonomi, politik, budaya atau lainnya), yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya atau kesewenang-wenangannya. Kekerasan simbolik bekerja dg mekanisme penyembunyian kekerasan yg dimiliki dan menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang seharusnya demikian”. 

“Zavilda TV misalnya, pakaian ini dicoba dulu, adem kok kak, astaghfirullah sudah terbiasa seksi. Ya Allah, jilbab itu nyaman kenapa gak mau? Bahasanya saja yang kelihatan halus,tapi sebetulnya dia sudah menggunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain, merepresi orang lain, jadi orang lain terlihat hina dan rendah pada kita,” katanya. 

Dear Content Creator, Jangan Cuma Kejar Adsense!  

Pendiri Cadar Garis Lucu, Ainun Jamilah, menyayangkan atas apa yang dilakukan Zavilda TV. Dirinya tidak sepakat dengan cara Zavilda TV yang memaksa orang memakai jilbab bahkan cadar. Cadar Garis Lucu selama ini juga tidak pernah mengkampanyekan orang untuk ikut berjilbab atau bercadar seperti yang mereka lakukan. Sebab, urusan keberagaman termasuk agama adalah isu personal. 

“Dia (Zavilda TV– red) dengan sadar dan sengaja, dengan adsensenya, “menjual” teman-teman muslim dengan membawa isu-isu agama, dan “memukul” teman-teman yang tidak seperti yang dia lakukan.. Zavilda TV dengan sadar dan sengaja memang mau “menjual” mengkomersialisasikan,” ucap Ainun.

Ainun juga mengkritisi bahwa Zavilda TV yang menyebut kontennya sebagai social experiment juga gagal. Sebab ada settingan bahkan pemaksaan seperti yang ramai diberitakan bahwa korban diminta melepas jilbab atau berpakaian seksi. Bukan hanya itu, Zavilda TV juga malah melakukan playing victim karena reaksi dari warganet. 

“Ini demi cuan, adsense, edukasinya apa? Semua harus berjilbab? Ini Indonesia, beragam. Pun kalau perempuan mau berjilbab itu ada caranya.. Tidak ada paksaan dalam beragama dalam mengekspresikan keyakinan. Selama berbuat kebaikan,” katanya. 

Melihat secara lebih luas, Buya Husein Muhammad, Ulama dan Penulis Buku “Jilbab” dan “Islam Agama Ramah Perempuan” mengatakan tindakan yang dilakukan oleh Zavilda TV itu sebagai contoh bahwa fanatisme ekstrim pada kebenaran sendiri dan kesalahan orang lain, bisa berdampak besar yaitu menciptakan konflik sosial yang sia-sia dan menghancurkan.

“Tanpa pengetahuan mendalam. Yang ada adalah kemarahan. Kebijaksanaan gak akan diperoleh. Orang dengan pengetahuan keagaman terbatas. Gemar membatasi, menyalahkan atau menakut-nakuti org lain daripada memberi ruang dan menghargai pandangan orang lain yang berbeda, imbuh Buya Husein. 

Menurutnya, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa pemaksaan itu tidak akan menghasilkan keyakinan bahkan menghasilkan kemunafikan. Maka, sesuatu yang tidak diridhoi, tidak disenangi menjadikan apa yang dilakukan adalah palsu, munafik. 

“Bagaimana cara kita mengajak ke Tuhan menurut Al Quran dan Hadist menyebut bil hikmah, dengan kebijaksanaan. Para ulama memberi kebijaksanaan, pengetahuan yang mendasar yang luas. Dengan ilmu pengetahuan. Tutur kata yang baik,” katanya. 

Ramai Petisi Takedown Sosmed Zavilda TV

Petisi yang menyerukan takedown youtube channel dan tiktok Zavilda TV, belakangan ramai diperbincangkan. Hanya dalam empat hari, petisi itu telah ditandatangani oleh lebih dari 6.500-an orang. 

Nadia Hapsari yang memulai petisi ini menyatakan bahwa petisi itu dibuat karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Zavilda TV diantaranya melanggar kesepakatan dengan talent yang keberatan dengan thumbnail yang mengumbar aurat dan judul video yang tidak dianggapnya senonoh untuk dipublikasi.

Di sisi lain, Zavilda TV juga dinilai telah melakukan penistaan agama dengan memakai atribut agama utk membuat konten berbau seksual. Dia telah meminta talent berhijab utk melepas hijab dan merokok demi konten miliknya.

“Mempermalukan talent yg berada dalam video kontennya dengan MENGOBJEKTIFIKASI. Salah mengartikan arti toleransi dengan menawarkan dan memakaikan hijab pada orang non muslim,” tulis petisi itu. 

Dihubungi Konde.co, salah seorang yang menandatangani petisi itu, Farida mengatakan dirinya resah dan ingin content creator seperti Zavilda TV mendapatkan efek jera. Agar tak sembarangan ketika membuat konten. 

Di samping itu, dia juga mengajak warganet agar bisa lebih hati-hati dan bisa berpikir kritis terhadap konten-konten yang beredar di sosial media. Termasuk dari para content creator di youtube, yang tidak toleran terhadap keberagaman.  

“Yuk, memperkaya perspektif, critical thinking,” pungkasnya. 

(Foto: Youtube)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!