Aktivis perempuan

Refleksi Aktivis Perempuan 69 Tahun, Jika Saya Mati Besok, Saya Sudah Tinggalkan Warisan Keilmuwan

Sebenarnya, jika saya mati besok, saya sudah meninggalkan warisan keilmuan, khususnya melalui buku-buku dan berbagai tulisan saya lainnya. Jadi apakah saya masih perlu membuktikan diri di umur 69 tahun ini?

Jika seks adalah angka, ada yang akan mengatakan itu adalah 69. Coba tebak deh kenapa!

1969 adalah tahun erotis bagi Serge Gainsbourg, penyanyi dan penulis lagu Perancis legendaris, dan Jane Birkin,  pasangan romantis dan kreatifnya,  yang meninggal pada hari Minggu lalu, 16 Juli. Mereka merayakannya dalam lagu 1969 “L’Annee Erotique” (Tahun Erotik).

69 juga menyerupai simbol yin-yang, juga bintang Cancer, tanda zodiak saya. Bagi saya, 19 Juli adalah awal kemunculan saya di bumi yang sekarang sudah mencapai tahun ke-69. Ta da!

Usia di atas 65 tahun disebut lanjut usia (lansia), tetapi bagi saya dan siapa pun yang mengenal saya, hal ini menggelikan, karena saya tidak terlihat, merasa, berbicara atau berperilaku tua.

Dan saya tidak sendiri. Banyak orang berusia 60, 70, 80, bahkan 90 tahun yang masih muda dan bersemangat, seperti aktris Helen Mirren, 75, Jane Fonda, 85, dan Rita Moreno, yang pada usianya yang ke 91, justru sedang mengalami kebangkitan kariernya kembali.

Seperti Moreno, saya senang menjadi lebih tua. Banyak keuntungan yang didapat, dan yang saya maksud bukan bebas gratis naik TransJakarta tetapi bebas dari berbagai hambatan emosional, rasa tidak aman, keraguan diri, kecemburuan, kemarahan, dan emosi negatif lainnya yang saya miliki ketika masih muda. Saya juga lebih pengertian, toleran, pemaaf, bahagia dan bijaksana, dan memiliki wawasan serta pemahaman yang jauh lebih baik tentang diri saya maupun orang lain.

Selama lima tahun terakhir ini, saya melakukan tinjauan kehidupan (life review). Saya mengalami begitu banyak momen “aha”, yang membantu saya memahami berbagai kejadian dalam hidup saya, termasuk yang sangat sulit dan menyakitkan, terutama pengkhianatan oleh orang-orang terdekat dan terkasih saya. Namun pengalaman ini menyumbang kepada perkembangan, kedewasaan, dan kebijaksanaan saya, serta pembebasan dari penjara masa lalu.

Baca Juga: Batik Saparinah Sadli Tunjukkan Ketangguhan Perjuangan Pembela Hak Perempuan

Sekitar dua tahun lalu, saya menemukan karya Dr. Gabor Maté, seorang dokter dan penulis Kanada berusia 79 tahun, spesialis mengenai trauma dan adiksi. Dia tidak segan mengungkapkan traumanya sendiri dan bagaimana pengalamannya sebagai bayi Yahudi Hongaria selama Perang Dunia II memengaruhinya hingga dia berusia 70-an. Ketika Jerman menduduki Hongaria, ibunya memberikannya kepada orang asing untuk menyelamatkannya. Gabor merasa ditinggalkan dan diabaikan, karena sebagai batita, dia tidak dapat memahami konteks tindakan ibunya.

Trauma ini mendorongnya untuk menjadi dokter, agar membuatnya merasa dibutuhkan. Dia juga menjadi gila kerja, dan mengabaikan keluarganya sendiri dalam prosesnya. Trauma masa kecilnya juga mengakibatkan kemarahan mendasar yang mudah dipicu kejadian yang dipersepsikan pikiran bawah sadar Gabor seperti pengulangan perasaan diabaikan saat ia batita. 

Ketika istrinya terlambat menjemputnya di bandara, dia pulang dengan taksi tetapi tidak berbicara dengannya selama dua hari. Keterlambatan istrinyanya memicu trauma yang dialaminya lebih dari 70 tahun yang lalu. Bayangkan.

Kisah dan wawasan Gabor merupakan katalisator untuk memahami trauma masa kecil saya sendiri. Ibuku tidak menggendongku ketika aku menangis karena ayahku berkata, “Nanti juga dia akan berhenti menangis sendiri!.”

Kebutuhan ibu saya untuk mematuhi suaminya mengalahkan naluri keibuannya untuk mencintai dan melindungi saya.

Melompat ke usia enam tahun ketika saudara laki-laki saya lahir, ada pergeseran nyata dalam perhatian orang tua saya kepadanya. Hal inilah yang memicu kelahiran saya sebagai seorang feminis. Saat itu saya bersumpah dapat membuktikan bahwa bisa lebih baik daripada putra kesayangan mereka itu. Seperti Gabor, saya menjadi gila kerja, juga menjadi helpaholic (selalu membantu) dan cenderung  berusaha menyenangkan dan mengutamakan orang lain. Padahal kaum feminis dianggap egois. Ironis ya?

Baca Juga: Aktivis Perempuan Solidaritas Bebaskan Fatia dan Haris

Pada tanggal 29 Mei tahun ini, saya didiagnosis menderita myalgic encephalomyelitis/sindrom kelelahan kronis (ME/CFS), “penyakit yang ditandai dengan kelelahan mendalam, kelainan tidur, nyeri, dan gejala lain yang diperparah jika melakukan kegiatan …Sering kali hal ini berakibat pada ketidak mampuan bahkan disabilitas fisik yang parah. Sekitar 17-24 juta orang terkena ME/CFS di seluruh dunia, dengan perempuan lebih sering daripada pria”. Tidak heran Caitlynn Flynn, seorang jurnalis pemenang penghargaan, menulis artikel “Mengapa Sindrom Kelelahan Kronis adalah Masalah Feminis” (“Why Chronic Fatigue Syndrome is a Feminist Issue”, SheKnows, 2018).

Meski banyak orang yang terkena, ME/FMS bukan penyakit yang dikenal masyarakat umum ataupun profesi medis. Faktanya, film dokumenter Deutsche Welle tahun 2022 menyebutnya sebagai “penyakit misterius”. Mungkin masih banyak lagi jumlah pasien ME/CFS, namun tidak terdeteksi, tidak terdiagnosis atau salah diagnosis sebagai long COVID ataupun kondisi lainnya.

ME/CFS saya dipicu oleh rasa frustrasi, kelelahan, dan stres yang saya alami selama bekerja selama 15 bulan di sebuah LSM dan “think-tank” yang lebih banyak “tank”nya daripada “think”nya!

Didirikan pada tahun 1971, mereka terkenal karena sikap kritis mereka terhadap rezim Orde Baru. Namun mereka memiliki satu kekurangan yang parah: tidak ada perspektif gender dalam program mereka, dan tidak ada perempuan di level manajemen atas.

Tampaknya saya ditarik untuk bergabung karena alasan palsu, karena dalam kenyataannya saya tidak pernah diberi dukungan yang berarti. Saya ibaratnya “trophy wife”, semacam piala pajangan, seperti ibu saya bagi ayah saya. Upaya saya menyesuaikan diri sia-sia, karena LSM ini patriarkal hingga ke tulang sumsum, dan keterbukaan mereka terhadap feminisme sama sulitnya ditembus seperti Fort Knox (pangkalan militer AS di Kentucky yang terkenal sangat kuat penjagaannya). 

Baca Juga: ‘Serangan Digital Sampai Kiriman Santet’ Kisah Para Perempuan Pembela HAM

Untuk waktu yang lama, saya mencoba memahami apa makna saya berurusan dengan LSM tersebut. Setelah saya didiagnosa ME/CFS barulah saya mengerti. Mereka adalah personifikasi sosok patriarki, seperti halnya orang tua saya. Saya merasakan kebutuhan yang sama untuk membuktikan diri kepada LSM tersebut, seperti terhadap orang tua patriarkal saya.

Sebenarnya,  jika saya mati besok, saya sudah meninggalkan warisan keilmuan, khususnya melalui buku-buku dan berbagai tulisan saya lainnya. Jadi apakah saya masih perlu membuktikan diri? Si Julia, anak perempuan berusia enam tahun yang bersemayam di dalam diri saya, masih merasa perlu.

Gabor menulis sebuah buku berjudul When the Body Says No: The Cost of Hidden Stress (Ketika Tubuh Mengatakan Tidak: Harga Tersembunyi dari Stres, 2003), di mana dia menjelaskan, ketika Anda tidak bisa mengatakan tidak, tubuh Andalah yang akan melakukannya, dalam bentuk penyakit.

Oleh karenanya, saya senang mengidap penyakit ini, karena ia menyelamatkan saya dari diri saya sendiri. Ia memaksa saya berhenti,  tidak memforsir diri membanting tulang untuk sistem patriarkal yang sama sekali tidak peduli dengan saya. 

Baca Juga: Mahsa Amini, Nyawa Perempuan Lebih Penting dari Selembar Kain

Terkena ME/CFS memberi saya kesempatan untuk merawat diri saya sendiri, untuk menyembuhkan, untuk mengatakan “tidak!” pada tuntutan eksternal yang tanpa henti, untuk memprioritaskan kesejahteraan saya dan untuk mencapai keseimbangan yang memungkinkan saya untuk tetap melayani orang lain, tetapi tidak dengan mengorbankan kesehatan atau kepentingan saya sendiri.

Mengapa Anda perlu peduli dengan sindrom kelelahan kronis saya? Karena banyak dari Anda adalah saya, dan organisasi yang memicu penyakit saya adalah mikrokosmos dunia tempat kita tinggal.

Buku lain Gabor, yang ditulis bersama putranya Daniel, adalah The Myth of Normal: Trauma, Illness, and Healing in a Toxic Culture, (“Mitos Normalitas: Trauma, Penyakit dan Penyembuhan di dalam Kultur Toksik”, 2022) yang dengan tepat menggambarkan keadaan dunia kita. Buku ini bercerita tentang keadaan di mana pemerintah tidak bekerja untuk kepentingan rakyat tetapi kepentingan oligarki. Di mana Big Phama (perusahaan farmasi besar) dan profesi medis memprioritaskan laba atas kesehatan rakyat, seperti halnya korporasi yang mengeksploitasi orang dan lingkungan. Di mana anggaran pertahanan lebih besar daripada anggaran untuk kesehatan atau pendidikan, dan di mana korupsi dianggap normal.

Baca Juga: Aktivis Perempuan: Stop Kekerasan Berulang Pada Korban Perkosaan, Jangan Bungkam Media!

“Keadaan harus menjadi lebih buruk sebelum menjadi lebih baik”. Meski Anda mempercayainya, mengingat keadaan dunia yang semakin mengerikan, bisa dipahami jika Anda berkecil hati.

Meskipun tidak ada obat medis untuk ME/CFS, saya tidak ragu saya akan pulih, bahwa yang terbaik belum datang. Dan bahwa saya akan berkembang dengan sangat baik, tidak hanya bertahan, dalam dekade ketujuh saya.

Penyakit saya saat ini adalah metafora untuk keadaan dunia. Dan entah bagaimana, rakyat akan bersatu dan melawan sistem global yang beracun dan merusak. Yang terbaik masih akan datang, untuk kita semua.

(Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan aslinya yang dimuat di The Jakarta Post pada 20 Juli 2023 atas seizin penulis)

Julia Suryakusuma

Penulis buku "Ibuisme Negara" dan "Jihad Julia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!