KUPI: Kongres Ulama Perempuan Indonesia Perjuangkan Narasi Fatwa Perempuan Progresif

Selama puluhan tahun ruang fatwa didominasi oleh para laki-laki yang tidak pernah merasakan apa yang dialami perempuan. Perempuan sering disebut sebagai sumber fitnah sehingga hidupnya harus diatur sedemikian rupa. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) hadir untuk mengisi ruang ini.

Untuk memperkuat posisi perempuan dalam peradaban, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) akan kembali digelar pada 23-26 November 2022 di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah. Tema yang diambil adalah “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan”.

KUPI I di Cirebon pada April 2017 menjadi momentum historis yang menyatukan inisiatif-inisiatif komunitas dan lembaga-lembaga yang bergerak pada pemberdayaan perempuan, baik di kalangan akademisi, aktivis organisasi keislaman, praktisi pemberdayaan di akar rumput, bahkan para aktivis gender.

Setelah KUPI I, ulama perempuan telah bertransformasi menjadi sebuah gerakan yang mengakar di tengah masyarakat. KUPI juga menginspirasi lahirnya komunitas-komunitas ulama perempuan di berbagai daerah, seperti Komunitas Ngaji Keadilan Gender Islam, Komunitas Mubadalah, simpul dan komunitas ulama perempuan Rahima, Kader Ulama Perempuan Fahmina, jaringan perempuan pengasuh pesantren dan muballighat, jaringan ibu nyai nusantara, jaringan ning-ning nusantara, dan yang lain.

Isu-isu keadilan gender Islam, melalui tokoh-tokoh KUPI, juga diserap media-media populer mainstream di Indonesia, seperti Islami.co, NU Online, Republika, Bincangsyariah, Iqra.id, Alif.id, Mubadalah.id, Rahma.id. KUPI, juga membuka jalan bagi membanjirnya berbagai konten kreatif isu-isu keadilan gender Islam, yang sebelumnya sangat minim.

“Berkat KUPI, otoritas dan keberadaan ulama perempuan semakin diakui. Perempuan semakin dilibatkan dan masuk dalam struktur organisasi seperti pengurus Masjid Istiqlal. Bahkan dua dari 9 Batsul Matsail adalah perempuan,” ujar Faqihuddin Abdul Kodir, sekretaris SC KUPI II, di sela Halaqah Nasional Pra Kupi II, Rabu (19/10/2022) di Jakarta.

KUPI juga telah berhasil mempengaruhi perumusan kebijakan yang lebih berperspektif perempuan. Salah satunya, revisi UU Perkawinan dengan menaikkan batas usia pernikahan menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga tak lepas dari peran KUPI.

Menurut Faqihuddin ini memberi harapan yang baik sekali, karena ulama perempuan yang dulu tabu, kini makin sering disebut dan bahkan menjadi rujukan baik dalam pemberitaan maupun pengambilan kebijakan.

Ditegaskannya, KUPI II tidak ditujukan untuk membentuk ketua atau pemimpin, melainkan untuk mendiskusikan gagasan dalam kerja-kerja spiritual, intelektual, kultural, dan sosial. KUPI secara fisik tidak hanya digagas oleh perempuan tetapi juga oleh laki-laki. Frasa “ulama perempuan” dalam KUPI memiliki makna ulama yang memiliki dan menggunakan perspektif perempuan.

Dalam kesempatan yang sama, Nur Rofiah Bil Uzm sebagai anggota SC KUPI II, menyampaikan KUPI memiliki paradigma dan metodologi yang berbeda dalam merumuskan fatwa yang ia sebut dengan metode khas KUPI.

Nur Rofiah menambahkan, Ulama perempuan adalah ulama yang percaya keadilan Islam harus sampai pada perempuan. Dan prinsip inilah yang menjadi landasan advokasi perempuan dalam Islam. Semua nilai kebaikan/kemaslahatan Islam juga berlaku untuk perempuan. Sehingga tidak boleh ada kedzaliman bagi salah satu pihak.

Selama puluhan tahun ruang fatwa didominasi oleh para laki-laki yang tidak pernah merasakan apa yang dialami perempuan. Perempuan sering disebut sebagai sumber fitnah sehingga hidupnya harus diatur sedemikian rupa. Paradigma ini membuat perempuan diperlakukan tak adil, untuk itu perempuan perlu mengambil bagian di ruang tersebut.

“Perempuan harus terlibat penuh dan dilibatkan dalam seluruh proses pengambilan kebijakan,” ujarnya.

KUPI, lanjut Rofiah, ingin mengubah paradigma itu. Perspektif perempuan menjadi basis rujukan pengetahuan, aktivisme, dan fatwa KUPI pengetahuan dan kerja-kerja praktis KUPI. Bahwa semua manusia baik perempuan maupun laki-laki adalah makhluk berakal yang bisa menjadi sumber fitnah sekaligus sumber anugerah, tergantung perbuatannya.

Dalam kongres KUPI, perempuan didudukkan sebagai subjek penuh yang suaranya teramat penting dalam fatwa keagamaan. Standar laki-laki tak bisa menjadi standar tunggal, harus ada intervensi agar perempuan tetap bisa menjalankan fungsi reproduksinya.

Di dunia kerja dan pemerintahan, Rofiah menegaskan, perempuan harus diperlakukan sama dengan pengalaman yang sama dan diperlakukan berbeda dengan pengalaman berbeda. Dalam hal pekerjaan misalnya, perempuan dan laki-laki harus diperlakukan sama karena keduanya bisa menjadi tulang punggung keluarga. Namun perempuan harus diperlakukan berbeda karena fungsi reproduksinya.  

“Misalnya dalam hal cuti kerja karena hamil. Karena perempuan memiliki pengalaman biologis yang tidak dirasakan laki-laki. Tapi, perlakuan berbeda ini bukan untuk mendiskriminasi, tetapi agar kemaslahatan Islam juga dirasakan perempuan. Jangan sampai kehamilan, menstruasi, jadi sumber stigma ataupun diskriminasi,” tegasnya.

Dosen Universitas Bhayangkara, Ida Budiati yang diundang sebagai pakar menyampaikan tentang urgensi perspektif konstitusi dan pengalaman korban dalam pandangan keagamaan KUPI. Seperti diketahui, dalam merumuskan fatwa, KUPI mendasarkan tak hanya mendasarkan pada Al Quran, hadis, dan tafsir tetapi juga pada konstitusi.

“Konstitusi menjamin hak hidup dan kebebasan berekspresi. Memahami konstitusi bisa dilakukan dengan menempatkan Konstitusi sebagai kontrak sosial tertinggi dalam sebuah negara sehingga prinsip-prinsipnya harus tercermin dalam aturan yang berada di bawahnya,” terangnya.

Lima Poin Penting di KUPI II

Paradigma dan metodologi fatwa khas KUPI menjadi salah satu dari lima poin penting yang akan dibahas pada KUPI II. Poin lainnya adalah peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstrimisme; pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.

Ketua SC KUPI II Nyai Masruchah mengatakan, isu ekstrimisme dan radikalisme berdampak besar terhadap peran kepemimpinan perempuan, sebab isu-isu ekstremisme sering kali mendomestifikasi dan mengecilkan peran perempuan.

“Perempuan dianggap tidak boleh keluar rumah sehingga mempersempit langkah perempuan sebab beranggapan bahwa perempuan dan laki-laki tidak memiliki hak yang sama. Padahal dalam konteks Islam, konstitusi, dan kehidupan bernegara dijelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama,” tegasnya. 

Untuk itu, perempuan Indonesia harus hati-hati dengan pandangan-pandangan konservatif yang ekstrem dan tidak Islam rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, KUPI aktif menyosialisasikan Islam rahmatan lil alamin yang memandang perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama.

Ia menambahkan, kehadiran ulama-ulama KUPI selain menjadi benteng untuk mencegah tersebarnya paham ekstremisme dan terorisme di masyarakat, juga berperan sebagai pendamping membantu pemulihan korban kasus-kasus terorisme. 

Kepemimpinan perempuan mencakup isu kepemimpinan dan peran perempuan dalam menanamkan pendidikan keislaman, mengokohkan nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Kepemimpinan ulama perempuan di ranah akar rumput, kepemimpinan ulama perempuan di pesantren, dan lembaga atau organisasi keagamaan. Serta eksistensi dan otoritas kepemimpinan ulama perempuan dalam kerja-kerja advokasi di hadapan negara, untuk berbagai isu yang melibatkan perempuan dan anak-anak, seperti penguatan ekonomi komunitas, perlindungan buruh migran, difabel, lansia, dan kelompok-kelompok rentan yang lain.

Sedangkan perlindungan dan pemeliharaan alam mencakup pengalaman jaringan KUPI dalam kerja-kerja pelestarian alam, argumentasi teologis untuk kerja-kerja keberlanjutan alam, praktik baik penanganan bencana oleh komunitas lintas agama atau kepercayaan dan kearifan lokal. Serta keterlibatan komunitas pesantren dan lembaga pendidikan untuk keberlanjutan alam, pengelolaan sampah demi keberlanjutan alam, dan isu-isu lain yang relevan.

KUPI II akan didahului dengan Konferensi Internasional yang akan dilaksanakan pada 23 November 2022 di UIN Walisongo. Semarang. Sekitar 500 ulama dari 29 negara akan hadir di Konferensi tersebut. Hingga saat ini tercatat ada 67 peserta yang dari luar negeri yang telah mendaftar. Mereka berasal dari Singapura, India, Pakistan, Amerika, Australia, Kenya, Pakistan, Inggris, Filipina, Bangladesh, Malaysia, Hungaria, Gambia, Slovakia, Thailand, Belanda, Sri Lanka, Jerman, Tunisia, Ivory Coast (Pantai Gading), Burundi, Prancis, Afrika Selatan, Finlandia, Nigeria, Afghanistan, Libia dan Belanda.

Konferensi ini akan menyoroti masalah yang dihadapi perempuan muslim di Afghanistan dan Iran, dan diharapkan ada pernyataan sikap bersama.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!