Hari Lansia 1 Oktober: Apa Yang Sudah Kamu Lakukan Untuk Lansia Di Sekitarmu? Banyak Lansia yang Ditinggalkan

Setiap tanggal 1 Oktober, seluruh dunia memperingati Hari Lansia sedunia. Apa yang sudah kamu lakukan untuk para Lansia di sekitarmu? Sudahkah lansia di dekatmu mendapatkan haknya sebagai lansia?

Di usianya yang telah melewati kepala enam, Mak Irah (bukan nama sebenarnya) dihadapkan pada situasi yang sulit. 

Perempuan lanjut usia/ lansia ini lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian di rumahnya yang sederhana di Kabupaten Karawang. Suaminya sudah lama meninggal, sementara tiga anaknya sibuk dengan urusan keluarga dan kebutuhannya masing-masing.

Satu per satu, orang-orang yang seumuran dengan mak Irah juga meninggal, sehingga orang yang dikenal mak Irah semakin berkurang. 

Di lingkungannya, mak Irah yang tak lancar membaca dan menulis, dan tak lancar berbahasa Indonesia ini juga ‘dipaksa’ beradaptasi pada perubahan pembangunan yang sangat cepat.

Desanya terletak di Kecamatan Telukjambe Kabupaten Karawang, Jawa Barat bersinggungan langsung dengan sejumlah proyek pembangunan nasional. Desa itu dilalui proyek jalan tol, jalur kereta cepat dan pengolahan sampah modern. Ini menjadi magnet sendiri bagi pendatang dari luar untuk berdatangan ke desa mak Irah.

Para pendatang ini umumnya muda, dengan badan yang lebih kuat dan memiliki pendidikan yang  tinggi. Mereka juga memiliki kultur yang berbeda dengan yang selama ini ditemui mak Irah. Mak Irah yang lugu suka bingung bagaimana memposisikan diri dan bersosialisasi dengan pendatang yang memiliki kultur yang berbeda. Meski tinggal di kampungnya sendiri, mak Irah mengalami kebingungan dan terkaget-kaget dengan perubahan yang begitu cepat di desanya.

Maka tak jarang, terlintas di pikiran mak Irah akan lebih mudah baginya jika ia lebih cepat meninggal

“Banyak teman-teman seusia emak yang meninggal. Ada rasa kesepian dan sendirian, merasa ditinggalkan keluarga sehingga kadang-kadang kepikiran daripada begini mendingan mati aja,’” ujar Mak Irah saat berbincang dengan Konde.co di sebuah pertemuan di Makassar, pertengahan September 2022 lalu.

Perubahan juga membuat orang-orang seperti mak Irah yang sejak muda lebih banyak bergelut sebagai petani, makin terpinggirkan secara ekonomi. Stigma, bahwa kodrat perempuan adalah mengurusi dapur, sumur dan kasur turut memperburuk situasi yang harus dihadapi perempuan lansia di Kabupaten Karawang.

Dengan logat Sunda yang kental, Mak Irah lantas menceritakan jika Ia terlahir dari keluarga penggarap sawah atau buruh tani yang menganggap bahwa perempuan tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Ia hanya sempat mengenyam bangku pendidikan hingga kelas 2 SD.

Setelah menginjak dewasa, mak Irah pun meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai buruh tani. Ia masih ingat, saat muda ia sering menjadi buruh panen dengan sistem bawon, di mana upah yang diterimanya adalah sepersepuluh dari padi yang berhasil di panennya.  

Banyaknya lahan yang beralih fungsi menjadi perumahan, pabrik ataupun infrastruktur membuat hidup mak Irah yang sebelumnya tidak mudah kini semakin susah. Kesempatan kerja menjadi buruh tanam atau buruh tani makin sulit didapat.

Saat ini, hidup Mak Irah lebih banyak bergantung pada bantuan pemerintah daerah setempat. Bantuan berupa beras 10 kilogram dan beberapa bahan kebutuhan pokok seperti telur, minyak goreng dan kadang ditambah buah-buahan itu harusnya diterima setiap bulan. Namun, mak Irah mengaku bantuan itu kadang diterima dua bulan sekali atau bahkan tiga bulan sekali.

Untuk mengakalinya, mak Irah mengumpulkan kaleng/plastik bekas dari perumahan atau pabrik terdekat untuk dijual. Kadang. ia diminta membantu masak atau mencuci piring oleh orang yang sedang hajatan.

“Penghasilan nggak tentu. Kalau diminta membantu masak agak lumayan. Bisa dapat Rp 100 ribu/sehari, tapi nggak setiap waktu kerjaan ini datang,” imbuhnya.

Terpinggirkan oleh pembangunan

Manajer Program Andil Sahate Vina Kurnia mengatakan, potret perempuan seperti Mak Irah banyak ditemukan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Pesatnya pembangunan menjadi pisau bermata dua.

“Di satu sisi pembangunan akan menggerakan ekonomi. Tapi di sisi lain menggerus dan makin meminggirkan kelompok marginal di pedesaan terutama perempuan lansia,” terang Vina.

Karawang yang terletak tak jauh dari Jakarta memang tidak bisa melepaskan diri dari pembangunan dan dampak pembangunan itu sendiri. Lahan pertanian di Kabupaten Karawang yang dulu dikenal sebagai lumbung padi nasional terus menyempit. Menurut penelitian yang dilakukan tim peneliti dari IPB, pada 2018 Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten yang mengalami konversi lahan paling tinggi di Provinsi Jawa Barat dalam kurun 2013-2018.

Data itu menyebut, dalam lima tahun terakhir setidaknya 165.400 hektare sawah di Karawang beralih fungsi. Alih fungsi lahan dari sawah ke non pertanian paling banyak digunakan untuk membangun perumahan, kemudian ke industri dan jasa.

Perubahan ini tak hanya berdampak pada penurunan produksi padi, tetapi juga pada kehidupan sosial budaya warga Kabupaten Karawang. Perubahan yang signifikan dari semula kawasan pertanian menjadi kawasan industri, telah meminggirkan orang-orang seperti mak Irah.

Vina menjelaskan, selama puluhan tahun, mayoritas warga Karawang khususnya para perempuan bekerja di sektor pertanian. Ketika tiba-tiba lahannya hilang karena beralih fungsi, mau tidak mau mereka harus banting setir. Padahal usia mereka sudah sulit untuk berubah, pun kondisi fisik mereka sudah tidak memberikan keleluasaan untuk bekerja. Akibatnya, lansia di Karawang yang saat ini mencapai 5 persen dari total jumlah penduduk Karawang tidak punya ranah pekerjaan.

“Dari sisi usia dan keterampilan mereka tidak mungkin diterima bekerja di pabrik, sementara mereka harus tetap menghidupi diri dan keluarganya,” imbuh Vina.

Masalah yang dihadapi warga yang masuk dalam kelompok usia produktif juga tidak mudah. Vina menuturkan, banyak anak muda di tiga desa di Karawang yang menjadi wilayah program Andil Sahate juga mengalami siklus yang hampir sama. Mereka juga tidak mampu bersaing dengan pendatang, karena pendidikannya masih rendah.

Jika melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Karawang memang bisa dibilang lebih rendah dibanding daerah lain. Pada 2021, IPM Kabupaten Karawang tercatat 70,94 atau di bawah IPM rata-rata nasional yang berada di angka 72,29. Dari pemantauan Andil Sahate, hingga saat ini masih banyak warga Karawang yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi.

“Banyak yang hanya sekolah sampai lulus SD atau SMP paling banter SMA. Sementara pendatang dari luar, kemampuan dan pendidikannya lebih tinggi. Sehingga kesempatan kerja untuk mereka lebih sedikit,” terang Vina sembari menambahkan ini menjadi persoalan mendasar yang banyak ditemukan di Karawang.

Dampak stigma perempuan hanya untuk urusan dapur, sumur dan kasur sehingga tidak perlu sekolah tinggi kini sangat terasa. Banyak lansia perempuan yang tidak bisa menulis dan membaca. Selain peluang kerja yang sempit, kondisi ini juga mengakibatkan mereka sering dibohongi keluarganya.

Vina mengatakan, tidak sekali dua pihaknya menemukan bagaimana perempuan lansia dibohongi oleh anak-anaknya sendiri. Lahan sawahnya dijual oleh sang anak, sang ibu yang tidak bisa membaca diminta meneken surat perjanjian itu meski dia tidak tahu apa isinya karena dia tidak bisa membaca.

Untuk mengatasi masalah sosial yang dihadapi perempuan lansia Karawang ini Andil Sahate dalam beberapa tahun terakhir mendorong pelibatan yang lebih besar bagi lansia di Karawang khususnya perempuan dalam pengambilan kebijakan. Pelibatan ini dimulai dari tingkat desa, dengan melahirkan kebijakan yang berpihak kepada lansia. Kebijakan ini bisa didanai dengan menggunakan dana desa, karena memang ke depan kebijakan akan berasal dari desa.

“Banyak dana yang tersedia di desa, dengan adanya dana desa, desa bisa berinovasi dan membuat kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan warganya,” ujar Vina.

Ia menyayangkan, masih banyak kepala desa yang mengalokasikan dana desa yang diterimanya untuk pembangunan infrastruktur yang kadang tidak terlalu dibutuhkan warganya. Selama ini perempuan dan lansia di Karawang cenderung termarjinalkan. Dari total Rp 6 miliar yang dianggarkan setiap tahunnya, baru 0,05 persen yang tersalurkan. Padahal menurutnya kerentananan kaum Lansia merupakan bagian dari permasalahan sosial.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!