Realita ibu mengasuh anak

Mengurus Anak Itu Berat, Realitanya Tak Perlu Disembunyikan

Mengurus anak bukan hanya urusan ibu, ayah juga harus bertanggungjawab. Realita mengurus anak ini tak perlu disembunyikan.

Beberapa waktu lalu, saya melihat posting-an seorang ibu di Instagram. Isinya, beliau sedang menunjukkan sisi lain dari kegiatan mengurus anak

Kebanyakan yang terlihat di media sosial adalah momen membersamai anak yang diisi dengan tingkah laku mereka yang menggemaskan. Ini seakan menunjukkan betapa kehidupan seorang ibu yang mengurus anak adalah sesuatu yang membahagiakan. Padahal tidak seluruhnya benar.

Pikiran inilah yang kemudian menggugah rasa penasaran saya untuk berlanjut melihat, bagaimana respon dari penonton? Saya kemudian berselancar di kolom komentarnya.

Baca Juga: Yuk, Perjuangkan Media Sosial untuk Ruang Aman Anak dan Perempuan

Pertama membaca komentar teratas segera membuat saya sedikit mengerutkan dahi. Kurang lebih mereka mengomentari bahwa posting-an seperti ini yang justru membuat perempuan ragu, bahkan enggan, untuk menikah; apa lagi memiliki anak. Seakan posting-an ibu tersebut memberi gambaran ‘menakutkan’ bagaimana repotnya mengurus anak.

Baca Juga: Kenapa 1 Dari 5 Orang Amerika Tidak Mau Punya Anak? Baca Alasannya

Selepas membaca komentar tersebut, saya mencoba mengerti ketakutan tersebut. Akan tetapi, mari sejenak kita menyelam lebih dalam. Bagi saya, posting-an ibu tersebut seakan menyingkap tabir dari sisi lain mengurus anak yang tidak banyak ditunjukan orang lain, terlebih di media sosial. Ibu menampilkan foto anaknya karena realitasnya ibu yang selama ini dituntut untuk mengurus anak.

Ibu tersebut seakan menampilkan realitas secara apa adanya: bahwa mengurus anak bukan suatu pekerjaan yang mudah, bahkan dengan gampang kita sepelekan. Ada tenaga, waktu, dan pikiran yang mesti kita curahkan, tidak hanya dalam hitungan beberapa minggu atau bulan, tapi bahkan selama bertahun-tahun.

Lebih jauh, saya merasa bahwa dari unggahan tersebut justru kita diingatkan bahwa memiliki anak adalah keputusan besar, serta merupakan keputusan ayah dan ibunya. Mengingat itu tidak hanya urusan seks, hamil, melahirkan, menyusui, dan membesarkannya. Namun, ada hal-hal terperinci lainnya yang mungkin tidak banyak orang sadari. Bahwa memiliki anak menuntut kita untuk tidak hanya bermodalkan ingin, tapi juga mengharuskan kita memiliki kematangan dari ragam hal, baik fisik, mental, ilmu, hingga finansial.

Baca Juga: The Story; Membangun Kehidupan Pasca Tragedi KDRT

Saya memang belum menikah dan memiliki anak. Tapi profesi saya saat ini yang mengajar di TK, membuat saya mulai memahami bahwa keputusan memiliki anak adalah hal yang begitu krusial. Bagaimana saya belajar di lapangan untuk bersabar mengajari dan membersamai anak bukanlah sesuatu yang mudah. Hingga kemudian saya memahami bahwa tiap dari mereka adalah individu yang unik dengan ragam potensi. Proses yang tentu tidak gampang. Saya perlu belajar terus menerus. Belum lagi ketika saya akhirnya dihadapkan pada realita bahwa biaya anak untuk sekolah saja tidak main-main besarnya.

Berangkat dari pengalaman ini, saya merasa bahwa unggahan ibu tersebut sudah sepatutnya disikapi dengan bijaksana. Alih-alih menghakimi dengan macam-macam prasangka yang tidak-tidak, alangkah eloknya jika kita justru memvalidasi perjuangannya yang tidak mudah itu dan memberikan sokongan.

Perjuangan mengasuh anak adalah pekerjaan seumur hidup. Sayangnya, hingga saat ini, masyarakat masih saja membebankan tanggung jawab utama pengasuhan anak hanya pada sosok ibu. Figur ayah kerap kali dipinggirkan. Dari sini, menjadi ibu seakan membawa tekanan; ibu harus mampu dan berhasil dalam pola pengasuhan anak. Sosok ibu harus menjadi yang terdepan. Saat terjadi sesuatu yang kurang atau buruk pada anak, sosok ibu yang kerap disalahkan. Konstruksi pikiran semacam ini justru harus dilenyapkan.

Baca Juga: Dukung Pernyataan Chef Juna; Bahwa Tak Semua Perempuan Harus Punya Anak

Kita mulai dengan kesadaran bahwa tanggung jawab pengasuhan anak adalah milik kedua orang tuanya, yakni ayah dan ibu. Perlu adanya kerja sama dan sinergi yang dibangun keduanya untuk menciptakan pola pengasuhan yang baik untuk anak. Sehingga tidak akan ada lagi beban atau tekanan yang harus diemban oleh salah satunya.

Lebih lanjut, tentu peran masyarakat juga diperlukan. Kita perlu hadir untuk semua ibu hebat di sekitar kita. Mulai dari hal kecil yang bisa kita lakukan, seperti memberikan ruang aman dan nyaman untuknya menyusui. Tidak segera menghakimi ketika ada ibu yang sedang menenangkan anaknya yang menangis. Tidak menjejali ibu dengan pertanyaan-pertanyaan sensitif terkait anak. Misalnya:

“Kok, anaknya umur segini belum bisa ini dan itu ya?”

“Hhmm, anaknya kok aktif sekali yaa, sepertinya agak bandel ini.”

Percayalah, pertanyaan atau pendapat semacam itu akan sangat menyakitkan bagi ibu mana pun. Karena pasti kita meyakini bahwa sosok ibu akan terus berusaha memberikan yang terbaik. Segala kurang dan salah yang dilakukannya, bukan untuk kita hakimi, tapi perlu untuk kita bantu.

Baca Juga: Lewat Film “Luca”, Pixar Ingin Semua Orang Percaya Diri dengan Identitas Mereka

Seperti yang sudah saya katakan di awal, keputusan memiliki anak adalah sesuatu yang besar dan perjuangan yang tidak mudah; maka tidak pantas bagi kita untuk mencampuri pilihan hidup orang lain. Tidak pantas bagi kita untuk membombardir pasangan, terlebih perempuan, untuk segera memiliki anak. Kita harus memiliki rasa hormat dan saling menghargai pada pilihan hidup orang lain.

Terakhir, terima kasih atas seluruh perjuangan ibu di mana pun kalian berada. Perasaan dan perjuangan kalian adalah valid. Mari bersama saling menguatkan.

Dini Damayanti

Seorang perempuan biasa, sekaligus EXO-L, yang sedang menikmati hidup di umur 20 tahunan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!