Anak dan Perempuan Korban Bencana Butuh Jaminan Aman Dari Kekerasan Seksual

Tak hanya nutrisi dan kebutuhan pokok yang tercukupi dengan layak, anak dan perempuan juga harus mendapatkan jaminan perlindungan atas potensi pelecehan serta kekerasan seksual di lokasi-lokasi bencana.

Bencana gempa baru saja melanda Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11) kemarin. Akibat bencana itu, ratusan jiwa meninggal dunia dan banyak lainnya mengalami luka-luka. 

Korban yang selamat, hingga kini banyak yang diungsikan atau menempati tenda-tenda sementara yang didirikan di sekitar rumah yang runtuh. Tak sedikit dari mereka adalah kalangan ibu dan anak. 

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati menekankan mesti adanya pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak-anak dan ibu korban bencana gempa di Cianjur. Terlebih bagi anak-anak sampai usia 2 tahun yang membutuhkan ASI, ibu menyusui, dan ibu hamil. 

“Sehingga gizinya terpenuhi,” ujar Rita Pranawati ketika dihubungi Konde.co, Rabu (23/11). 

Dia melanjutkan, anak-anak usia 2-6 tahun juga harus mendapat perhatian ekstra. Mereka membutuhkan kebutuhan seperti makanan yang juga berbeda. Begitu pula, anak-anak usia anak selanjutnya juga harus detail dicukupi kebutuhannya. Tidak boleh sembarangan. 

“Seringkali bantuan itu kan bentuknya mie instan, yang tidak kompatibel ya sebenarnya untuk anak-anak, jadi kebutuhan makanan itu harus dilengkapi, sekalipun juga bantuan itu harus melihat pakaian anak itu beragam usia, pampers, juga vitamin penguat,” kata dia. 

Bagi para korban bencana gempa Cianjur ini, Rita mengatakan begitu penting selain mencukupi kebutuhan fisik dan materilnya, adanya trauma healing juga harus dilakukan. Utamanya bagi anak-anak dan ibu yang menjadi korban bahkan banyak yang kehilangan anaknya. 

“Butuh trauma healing, kemudian juga memulihkan fungsi-fungsi sosial mereka,” katanya. 

Senada, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah yang dihubungi Konde.co juga menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan khusus bagi perempuan dan anak. Misalnya, kebutuhan maternitas, makanan dan trauma healing.  

“Terkait dengan korban dari kelompok rentan khususnya perempuan dan anak anak, kami merekomendasikan penanganan dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia perempuan,” kata Siti Aminah kepada Konde.co, Rabu (23/11).  

Dia juga menegaskan bahwa perempuan di area bencana Cianjur ini juga harus dijamin keamanannya. Termasuk adanya upaya pencegahan dan penanganan di tempat pengungsian agar bebas dari kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Di tempat pengungsian itu, menurut Aminah juga harus terjamin ketersediaan kamar mandi yang layak dan terpisah serta pembagian ruang tidur di pengungsian. 

“(Perlunya—red) membangun partisipasi pengungsi khususnya perempuan untuk membangun kelompok-kelompok untuk saling mengawasi dan mendukung, tidak hanya dalam konteks pemberian bantuan, tapi juga kekerasan seksual,” katanya. 

Dikutip dari situs resmi Cari Layanan, kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) di situasi bencana memang mengalami tren peningkatan. Menurut True (2013), terdapat peningkatan 40% kekerasan dalam hubungan intim (intimate partner violence) setelah gempa Christchurch, Selandia Baru, yang terjadi pada 2011. 

Di Indonesia misalnya, peningkatan KBGS sebesar 2 kali lipat terjadi di Sulawesi Tengah 

Karena dampak bencana alam tahun 2018 yang belum pulih. Situasi kacau dan tidak aman yang semakin membuat buruknya penanganan penyintas kekerasan seksual. 

KBGS dalam masa darurat seperti bencana bisa diminimalisasi dengan beberapa upaya langsung di lapangan. Tak hanya aparat keamanan, komunitas atau masyarakat juga perlu dilibatkan aktif dalam upaya pencegahan KBGS yaitu melalui sosialisasi untuk mengakhiri nilai bias gender serta peningkatan kesadaran. 

Peningkatan keamanan di pengungsian juga harus dilakukan untuk meningkatkan rasa aman perempuan dan anak. Misalnya saja adanya patroli serta penerangan yang cukup. Proses penanganan dan rehabilitasi penyintas yang responsif gender juga harus dilakukan seperti adanya ruang aman perempuan dan anak hingga pemulihan bagi penyintas.  

Lidwina Inge Nurtjahyo di The Conversation menuliskan soal tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban bencana alam karena disebabkan beberapa hal.

Pertama, adanya konstruksi nilai dalam masyarakat yang mengharapkan perempuan untuk lebih dahulu menyelamatkan anggota keluarganya.

Kedua, perempuan sering tidak dapat hadir dalam latihan penyelamatan diri dari kondisi bencana alam. Hal itu terjadi karena konstruksi nilai budaya di mana perempuan fokus pada urusan domestik sehingga jarang bisa keluar rumah untuk mengikuti pelatihan.

Ketiga, ketidakhadiran perempuan dalam pendidikan bencana membuat pengetahuan mereka terkait pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi minim. Pengetahuan yang terbatas soal teknik penyelamatan diri membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban bencana alam.

Keempat, ada faktor memudarnya pengetahuan lokal dalam masyarakat tentang pengenalan gejala awal bencana alam. Dan perempuan sebagai kelompok dengan akses yang minim terhadap penyebaran pengetahuan menjadi rentan.

Pengetahuan lokal yang dimaksud adalah pengetahuan dari leluhur untuk melihat perubahan alam yang bisa menandakan terjadinya bencana alam. Misalnya di Papua Nugini, masyarakat belajar ‘membaca’ awan. Apabila awan itu mengalami perubahan tekstur, warna, arah, kecepatan berpindah, maka hal tersebut dapat dibaca sebagai potensi badai.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah memberikan pendidikan kewaspadaan terhadap bencana. Tentu saja yang mudah diakses oleh perempuan.

Pentingnya Rumah Tahan Gempa dan Simulasi Bencana

Data sementara yang berhasil dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Selasa (22/11) pukul 17.00 WIB, korban jiwa akibat gempa Cianjur mencapai 268 korban yang meninggal dunia. Saat ini sudah teridentifikasi 122 jenazah dan masih ada korban hilang sejumlah 151 orang. 

Sementara untuk korban luka sekarang mencapai 1.083 orang. Adapun jumlah pengungsi mencapai lebih dari 58 ribu orang. Terkait infrastruktur total ada lebih dari 22 ribu rumah yang rusak akibat guncangan gempa.

Terkait banyaknya perbedaan data yang berkembang, Kepala BNPB, Suharyanto mengatakan, pendataan masih terus dilakukan dan Posko telah didirikan, sehingga semua informasi tentang penanganan gempa Cianjur ini, secara resmi adalah yang dikeluarkan dari posko yang akan diupdate setiap sorenya di Kantor Bupati Cianjur.

“Bantuan kepada masyarakat terdampak baik yang datang dari pemerintah pusat, kementerian atau lembaga dan unsur swasta, semua akan dipusatkan di posko dan pendistribusiannya akan melalui posko,” ujar Kepala BNPB, Suharyanto dalam keterangan resmi yang diterima Konde.co, Selasa (22/11). 

Selain dapur umum yang sudah mulai dibentuk, pihak BNPB kini juga telah menangani para korban di rumah sakit Kabupaten Cianjur dan sebagian lainnya di tenda-tenda lapangan telah digelar di sekitar rumah sakit untuk dijadikan rumah sakit darurat. 

“Sebagian dirujuk ke rumah sakit di luar Kabupaten Cianjur, 100 pasien telah dikirim ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung,” katanya. 

Kawasan rawan gempa seperti Cianjur Jawa Barat, mendesak untuk adanya kebijakan rumah tahan gempa. Sebab jika ditelisik, gempa Cianjur yang berskala sekitar 5 magnitudo sepanjang sejarah selalu bisa berdampak sangat merusak. 

Menurut BMKG, gempa di area Cianjur juga merupakan gempa rutin 20 tahunan. Makanya,  sosialisasi untuk upaya simulasi perlindungan diri terhadap bencana alam seperti gempa yang sering terjadi itu pun tak bisa diabaikan. 

Usai kunjungan ke Cianjur itu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan jajarannya dalam upaya memprioritaskan pembangunan rumah dan infrastruktur tahan gempa di Kabupaten Cianjur pasca gempa 5,6 magnitudo. 

“Paling penting adalah pembangunan rumah-rumah yang terkena gempa bumi ini diwajibkan untuk memakai standar-standar bangunan yang anti gempa oleh Menteri PUPR,” ujar Jokowi dikutip dari laman resmi BNPB, Rabu (23/11). 

Jokowi lantas menyampaikan, para korban gempa Cianjur nantinya akan mendapatkan bantuan pemerintah yang rumahnya rusak akibat gempa. Nilainya mulai dari Rp 10 juta hingga Rp 50 juta. 

“Nanti dibantu Rp 50 juta yang (kerusakannya) berat, yang sedang Rp 25 juta, yang ringan Rp 10 juta,” kata dia. 

Kepala BNPB Suharyanto menambahkan, upaya penanganan korban bencana begitu tahap tanggap darurat selesai akan langsung masuk ke tahap rehabilitasi. Selanjutnya, rekonsiliasi. Setelah itulah baru membangun rumah-rumah masyarakat termasuk infrastruktur lainnya.

“Sarana-sarana lain seperti pendidikan, masjid dan madrasah yang rusak, akan dibantu oleh kementerian terkait,” lanjutnya. 

Guna mempercepat penanganan bencana itu, BNPB diketahui telah menempatkan satu helikopter dan dana siap pakai sebesar Rp 1,5 miliar serta bantuan logistik senilai Rp 500 juta. 

“Untuk desa terisolir selain membuka jalan dari darat, juga disiapkan satu heli untuk distribusi logistik,” pungkasnya. 

Ilustrasi/gambar: freepik.com

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!