Cuma Jadi Pemanis: 5 Stereotip Negatif Pada Perempuan Penggemar Piala Dunia

Para perempuan penggemar sepak bola dan Piala Dunia seringkali dapat stereotip negatif: sebagai pemanis, dianggap tidak serius jadi penggemar bola, emosional dan baperan. Mau jadi penggemar bola saja sulitnya minta ampun.

Piala Dunia 2022 yang sudah dimulai sejak 20 November 2022 kemarin menjadi ajang yang berhasil mengajak antusiasme penonton dari berbagai belahan dunia.

Para penggemar sepakbola pun berbondong-bondong mendatangi stadion pertandingan ataupun berlangganan TV kabel untuk nonton bareng permainan. Tak terkecuali para penggemar perempuan yang jumlahnya tak bisa dikatakan juga sedikit. 

Pada tahun 2014, jumlah penggemar perempuan di sepak bola meningkat sampai 40% pemirsa di TV untuk Piala Dunia.

Namun sayangnya, masih banyak stereotip yang dilekatkan terhadap para perempuan penggemar sepak bola termasuk di Piala Dunia. 

Konde.co merangkum 5 stereotip yang dilekatkan pada perempuan penggemar sepak bola dan Piala Dunia berikut ini: 

  1. Perempuan Dianggap Gak Serius Jadi Penggemar

Sebuah riset yang diterbitkan dur.ac.uk pada 2017 menyebut, perempuan harus membuktikan bahwa mereka adalah penggemar olahraga yang serius, termasuk sepak bola. Perempuan seringkali dikatakan tidak serius, tidak berkomitmen dibandingkan penggemar laki-laki dalam menggemari sepak bola. 

Dr Stacey Pope sebagai peneliti dari Associate Professor di School of Applied Social Sciences, mengungkapkan dalam penelitiannya, bahwa perempuan tidak dianggap setara dengan laki-laki dalam hal menjadi pendukung. Para perempuan dalam penelitiannya bilang, bahwa mereka harus secara rutin “membuktikan” status mereka sebagai penggemar yang “nyata”. Biasanya kepada pendukung laki-laki. 

“Stereotip umum penggemar olahraga perempuan termasuk bahwa mereka dianggap kurang pengetahuan olahraganya, perempuan hanya dianggap hanya terpikat pada daya tarik seksual pemain bintang laki-laki dan tidak bergairah atau berkomitmen seperti penggemar laki-laki,” ujar Stacey. 

  1. Cuma Jadi “Pemanis”

Penggemar perempuan dalam sepakbola dan piala dunia disebut sebagai ‘honey shot’. Ini merujuk pada penyorotan perempuan sebagai “pemanis”. Entah dalam semarak pertandingan ataupun pemberitaan hingga sosial media.  

Stacey melanjutkan, stigma itu semakin kuat dengan adanya pemberitaan-pemberitaan media yang justru mendiskreditkan perempuan penggemar bola. Itu bisa dilihat dari potret-potret yang diambil biasanya hanya objektifikasi dari penampilan fisik penggemar perempuan. Seperti, sorotan pada perempuan yang “cantik” dan langsing, dianggap seksi dengan pakaian terbuka, berambut panjang dan lainnya. 

Hal ini jelas, perempuan penggemar dalam framing media massa atau media sosial seringkali ditampilkan dengan male gaze atau sebatas sudut pandang laki-laki yang dianggap menarik secara seksual.

“Liputan media juga bisa mewakili perempuan dengan cara yang lebih rendah, misalnya pencarian sepintas di internet untuk ‘penggemar perempuan’ itu menampilkan banyak gambar seksual, tidak banyak membantu menentang stereotip terhadap perempuan sebagai penggemar olahraga,” katanya.  

The Conversation juga pernah menuliskan, saat mengetikkan kata-kata “world cup (piala dunia)” dan “women fans (penggemar perempuan)” di laman pencarian Google, maka akan muncul berbagai gambar perempuan di seluruh dunia dengan karakteristik sejenis: perempuan berbadan langsing, rambut panjang, celana atau baju pendek, seragam sepak bola yang kecil, terbungkus warna bendera dan warga negara mereka. 

Riset pada konten online yang menampilkan perempuan dalam dari Piala Dunia tahun 2014 di Brasil juga mengkonfirmasi bahwa “keseksian” mendominasi. Penggemar perempuan muda dan langsing di tribun, menjadi daya tarik yang dikombinasikan sebagai objektifikasi seksual dengan kebanggaan nasional. 

  1. Jadi Objek Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Dunia persepakbolaan dan piala dunia yang masih begitu maskulin, menimbulkan satu dampak yang tak bisa disepelekan. Salah satunya, anggapan bahwa perempuan itu bisa jadi objek pelecehan dan kekerasan seksual. 

Ini jelas sebagai stereotip patriarki yang menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sehingga, laki-laki bisa melakukan kuasa terhadap mereka termasuk melakukan pelecehan dan kekerasan. 

The Athletic pada Piala Dunia tahun 2022 ini menuliskan catatan bahwa banyak sekali perempuan yang jadi korban kekerasan seksual di negara tersebut. Piala Dunia tahun ini disebut tak ramah bagi penggemar perempuan. Hal ini dikatakan oleh peneliti di Human Right Watch (HRW), Rothna Begum. 

“Pada setiap acara olahraga besar, risiko kekerasan seksual meningkat pesat,” ujar Begum. 

Mirisnya lagi, Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, justru menerapkan aturan yang bisa berdampak merugikan terhadap penggemar perempuan. Sebab mereka yang rentan mendapat pelecehan dan kekerasan seksual itu, bisa saja dikriminalisasi oleh hukum setempat yang berlaku. 

“Di Qatar perempuan yang mendapat kekerasan seksual, baik oleh pasangan, kolega atau orang asing, mereka dapat dituntut melakukan hubungan seks di luar nikah,” imbuhnya. 

Itulah kenapa, perempuan korban kekerasan seksual banyak yang akhirnya memilih bungkam. Daripada mereka harus menjalani proses hukum yang tidak adil bagi perempuan tersebut. 

  1. Dianggap Cengeng dan Baperan

Di sebuah pemberitaan nasional, perempuan penggemar sepakbola itu dianggap cengeng dan baperan. Dalam narasinya perempuan dianggap sebagai sosok yang yang “dikit-dikit pakai hati.” Maka ketika pemain atau klub yang diidolakannya kalah, dia bisa emosional dan berlebihan. 

Ini dianggap berbeda dengan karakter penggemar bola laki-laki, yang tetap santai aja. Meskipun klubnya kalah atau dihina. Mereka gak akan ngambek atau ngamuk habis-habisan. 

Jelas sekali, stereotip perempuan yang emosional ketika jadi penggemar sepakbola seperti ini tak mendasar. Ini sama halnya dengan stigmatisasi perempuan yang lebih menggunakan emosi dibandingkan logika. Kebencian terhadap perempuan seperti ini bisa dikatakan sebagai misoginisme. 

  1. Gak Pantas Begadang dan Keluar Malam

Tak sedikit pertandingan sepakbola yang mengharuskan penggemarnya untuk begadang atau nonton pertandingan sampai larut malam. Namun di masyarakat patriarki yang mengekang perempuan, hal tersebut bisa jadi stereotip yang menimpa para penggemar perempuan. 

Perempuan yang begadang nonton bola, dianggap bisa terganggu kesehatannya. Situasi ini, ada yang menghubung-hubungkannya dengan gangguan reproduksi berupa ketidaksuburan. Di tengah masyarakat patriarki yang mengekspektasikan perempuan untuk “subur” demi meneruskan keturunan, ini jadi masalah. 

Belum lagi, stereotip perempuan yang sering pulang larut malam dan keluar malam, juga dianggap sebagai perempuan “nakal” dan tidak baik-baik. Makanya, seringkali disebut bahwa perempuan tak pantas keluar rumah hingga malam atau larut.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!