Yuk, Cari Tahu Tentang Penyelesaian Kekerasan Seksual dengan Keadilan Restoratif: Apakah Ini Justru Rugikan Korban?

Kata keadilan restoratif atau restorative justice ini sering banget kita dengar akhir-akhir ini ya, terutama dalam kasus kekerasan seksual. Terakhir istilah ini banyak disebut dalam kasus pemerkosaan yang dialami seorang pegawai kementerian. Sebenarnya apa sih keadilan restoratif itu? Apakah penerapannya dalam kasus kekerasan seksual sudah tepat?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya: “Menanggapi kasus pemerkosaan yang dialami oleh salah satu pegawai Kementerian Koperasi dan UKM, kasus tersebut dihentikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polresta Bogor di tahun 2020 lalu dengan dalih melakukan mekanisme restorative justice. Bagaimana tanggapan pemerhati hukum perempuan dalam melihat konteks kasus ini?.” 

Jawab: Belum lama ini media Konde.co mengeluarkan artikel jurnalistik yang berjudul “Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku” dan membuat geger para pembaca, hingga situs Konde.co mengalami serangan DDoS. 

Berdasarkan hasil liputan Konde.co, korban berinisial N mengalami pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh 4 orang pegawai Kementerian Koperasi dan UKM pada saat kegiatan rapat di luar kantor yaitu di Bogor. Korban pada akhirnya melapor ke Polresta Bogor Kota dan melakukan visum di rumah sakit. Alat bukti lainnya seperti CCTV juga menjawab dari semua rangkaian peristiwa hingga 4 orang terduga pelaku ditangkap dan ditahan oleh pihak Kepolisian. Proses di kepolisian ini, membuat pihak keluarga korban untuk berdamai hingga menikah dengan salah satu pelaku. Ironisnya, pihak Kepolisian Bogor memfasilitasi pernikahan pelaku dengan korban, dan akhirnya kasus ditutup dengan SP3.

Surat Perintah Penghentian Penyidikan tersebut dikeluarkan dengan alasan Restorative Justice atau yang disebut dengan keadilan restoratif, karena korban didorong oleh pihak keluarga pelaku untuk menikah, sehingga ujung dari kasus ini kedua belah pihak telah berdamai. Namun, ada yang salah dari penerapan keadilan restoratif ini jika dipakai untuk kasus kekerasan seksual.

Sebelumnya narasi keadilan restoratif ini sempat viral atas pernyataan sikap Menko Polhukam, Mahfud MD yang keliru dalam mengontekskan pendekatan keadilan restoratif ini. Mahfud mengatakan bahwa, pendekatan keadilan restoratif dalam kasus perkosaan berarti membangun harmoni antara keluarga dan pemerkosa agar tidak timbul kegaduhan di masyarakat dan nama baik keluarga korban dapat terjaga. Pernyataan ini diprotes oleh masyarakat atas sikap Mahfud MD kala itu yang tidak berpihak kepada korban.

Sebenarnya, bagaimana konsep keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ini hadir? Keadilan restoratif bekerja karena adanya kritik dari konsep penghukum dengan cara pemidanaan lebih dipandang sebagai bentuk balas dendam, karena dianggap sudah tidak relevan maka bergeser menjadi sebuah sarana pemulihan yang mementingkan kondisi korban dan pelaku (Zulfa, 2011). 

Adanya keadilan restoratif ini, membangun sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk memulihkan keadilan bagi korban, pelaku, dan masyarakat. Keadilan restoratif merupakan upaya sarana nonpenal sebagai kritik terhadap sistem peradilan pidana yang lebih menekankan pada pembalasan dan mengabaikan kondisi korban untuk memenuhi hak-haknya (Mardjono, 2019). 

Semangat dari hadirnya Restorative Justice ini justru memberikan pelindungan bagi korban, selain melakukan pemidanaan terhadap pelaku. Penerapannya lebih kepada tindak pidana ringan, bukan pada kasus pemerkosaan yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang berat. 

Dilihat dari dasar penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Polresta Bogor, merujuk pada Surat Edaran Kapolri Nomor 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam penyelesaian Perkara Pidana. Dalam poin f, prinsip keadilan restoratif tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator. Sedangkan penyelesaian perkara salah satunya dalam bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban, dan penuntut umum. 

Jika diterapkan dalam kasus kekerasan seksual, dasar penyidikan dalam Surat Edaran Kapolri tersebut dinilai tidak tepat dan menimbulkan celah yang multitafsir untuk semua kasus. Penyidik juga harus mengedepankan perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual, dan membawa pelaku untuk dipersidangkan di pengadilan, hingga pelaku diberikan sanksi berdasarkan undang-undang. 

Langkah perdamaian antara korban dan pelaku dari dorongan berbagai pihak dinilai sangat berbahaya bagi keamanan korban di kemudian hari, seperti mengalami kekerasan dalam perkawinan baik secara fisik maupun psikis. 

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 10 ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang secara melawan hukum, memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perkawinan dengannya atau orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun atau pidana denda paling banyak Rp200 juta. 

Tidaklah mudah bagi seorang korban yang mengalami kekerasan seksual untuk melaporkan ke kepolisian. Korban khawatir tidak mendapatkan akses keadilan seperti kasusnya tidak ditangani dengan baik, tidak mengedepankan perspektif terhadap korban, hingga seperti yang dialami oleh korban yaitu kasus berhenti karena adanya dorongan dari pihak lain untuk berdamai dengan pelaku. Hal ini juga kritik dari sistem Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia yang tidak berpihak kepada korban. 

Terakhir, sulitnya untuk memiliki alat bukti yang sesuai KUHAP, karena kasus kekerasan seksual rata-rata terjadi di ruang privat sehingga keterangan korban semata tidaklah cukup dikatakan sebagai bukti permulaan yang cukup.

Keadilan restoratif yang tepat bagi korban kekerasan seksual adalah dengan cara memberikan ganti rugi baik secara materiel maupun imateriel dengan tujuan pemulihan terhadap korban. Bukan menyuruh korban dan pelaku untuk menikah, lantas kasus dihentikan.

Mona Ervita

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!