Spread Love Not Hate, Stop Kekerasan Gender di Sekolah

Sebarkan cinta, bukan benci adalah slogan permainan game yang bisa digunakan untuk mengajak sosialisasi stop kekerasan gender di sekolah

Nama saya Stella Hita Arawinda, saya adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang yang sedang melaksanakan program kerja monodisiplin berbasis Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia. Di kampus saya, saya bertugas untuk mensosialisasikan stop kekerasan gender

Program ini dilaksanakan di dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dengan target siswa-siswi kelas X hingga XII. Adapun SMK yang menjadi wadah sosialisasi adalah SMK Negeri 3 Purworejo dan SMK Kartini Purworejo yang keduanya berada di daerah Kelurahan Sindurjan, Purworejo, lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN)  

Memang siapapun sejatinya bisa menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender/ KBG, termasuk laki-laki atau kelompok minoritas seksual.  Namun, dalam konteks KBG, kekerasan terhadap perempuan jauh lebih banyak terjadi. 

Selama lima tahun terakhir data dari Komnas Perempuan mencatat bahwa ada berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan (KtP) tidak jauh berbeda, yaitu 36% untuk kekerasan psikis dan 33% untuk kekerasan seksual, disusul kekerasan fisik sebanyak 18% dan terakhir adalah kekerasan ekonomi sebesar 13%. Sementara itu, selama tahun 2015-2021 terjadi fluktuasi data pelaporan kekerasan di dunia pendidikan. Dari laporan tersebut, di Perguruan Tinggi (PT) menempati urutan pertama yaitu 35% kemudian disusul pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam yang menempati urutan kedua atau 16%, selanjutnya di sekolah SMA/SMK terdapat 15%.

Dilaksanakan selama tiga hari dari Senin, 18 Agustus 2022 hingga Rabu, 20 Agustus 2022, sosialisasi ini diikuti sekitar 375 siswa dan siswi SMK. Sosialisasi dilakukan Stella dengan cara masuk ke kelas-kelas pada saat jam pembelajaran yang sudah disepakati dengan pihak sekolah kemudian diisi dengan pemaparan materi “Lah, Emang Harus???” yang lebih menekankan pada penguatan karakter tiap siswa-siswi agar tidak terjatuh akibat stigma diskriminatif berbasis gender yang dikatakan oleh masyarakat. 

Sebagai pemantik, Stella juga menggunakan tokoh-tokoh dari film Disney seperti Mulan (Mulan, 1998), Elsa (Frozen, 2013), dan Merida (Brave, 2012) yang memang merupakan independent woman yang kisah-kisahnya pun mengenai perlawanan terhadap stigma diskriminatif terutama bagi perempuan.

Stella juga menggunakan contoh film lokal yang sedang naik daun dalam satu tahun belakangan, yaitu Yuni (2021) dan Penyalin Cahaya (2021). Ia menceritakan bagaimana perempuan di Indonesia sangat rentan terkena diskriminasi dan juga pengekangan kebebasan dalam berekspresi maupun dalam memilih jalan hidupnya. Meskipun ditekankan pada hal pemberdayaan perempuan, namun Stella juga menekankan sosialisasi ini untuk pihak laki-laki. 

Diketahui, SMKN 3 dan SMK Kartini Purworejo memiliki mayoritas siswi perempuan. Hal tersebut membuat siswa laki-laki kerap menghadapi pertanyaan-pertanyaan diskriminatif mengenai pilihannya bersekolah di kedua SMK tersebut. Dari situ, Stella kemudian turut memperkuat siswa-siswa disitu untuk tidak terpengaruh dengan apa yang dilontarkan oleh masyarakat yang cenderung mendiskriminasi.

Pada akhir sosialisasi, Stella mengadakan game bertajuk “Spread Love Not Hate” untuk menekankan bahwa sebaiknya apa yang dikatakan ke orang lain adalah hal-hal baik saja yang tidak berpotensi menyakiti ataupun bertendensi ke arah diskriminasi. Hal itu sebagai simulasi dan langkah kecil namun nyata untuk mengurangi angka kasus kekerasan berbasis gender di Kabupaten Purworejo. Selain itu, Stella juga menyediakan akun Instagram khusus bernama @kitatimunmas.id yang dikelola pribadi untuk wadah bercerita bagi teman-teman yang terdampak kasus KBG atau ingin sekedar berbagi kisah mengenai hal-hal terkait.

Pengalaman KKN ini menurut saya merupakan pengalaman yang sangat menarik karena kami mencoba cara baru di sekolah di desa. Saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukannya secara bersama-sama karena ini jadi bagian penting pengalaman kami sebagai anak muda mengajak warga stop kekerasan gender di desa-desa dan sekolah disana

Stella Hita Arawinda

Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!