4 Perempuan Muda Bicara Pemilu: Copras-Capres, Isu Minoritas Jangan Cuma Jadi Lip Service

Selamat datang di musim Capres atau Calon Presiden. Media akan dihiasi banyak foto-foto Capres, dan media sosial akan dihiasi perang pendukung Capres. Hallo Capres-Capres, isu minoritas jangan cuma dijadikan lip service dan kampanye sesaat.

Kata orang ini namanya pesta demokrasi. Baliho-baliho politik yang banyak kita jumpai di sepanjang jalan raya. Sementara di sosial media, mulai ramai dengan narasi-narasi politik pendukung Capres. Apakah benar ini yang namanya pesta demokrasi?

Tak lama lagi, satu per satu calon-calon yang dijagokan pun akan bermunculan. Bukannya tanpa alasan, per 14 Juni 2022 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah resmi membuka tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sementara kini, prosesnya sudah sampai pada pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih yang akan dilakukan mulai 14 Oktober 2022 ini.

Segala tahapan dan jadwal mengenai penyelenggaraan Pemilu 2024 tercantum pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024. 

Konde.co mewawancarai 4 perempuan muda dari berbagai latar belakang ragam gender, agama, ras, untuk bicara soal politik. Lebih khususnya soal refleksi menjelang gelaran pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang. 

1. Gloria Fransisca, Mosi.id, Perempuan asal Flores, NTT

Gloria bercerita, dirinya kecil pernah menjadi korban bully akibat identitas ras dan agama yang dimilikinya. Ia berkulit hitam. Ironisnya, perkataan merendahkan itu bahkan juga datang dari gurunya sendiri.

“Bukannya udah nasib, anak Ibu ya item (hitam–red), jadi kalau dikatain ya harus terima,” ujar Gloria menirukan perkataan gurunya berpuluh tahun silam saat berbincang dengan Konde.co, Jumat (7/10).  

Gloria adalah kelahiran Jakarta yang pernah pindah di tengah masyarakat Sunda. Hingga kemudian bersekolah kembali di Jakarta dan kini berdomisili di Bogor, Jawa Barat.

Perempuan 30 tahun ini pun, merasakan betul, bagaimana identitas yang melekat padanya itu jadi isu minoritas yang seringkali dipinggirkan. Dia menyebut dirinya sebagai perempuan ‘triple minoritas’.  

Identitasnya sebagai perempuan yang dalam banyak hal ‘dinomor-duakan’ dari dominasi maskulin laki-laki. Ras Indonesia Timurnya yang tak jarang dipandang sebelah mata. Agama Katoliknya yang tentu saja jadi minoritas—hanya 2,5% di Indonesia.

“Kondisi ini menyebabkan konsekuensi paling kerasa buat double atau lebih kayak aku, kita gak pernah benar-benar dianggap,” lanjutnya. 

Itu berlaku terlebih ketika bicara soal politik. 

Gloria mengatakan, selama ini isu-isu tentang minoritas itu gak pernah sampai di level substansi masalah sosial dan kemanusiaan. Pesta demokrasi seperti pemilu pun di matanya masih lebih kental dengan nuansa maskulin, perebutan, bahkan perselisihan. Hanya soal angka dan mendulang suara. 

“Isu-isu soal kami (minoritas gender, ras dan agama—red) tuh gak pernah jadi sebuah kebijakan, apalagi program kerja. Isu soal masalah kami itu cuma lip service (pemanis lidah) dan jualan narasi politik aja,” katanya. 

Perempuan yang aktif di Mosi.id, platform media sosial edukasi politik, itu juga menyampaikan isu yang kelompok minoritas berkaitan dengan rasisme, diskriminasi agama, kelompok rentan itu justru dijual dalam pemilu sebagai pemoles. Bukan sebagai substansi utama untuk menyelesaikan akar masalahnya. 

Sebab politik hari ini, menurutnya masih mengagungkan suara mayoritas. Tentu saja untuk mendulang angka. Di satu sisi, dirinya juga menyayangkan minimnya keterwakilan dan keterlibatan kelompok minoritas sebagai aktor politik. Selain juga, ‘terbungkamnya’ suara dan identitas mereka sebab didominasi oleh mayoritas. 

“Gak pernah kan di pemilu (Pilpres khususnya) Capres Cawapres itu merayakan perbedaan dan mempersilahkan konstituen untuk bangga ‘aku lho orang Padang atau aku lho orang Flores’,” kata Gloria. 

Makin sedihnya dia, seringkali narasi kebangsaan dan kebhinekaan yang hadir dalam pesta demokrasi itu, justru kontraproduktif. Sebab malah mengabaikan narasi perdamaian. Apalagi kalau sudah sampai saling merendahkan dan menghancurkan atas nama perbedaan. 

“Tersadarkan olehku dan belajar dari dua pemilu terakhir.. perdamaian itu ciri feminin, tampaknya gak laku di kontestasi politik yang maskulin,” ucapnya.

Indriyani Sugiharto dalam Jurnal Perempuan (2014) pernah mengemukakan bahwa Indonesia yang menganut sistem patriarki, menjadi salah satu alasan terbatasnya kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses berpolitik. Persepsi masyarakat masih kerap kali mengkotak-kotakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam ranah publik dan domestik. 

Sejarah mencatat, setidaknya hanya sekitar 6,5% parlemen pada pemilu pertama RI tahun 1965 adalah perempuan. Sampai akhirnya pada tahun 1987, representasi perempuan di parlemen baru bisa mencapai angka tertingginya di 13%. 

Minimnya representasi perempuan ini tentu saja bukan masalah yang sepele. Sebab, kentalnya maskulinitas di penentu kebijakan bisa menyebabkan munculnya berbagai peraturan-peraturan yang tak ramah terhadap perempuan dan minoritas lainnya.  

2. Nabilah Mysweetha, Perempuan dengan disabilitas 

Jelang pesta demokrasi kita tentu akan menjumpai jargon-jargon dari para calon. Salah satunya, bakal merangkul semua elemen dan tak membeda-bedakan. Lebih dari itu, istilah kata inklusif juga digunakan untuk semakin meyakinkan si calon pemilih. 

Perempuan dengan disabilitas netra, Nabilah Mysweetha, mengatakan kepekaan dan kesadaran terhadap kebutuhan orang dengan disabilitas termasuk perempuan haruslah betul-betul menjadi perjuangan. Tak mungkin adanya ruang inklusif, jika kebutuhan dan hak perempuan dan disabilitas aja diabaikan. 

“Saya harap pemimpin berikutnya itu bisa lebih aware terhadap kebutuhan perempuan dan disabilitas, kami menginginkan kesetaraan,” ujar Nabilah kepada Konde.co, Sabtu (8/10). 

Mahasiswi di salah satu universitas Makassar tersebut menyampaikan, program-program dan kebijakan yang dibuat oleh para aktor politik nantinya harus memperhatikan kebutuhan inklusif perempuan dan disabilitas. Tak ada lagi, perencanaan pembangunan serampangan yang tak ramah disabilitas. Terlebih, fasilitas publik di berbagai tempat di Indonesia. 

“Lebih fokus lagi menciptakan ruang inklusif bagi perempuan dan disabilitas,” tegasnya. 

Dirinya juga berharap edukasi politik hingga prosesinya bisa lebih banyak merangkul anak muda untuk menggerakkan perubahan. Anak muda jangan lagi dianggap tak punya nyali dan kemampuan untuk menjalankan peran politiknya. 

“Sehingga bisa jadi kader terbaik di masa depan,” imbuhnya. 

Pernyataan Nabilah bisa dikatakan relevan dengan situasi di politik praktis Indonesia saat ini. The Conversation pernah mempublikasikan tulisan ‘Kaum Muda Diremehkan di Panggung Politik’ yang memotret data bahwa total 575 anggota DPR periode 2014-2019 itu hanya sekitar 4% atau 24 orang saja yang berusia 30 tahun. 

Untuk menjadi inklusif, tentunya kaum muda juga harus punya peran aktif dan berdaya dalam konteks politik. Supaya mereka bisa menjadi pemecah masalah dan pemangku kepentingan di komunitas mereka. 

3. Roudhatul Jannah, Aktivis Keberagaman

Perempuan muda lainnya, Roudhatul Jannah berharap sosok-sosok pemimpin di Indonesia nantinya haruslah punya perspektif sadar dan responsif gender. Aspek inklusif yang benar-benar mengakomodir semua latar belakang masyarakat termasuk kelompok marginal juga jadi hal penting. 

Mahasiswi magister di Yogyakarta itu menekankan, asas keadilan menjadi aspek penting yang harus ditegakkan di negeri ini. Sebab, banyak sekali persoalan sosial di sekitar yang seringkali “tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Dengan kata lain, impunitas atau tumpulnya penegakkan hukum bagi kelompok berkuasa. 

“Di zaman sekarang ini susah sekali memperoleh keadilan. No viral, no justice. Pemimpin juga harus memiliki kepekaan sosial. Banyak sekali permasalahan sosial di sekitar yang tidak ditangani dengan serius seperti perdagangan manusia, intoleransi hingga diskriminasi,” kata Jannah kepada Konde.co, Jumat (7/10).    

4. Hendrika Mayora, Transpuan

Narasi-narasi moral dan agama masih jadi ‘senjata’ politik yang laku di negeri ini. Tak elak, isu-isu yang menyasar kelompok minoritas gender dan seksualitas, LGBT, seringkali dijadikan bahan untuk berkampanye. Aturan-aturan diskriminatif dan rentan menyebabkan persekusi kelompok ini pun menjadi janji-janji yang diobral.  

“Ini kan dijadikan ajang untuk saling menjatuhkan, bahkan untuk mendulang suara dengan narasi-narasi kebencian, narasi-narasi konservatif,” ujar Hendrika Mayora, transpuan yang kini menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Sikka, NTT, saat ngobrol dengan Konde.co, Jumat (7/10). 

Transpuan yang akrab disapa Bunda Mayora ini melihat bahwa saat ini pun, narasi-narasi itu sudah mulai bermunculan. Makin ke sini makin kelihatan. Sehingga, jangankan untuk menjadi aktor politik yang memimpin, kelompok LGBT pun masih sulit untuk mendapatkan hak politiknya dalam pemilihan. 

Sangat disayangkannya, ada pula kepentingan politik yang menurutnya hanya menempatkan kelompok LGBT ini sebagai objek untuk mendulang suara. 

“Memanfaatkan kelompok ini untuk menjadi perolehan suara, pemenuhan kuota, jadi masuk ke suara partai, ini kan sangat disayangkan,” katanya. 

Di konteks politik, Bunda Mayora mengungkapkan kelompok minoritas gender dan seksualitas mengalami situasi kompleks sekaligus diskriminasi yang berlapis. Mereka yang minim pendidikan politik, seringkali dimanfaatkan untuk ‘kepentingan’ politik sekaligus didiskriminasi di saat yang bersamaan ketika prosesi pesta demokrasi hingga realisasinya. 

Teman-temannya dari kelompok minoritas itu, banyak yang tak bersekolah tinggi, minim pendidikan politik, kemudian ketika akan menggunakan hak suaranya kena diskriminasi. Ia bercerita, pernah ada teman-temannya sesama transpuan yang ditertawakan dan dianggap aneh saat berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS). 

“Sebagai pribadi dia merasa malu, ya ngapain nyoblos (kalau didiskriminasi juga—red),” katanya. 

Menanggapi situasi itu, Bunda Mayora bersama komunitas trans yang digerakkannya, Fajar Sikka, terus berupaya untuk melakukan edukasi politik juga ke teman-teman trans. Meskipun situasinya masih sulit bagi kelompok marginal, tapi golput (golongan putih) dalam pemilu itu bukanlah solusi. 

Justru bisa berpotensi merugikan bagi kepentingan kelompok marginal seperti mereka. Sebab, suara mayoritas akan semakin mendominasi. Sementara yang marginal semakin terpinggirkan. 

“Hati-hati golput karena itu bisa jadi pencurian suara,” ucap transpuan pertama yang jadi pejabat publik di Indonesia itu. 

Bunda Mayora menekankan agar penyelenggara pesta demokrasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan berbagai pihak berwenang bisa benar-benar memperhatikan kelompok minoritas. Upaya paling awal, negara harus menjamin adanya kartu identitas penduduk (KTP) bagi setiap warga negara termasuk komunitas trans ini. 

Selain itu, juga kemudahan dalam mengurus birokrasi Daftar Pemilihan Tetap (DPT) yang kerap kali jadi hambatan di lapangan bagi komunitas trans saat momentum pemilu. Tak kalah penting, pembekalan pendidikan politik terhadap kelompok minoritas ini juga harus lebih digencarkan. Tak boleh ada diskriminasi dan harus merata. 

Dia juga mendorong KPU untuk lebih berani dalam menyuarakan pemilu yang inklusif. Itu bisa dilakukan dengan menghadirkan sosok-sosok dari kalangan minoritas seperti perempuan, disabilitas, perempuan korban kekerasan, masyarakat adat, hingga LGBT kaitannya dengan itu. 

“Libatkan dalam pembicaraan-pembicaraan, karena penting ini. Karena selama ini kan belum terakomodir, KPU harus berani keluar dari zona nyaman untuk mengakomodir kelompok-kelompok ini,” pungkasnya. 

Foto: Koleksi pribadi narasumber

Keterangan foto (kiri-kanan): Nabilah Mysweetha, Roudhatul Jannah, Hendrika Mayora

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!