Perempuan dan Anak Jadi Korban Tragedi Kanjuruhan: Momen Kelam Sejarah Sepak Bola

Duka mendalam atas tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022. Momen kelam sepakbola Indonesia yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia dan luka-luka termasuk perempuan dan anak-anak.

1 Oktober 2022 menjadi momen kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Hingga sehari setelahnya, tak kurang dari 182 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka akibat tragedi di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Banyak di antaranya yang juga perempuan dan anak-anak. 

Data terbaru setidaknya ada 17 anak yang meninggal dunia dalam tragedi itu. Sedangkan, 7 anak lainnya masih menjalani perawatan di rumah sakit. Salah seorang anak (11 tahun) bahkan kini juga menjadi yatim piatu karena ayah (MY, 40 tahun) dan ibunya (RS, 30 tahun) meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan itu. 

Tragedi Kanjuruhan bermula saat pertandingan sebetulnya berjalan lancar hingga selesai. Hingga kemudian kerusuhan terjadi setelah pertandingan, dimana terdapat suporter memasuki lapangan dan kemudian ditindak oleh aparat. Dalam video yang beredar, terdapat kekerasan yang dilakukan aparat dengan memukul dan menendang suporter yang ada di lapangan. 

Ketika situasi suporter makin banyak ke lapangan, justru kemudian aparat melakukan penembakan gas air mata ke tribun yang masih banyak dipenuhi penonton. Termasuk perempuan dan anak-anak. 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH Kantor Seluruh Indonesia menilai, penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian massa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. 

“Penggunaan gas air mata yang tidak sesuai dengan Prosedur pengendalian massa mengakibatkan suporter di tribun berdesak-desakan mencari pintu keluar, sesak nafas, pingsan dan saling bertabrakan,” tulis YLBHI dan LBH Kantor Seluruh Indonesia melalui keterangan resmi yang diterima Konde.co, Minggu (2/10). 

Padahal jelas penggunaan gas Air mata tersebut dilarang oleh FIFA. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion.

“Hal tersebut diperparah dengan over kapasitas stadion dan pertandingan big match yang dilakukan pada malam hari hal tersebut yang membuat seluruh pihak yang berkepentingan harus melakukan upaya penyelidikan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap pertandingan ini,” katanya. 

Usut Tuntas!

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun mengecam keras Panitia dan Operator Liga yang tidak menerapkan mitigasi risiko yang baik dan benar. Sehingga, kapasitas stadion yang seharusnya hanya diisi maksimal 38 ribu, membludak sampai 42 ribuan. Imbasnya, penonton harus berdesak-desakan, berhimpitan dan mengalami gangguan pernapasan. 

Kelalaian panitia dan operator liga tersebut diperburuk dengan tindakan pengamanan yang tidak proporsional dan bahkan cenderung berlebihan (excessive use of force) oleh Aparat Kepolisian yang bertugas dilapangan. Pada video yang beredar di Media Sosial terlihat bahwa terdapat penggunaan Gas Air Mata yang dilarang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, selain penggunaan Gas Air Mata juga terdapat kekerasan terhadap para korban. Kekerasan itu tampak tidak hanya dilakukan oleh Kepolisian tetapi juga dilakukan oleh Anggota TNI. 

“Pertanggungjawaban panitia dan Operator Liga harus dimintai baik dalam kerangka kelalaian yang menyebabkan orang meninggal dan ganti rugi serta rehabilitasi kepada korban,” ujar Koalisi dalam keterangan resminya, Minggu (2/10).

Koalisi juga menilai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) harus melakukan pemeriksaan terhadap aparat yang bertugas dilapangan karena jelas ada penggunaan kekuatan berlebih yang tidak proporsional serta kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, selain itu terhadap Anggota TNI harus juga diperiksa oleh Panglima TNI mengingat penerjunan Anggota untuk mengamankan Pertandingan Sepak bola jelas bukanlah tugas prajurit TNI. 

Lebih dari pada itu, atasan Anggota Polisi dan TNI yang bertugas di lapangan juga harus dimintai pertanggungjawaban (command responsibility) karena sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan.

Koalisi lantas mendesak Presiden RI harus meminta maaf secara terbuka kepada korban dalam tragedi kemanusiaan Kanjuruhan dan memastikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada korban secara menyeluruh. Presiden RI juga harus membuat Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menemukan sebab terjadinya Tragedi Kemanusiaan dengan melibatkan Lembaga Negara Independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 

“Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Panglima TNI harus memeriksa semua anggota yang bertugas dilapangan secara etik, disiplin dan Pidana. Penyelenggara pertandingan sepakbola tidak lagi melibatkan aparat Kepolisian dan TNI serta berhenti menerapkan pendekatan Keamanan Dalam Negeri di dalam stadion, melainkan pengamanan ketertiban umum (stewards/civil guards),” katanya. 

Koalisi ini terdiri dari IMPARSIAL, LBH Surabaya Pos Malang, LBH Jakarta, YLBHI, PBHI Nasional, KontraS, Setara Institute, Public virtue, ICJR, WALHI, LBH Masyarakat, LBH Pers, ELSAM, HRWG, Centra Initiative, ICW, AJI Jakarta. 

Guna membantu para korban tragedi Kanjuruhan, YLBHI kini membuka posko bantuan yang dibuat untuk massa suporter dan keluarga korban atas tragedi Stadion Kanjuruhan 1-2 Oktober 2022 yang dicederai hak hukumnya. Masyarakat bisa menghubungi beberapa narahubung yang tercantum yaitu LBH Surabaya (083856242782) dan LBH pos Malang (082334720627).

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!