Merry Utami, Tutik dan Mary Jane, Para Perempuan Yang Menunggu Hukuman Mati

Seluruh dunia memperingati Hari Menentang Hukuman Mati setiap 10 Oktober. Ada 3 perempuan yang sampai saat ini menunggu hukuman mati: Merry Utami, Tutik dan Mary Jane.

Sudah 21 tahun Merry Utami menghabiskan waktunya di penjara. Lima tahun di antaranya dihabiskan untuk menunggu kapan eksekusi mati dilakukan. 

Eksekusi mati untuk Merry Utami ini pada 2016 sempat ditunda berkat protes yang diajukan organisasi masyarakat sipil. 

Saat ini Merry sedang menunggu keputusan Mahkamah Agung/MA terkait Peninjauan Kasasi (PK) ke-2 yang diajukannya sejak beberapa tahun lalu.

Merry Utami adalah salah satu terpidana mati di Indonesia. Ia merupakan buruh migran yang menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sindikat peredaran gelap narkotika.

Merry saat ini berusia 48 tahun, ia menjadi korban bujuk rayu anggota sindikat pengedar narkotika. Ia dijanjikan untuk dinikahi, namun ia malah dijadikan kurir (pembawa) narkotika untuk diselundupkan ke Indonesia sebelum akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Selain Merry Utami, eksploitasi buruh migran untuk tujuan peredaran gelap narkotika juga dialami oleh Tutik, seorang warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi terpidana mati di China sejak 2011.

Selain itu juga ada Mary Jane Veloso (MJV) warga negara Filipina yang ditangkap di bandara Yogyakarta pada April 2010 setelah kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin. Hingga pengadilan menjatuhkan vonis mati. MJV menyatakan bahwa narkoba tersebut dijahitkan di dalam kopernya tanpa sepengetahuan dirinya. Selama di persidangan, Mary Jane berkukuh menyatakan tidak bersalah.

Merry Utami, Mary Jane Veloso, dan Tutik adalah contoh perempuan yang merupakan korban Human Trafficking yang dieksploitasi dan ditipu daya sebagai kurir narkoba yang harus diselamatkan.

Kasus serupa yang dialami oleh ketiga perempuan buruh migran ini potensial dialami oleh banyak buruh migran lain, baik buruh migran Indonesia maupun buruh migran dari luar negeri yang bekerja di Indonesia. Mereka menjadi korban bujuk rayu sindikat narkoba, lalu ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

“Hukuman mati yang sedianya ditujukan pada pengedar narkotika, justru berpotensi menyasar orang yang lemah dan tidak bersalah,” ujar Tiasri Wiandani, komisioner Komnas Perempuan saat berbicara di sela acara pernyataan sikap bersama Jaringan Anti Hukuman Mati (JATI) bertepatan dengan Hari Anti Hukuman Mati Senin (10/10/2022)

Dalam kesempatan itu, JATI yang terdiri dari 43 organisasi masyarakat sipil dan 83 perorangan dan pakar hukum mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang masih mempertahankan hukuman mati. Penghapusan hukuman mati yang telah dipraktikkan di lebih dua pertiga negara di dunia, ternyata tidak mampu memberikan alasan dan dorongan yang cukup bagi Pemerintah Indonesia untuk menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional.

Meski telah dilakukan moratorium hukuman mati sejak 2016, hingga saat ini masih ditemukan ada lebih dari 10 undang-undang yang menerapkan pidana mati dan yang paling sering digunakan adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahkan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 4 Juli 2022 yang kini sedang dibahas di DPR, Pemerintah masih mempertahankan hukuman mati.

“Padahal sebagai upaya dekolonisasi, seharusnya hukuman mati harus dihapuskan dalam hukum nasional di Indonesia,” ujar Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar dalam kesempatan yang sama.

Rivanlee menambahkan memang ada kemajuan sikap dari pemerintah terkait hukuman mati ini, yakni adanya moratorium eksekusi hukuman mati sejak 2016 lalu. Namun sayangnya, sikap ini tidak dibarengi dengan penghapusan hukuman mati.

Hukuman mati masih sering diterapkan, bahkan dalam situasi pandemi yang terjadi sejak awal Maret 2020. Di Indonesia, KontraS mencatat ada dua vonis hukuman mati dengan total 4 terdakwa sepanjang tahun 2022 ini.

Sementara pemantauan yang dilakukan Reprieve, sebuah organisasi hak asasi manusia yang bermarkas di Inggris, sepanjang Maret 2020-2021 terdapat 145 terdakwa yang divonis mati, 119 diantaranya berasal dari kasus narkotika dan diantaranya terdapat 2 terdakwa perempuan.

Realitas di atas tidak terlepas dari glorifikasi perang narkotika (war on drugs) yang sejatinya tidak menjawab persoalan, alih-alih memberikan efek jera justru angka kejahatan narkotika tidak lantas reda.

Alasan, bahwa narkotika merusak generasi bangsa sehingga pengedarnya harus dijatuhi hukuman berat yakni vonis dinilai hanya kamuflase untuk melanggengkan praktik hukuman mati dengan tujuan balas dendam. Banyak hukuman mati yang dijatuhkan, tidak berbasis pada data dan bukti yang kuat.

“Kebijakan mempertahankan hukuman mati yang bias ini pada akhirnya membuat hakim tidak mampu menilai peran maupun kedudukan MJV dan MU secara objektif,” ujar Baby dari Women Voice.

Kasus serupa yang dialami oleh Mary Jane Veloso dan Merri Utami potensial dialami oleh banyak buruh migran yang lain, oleh karenanya pendekatan yang dilakukan sepatutnya mempertimbangkan kemungkinan mereka sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) untuk tujuan eksploitasi penyelundupan narkotika.

Sayangnya, kasus-kasus penyelundupan narkotika yang menjerat buruh migran masih didekati semata-mata dengan pendekatan kejahatan narkotika dan mengabaikan kondisi rentan dan dimensi pidana perdagangan orang di dalamnya.

Dalam kondisi demikian justru semakin tertutup pintu keadilan bagi mereka yang seharusnya mendapat perlindungan dari Negara seperti yang dialami oleh Mary Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU).

 “Mereka yang terjerat sindikat pengedar narkotika dan perdagangan orang untuk tujuan penyelundupan narkotika menjadi korban berkali-kali yang menempatkan mereka dalam mimpi buruk hukuman mati dan bayang-bayang eksekusi mati,” ujar Gabriel Goa dari PADMA Indonesia.

Selain itu, penerapan vonis hukuman mati di Indonesia kerap kali menihilkan prinsip fair trial atau peradilan yang adil, seperti prinsip kehati-hatian. Bahwa hakim berhak untuk memastikan pendampingan terhadap terdakwa berjalan dengan maksimal, bukan hanya sekadar memberikan putusan semata.

Di lapangan, KontraS menemukan sejumlah terpidana mati yang masuk dalam daftar tunggu eksekusi tidak didampingi penasehat hukum. Mereka hanya mendapat pendampingan spiritual.    

Sulitkan perlindungan bagi WNI

Sikap pemerintah Indonesia yang masih keukeuh menerapkan hukuman mati ini menghalangi diplomasi bagi perlindungan buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri. Apa yang dialami Tuti  merupakan fenomena gunung es. 

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, hingga Oktober 2021 jumlah WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri tercatat ada 206 orang dan 39 di antaranya adalah perempuan.

Mayoritas WNI terancam pidana mati itu adalah buruh migran Indonesia. Data tersebut seharusnya menjadi perhatian pemerintah terhadap buruh migran yang saat ini hak hidupnya terancam di luar negeri.

“Bagaimana Indonesia bisa melindungi WNI di luar negeri, jika di dalam negeri masih memberlakukan hukuman mati,” ujar Baby.

Untuk itu, dalam melakukan diplomasi perlindungan WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri, harus dibarengi dengan komitmen untuk menghapus hukuman mati di dalam negeri.

Dalam diskursus terbaru, praktik hukuman mati adalah tindakan penyiksaan atau kekerasan. Hal tersebut ditunjukkan dengan fenomena deret tunggu yang berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis yang luar biasa akibat penundaan yang berkepanjangan terhadap eksekusi mati yang diakumulasi dengan kondisi yang buruk di dalam fasilitas penahanan.

Hukuman mati merupakan bentuk penghukuman yang bertentangan hak paling dasar manusia, yaitu hak hidup sehingga penerapan hukuman mati melanggar hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.

“Hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 A UUD 1945 di mana hak hidup harus dijamin dan tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun. Hukuman mati adalah bentuk paling ekstrim kekerasan, terutama terhadap perempuan,” tegas Tiasri

Selain itu, tidak ada data yang menunjukan hukuman mati menghasilkan efek penjeraan dan berdampak  pada menurunnya kejahatan. Alasan ini yang selalu dijadikan pemerintah untuk pembenaran dalam mendukung hukuman mati. Alih-alih membunuh para korban kejahatan narkotika, pemerintah diminta untuk menghentikan kejahatan itu.  

Berdasarkan uraian di atas, JATI menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk segera menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional dan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran Indonesia dengan menyelamatkan mereka dari hukuman mati dan eksekusi mati.

Pemerintah juga diminta konsisten dalam implementasi Undang-undang Nomor 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan mensosialisasikannya kepada aparat penegak hukum. Sehingga dalam penanganan kasus buruh migran, terutama buruh migran perempuan yang terlibat dalam peredaran narkoba harus memperhatikan unsur-unsur TPPO sejak awal proses hukum dimulai.

“Pemerintah juga harus segera mengkaji kebijakan lain yang berkontradiksi dengan kebijakan TPPO, misalnya UU Narkotika dimana undang-undang ini banyak mengorbankan buruh migran berhadapan dengan hukuman mati,” ujar Direktur LBH Masyarakat, Afif Abdul Qoyim.

Pemerintah juga didesak untuk tidak mengirimkan buruh migran asal Indonesia ke negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!