Setelah Disahkan, Apakah UU TPKS Langsung Bisa Digunakan Untuk Tangani Kekerasan Seksual?

Setelah disahkan, apakah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah bisa digunakan untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual? Pertanyaan ini ditanyakan oleh sejumlah korban pasca UU TPKS disahkan pada April 2022. Apakah saat ini Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/UU TPKS sudah bisa digunakan mengingat masih banyak Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan UU TPKS yang masih digodok hingga hari ini?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya: Halo kakak-kakak Pengasuh Klinik Hukum bagi Perempuan Konde dan Koran Tempo online, saya Ignatia Irene Winanto (20 tahun) mahasiswa fakultas hukum di suatu universitas swasta. Saya ingin berkonsultasi mengenai kasus kekerasan seksual yang dialami oleh saudara jauh saya dari pihak mama. 

Korban adalah seorang perempuan, bernama T berusia 26 tahun dan sudah menikah. Ia (T) diperkosa dan dianiaya oleh seorang laki-laki bernama (R) yang merupakan pacar dari adik perempuan T. Kasus ini sudah dilaporkan ke polisi oleh T dan suaminya satu hari setelah kejadian yakni pada tanggal 14 April 2022 dan langsung dilakukan visum et repertum. Saat ini pelaku sudah ditahan pihak penyidik karena dikhawatirkan melarikan diri. Saya turut mendampingi proses pelaporan sebagai paralegal. 

Setelah proses penyidikan berjalan selama lima bulan, berkas perkara menurut penyidik sudah lengkap dan akan segera diserahkan ke Kejaksaan dengan bukti awal yang cukup. Yang ingin saya tanyakan adalah, pada saat pelaporan perbuatan pelaku belum dijerat dengan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tetapi masih menggunakan KUHP yakni kumulatif pasal 285 KUHP dan pasal 351 ayat (1) KUHP, padahal kan UU TPKS sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022. Ini artinya kejadian perkosaan dan penganiayaan setelah adanya atau disahkannya UU TPKS. Alasan penyidik masih menggunakan KUHP karena UU TPKS baru disahkan dan belum ada Perpresnya. Mohon penjelasannya, apakah kami bisa mendorong pihak Kejaksaan untuk juga menambahkan pasal UU TPKS didakwaannya. Terima kasih.

Jawab: Halo Ignatia, terima kasih sudah menggunakan layanan konsultasi Klinik Hukum bagi Perempuan Konde.co dan Koran Tempo online. Kami sangat senang klinik hukum kami tidak hanya diakses oleh korban atau perempuan pencari keadilan tetapi juga oleh mahasiswa hukum dan paralegal yang memberikan bantuan pendampingan kepada perempuan korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Perkenalkan sebelumnya, saya Rr Sri Agustini salah satu advokat pengasuh layanan konsultasi Klinik Hukum bagi Perempuan yang akan membantu untuk memberikan penjelasan terkait pertanyaan yang kamu utarakan di atas. Untuk memudahkan penjelasan, saya akan mengurainya dengan pertanyaan.

1.       Mengapa Undang-Undang Memerlukan Peraturan Pemerintah turunannya?

Pada dasarnya kekuasaan membentuk undang-undang, termasuk peraturan pelaksanaannya, sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), ada di tangan lembaga legislatif, dalam konteks Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) legislatif yang dimaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) walau usulan Rancangan UU TPKS berasal dari pemerintah. Sementara eksekutif (pemerintah) memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya.

Namun karena Peraturan Perundang-Undangan pada umumnya tidak memuat substansi pengaturan secara mendetail, sementara untuk melaksanakan undang-undang tersebut diperlukan Peraturan Pelaksanaan. Di dalam pembentukan peraturan pelaksanaan, DPR tidak memungkinkan untuk membuat sendiri karena bersifat teknis, sehingga bisa jadi prosesnya akan berjalan sangat lama mengingat mekanisme penetapan suatu keputusan di DPR sangat rumit, dan penuh perdebatan, sementara pemberlakuan dari undang-undang biasanya sangat mendesak untuk segera diterapkan, seperti UU TPKS misalnya dikarenakan Indonesia sudah dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Oleh karenanya pembuatan peraturan pelaksanaan perlu didelegasikan kepada eksekutif melalui Peraturan Pemerintah dan turunannya.

2.    Apa itu Peraturan Pemerintah dan Turunannya?

Dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dijelaskan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk melaksanakan undang-undang. Bentuk dari PP ini sering kali dibuat turunannya, disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan dari undang-undang tersebut, misalnya dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Menteri (Permen), yang mana hal tersebut harus termuat di dalam PP bahwa wajib diterbitkan Perpres maka wajib diterbitkan Perpres, dan apabila di dalam Perpres termuat harus diterbitkan Permen maka Permen wajib diterbitkan. Terkait dengan UU TPKS, Turunan dari PP sebagai peraturan pelaksanaan UU TPKS adalah Perpres.

3.     Apakah UU TPKS dan hukum acaranya bisa digunakan oleh aparat penegak hukum kepada pelaku TPKS walaupun belum ada Perpres?

Berikut ini adalah uraian jawaban saya terkait dengan pertanyaan Ignatia atas kasus TPKS yang sedang didampingi: UU TPKS (yang sifatnya darurat) dapat digunakan oleh penyidik kepada Tersangka R yang telah melakukan tindak pidana perkosaan dan penganiayaan kepada korban T, walau belum ada PP turunannya (Perpres). Adapun landasan penerapan dari UU TPKS ini mengacu kepada penjelasan di poin (1) yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang, termasuk peraturan pelaksanaannya ada di tangan lembaga legislatif, yang mana UU TPKS dibuat oleh DPR RI sehingga walaupun Peraturan Pelaksanaannya sudah didelegasikan kepada pemerintah dan saat sedang dibuat oleh pemerintah dalam bentuk Perpres.

Jika berkas perkara ternyata sudah sampai di Kejaksaan, dan belum dituangkan ke dalam bentuk surat dakwaan, Ignatia bisa menemui pihak Kejaksaan menemui Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang ditunjuk untuk memintanya agar menggunakan tambahan pasal atau juncto atau disingkat jo Pasal 6 huruf (b) UU TPKS, yakni:

“Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Menggunakan juncto atau jo, tidak langsung mengganti keseluruhan pasal di KUHP dengan UU TPKS? Hal ini bertujuan agar pasal yang sudah dirumuskan oleh penyidik dilapiskan dengan pasal di UU TPKS, dengan demikian maka hukuman terhadap tersangka/ terdakwa R menjadi berlapis yaitu hukuman yang mengacu ke KUHP dan hukuman yang mengacu ke UU TPKS sehingga penderitaan korban T yang sudah dihancurkan harkat dan martabatnya melalui perkosaan serta fisiknya melalui penganiayaan mendapatkan keadilan.

Bagaimana jika surat dakwaan sudah dimohonkan oleh JPU ke Pengadilan untuk mengadili terdakwa? sebelum menjawab hal ini, saya akan jelaskan terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan surat dakwaan.

Surat dakwaan adalah surat yang memuat struktur fakta (perumusan konstruksi fakta) dan role (aturan hukum yang diterapkan) atas tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, yang sementara disimpulkan oleh JPU dari berkas perkara hasil penyidikan. Surat dakwaan ini selanjutnya menjadi dasar bagi hakim untuk memeriksa dan menentukan unsur-unsur kesalahan dari terdakwa sehingga terdakwa dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan perbuatannya, termasuk juga membebaskan terdakwa dari tuntutan jika fakta yang dihadirkan ke persidangan oleh JPU tidak dapat membuktikan kesalahan dari terdakwa sehingga tidak ada alasan bagi majelis hakim untuk menghukum terdakwa.

Kembali ke pertanyaan di atas, lalu apakah surat dakwaan yang sudah sampai ke Pengadilan dapat diubah? Menurut Andi Hamzah (2008) dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia disebutkan bahwa surat dakwaan dapat diubah baik atas inisiatif penuntut umum sendiri maupun merupakan saran hakim. Akan tetapi perubahan itu harus berdasarkan syarat yang ditentukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Adapun pengaturan mengenai perubahan surat dakwaan terdapat dalam Pasal 144 KUHAP:

(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya;

(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai;

(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.

Dengan demikian, jika batas waktunya adalah 7 hari sebelum sidang, JPU masih bisa melakukan perubahan atas dakwaannya, sebagaimana yang disebutkan Pasal 144 ayat (1) dan (2) KUHAP. Untuk itu, Ignatia harus melakukan pemantauan atas proses penyidikan hingga pemberkasan di Kejaksaan dengan aktif sehingga terhindar dari keterlambatan waktu untuk mendorong agar UU TPKS dapat digunakan dalam surat dakwaan JPU terhadap tersangka/terdakwa R demi keadilan bagi korban T.

Sekian dulu Ignatia uraian penjelasan dari saya, semoga dapat memberikan penguatan kepada kamu di dalam menjalankan tugas mulia paralegal dalam memberikan pendampingan hukum kepada korban T sebagai penyintas TPKS dan semoga kamu berhasil mendorong aparat penegak hukum (Penyidik dan JPU) untuk dapat menerapkan UU TPKS. Dengan demikian dapat membuka mata dan hati pemerintah untuk mempercepat pembuatan peraturan pelaksana UU TPKS ini karena sifatnya yang darurat. Salam keadilan bagi penyintas TPKS.

Referensi:

1.  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

3.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

4.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)

5.  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)

Buku:

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!