Konde.co menyajikan Edisi Khusus Feminisme yang bisa kamu baca setiap Senin, selama bulan November 2022 sampai Januari 2023. Edisi khusus ini berisi teori sekaligus perjuangan feminisme. Edisi ini merupakan bagian dari Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2022
Menempatkan kapitalisme sebagai asal mula eksploitasi perempuan adalah pokok perjuangan yang dilakukan para feminis Marxis, karena feminis Marxis meyakini jika pembebasan perempuan hanya dapat dicapai dengan menanggalkan sistem kapitalisme.
Feminisme Marxis berkonsentrasi pada aspek ekonomi dari penindasan perempuan dan menganjurkan perbaikan yang sebagian besar bersumber pada prinsip-prinsip Marxisme.
Feminisme Marxis menempatkan penindasan terhadap perempuan dalam konteks analisis Marxis tentang penindasan kelas pekerja. Untuk itu opresi terhadap perempuan bukan dipandang sebagai hasil dari perbuatan sengaja yang dilakukan seorang individu, sebaliknya ia merupakan sesuatu yang sistemik dan ada dimana-mana, produk dari struktur politik, sosial dan ekonomi tempat individu itu berada.
Feminisme Marxis kemudian memperluas analisis Marxis tradisional dan menerapkannya pada pekerjaan rumah tangga tak berbayar dan juga pada hubungan seksual.
Feminisme Marxis sering dianggap sinonim dengan feminisme sosialis. Dalam artikel ini, aliran pemikiran Marxisme dan Sosialisme akan dibahas secara terpisah.
Konteks Kemunculan
Feminisme Marxis muncul sebagai respons terhadap feminisme liberal. Menurut mereka emansipasi hukum tidak cukup untuk “membebaskan” perempuan karena tidak mengarah pada penghapusan patriarki dalam hubungan sosial. Persamaan hak juga tidak cukup untuk mengatasi ketimpangan ekonomi. Feminis Marxis dan sosialis berpendapat bahwa tidak mungkin bagi setiap orang, terutama perempuan, untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam masyarakat yang berdasarkan kelas.
Feminisme Marxis/sosialis sangat populer di tahun 1960-an dan 1970-an, ketika ide-ide Karl Marx banyak bergaung meskipun asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-19.
Eleanor Marx, putri Karl Marx, adalah salah satu pelopor feminisme Marxis di Inggris pada abad ke-19. Terdapat juga sejumlah nama lain seperti Alexandra Kollontaï di Rusia, Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg di Jerman serta Louise Michel di Prancis.
Namun di kalangan Marxis pada saat itu, feminisme dianggap sebagai gerakan borjuis dan aktivis hak-hak perempuan tidak serta-merta mengaku sebagai feminis. Ketika itu juga muncul kekhawatiran dari kalangan laki-laki komunis bahwa perempuan akan menjauh dari perjuangan kelas sosial demi perjuangan gender, dan bahwa feminisme akan membelah laki-laki dan perempuan dari kelas yang sama.
Aktivis Marxis Rusia Angelica Balabanova merangkum pemikiran ini dengan menuliskan, “Kami percaya bahwa perjuangan emansipasi perempuan hanyalah salah satu aspek dari perjuangan emansipasi kemanusiaan. Kami ingin membuat perempuan–terutama perempuan pekerja– memahami bahwa mereka tidak harus berperang melawan laki-laki, tetapi bersama laki-laki melawan musuh bersama: masyarakat kapitalis.”
Mengapa Perempuan Teropresi Sebagai Perempuan
Meskipun teori Marxis tidak memberi perhatian besar pada opresi terhadap perempuan, tetapi Friedrich Engels kemudian menawarkan penjelasan mengapa perempuan teropresi sebagai perempuan.
Engels berargumen bahwa masyarakat awal merupakan masyarakat matrilineal dengan garis hak waris dan keturunan ditelusuri dari garis ibu. Ia juga berspekulasi bahwa masyarakat ini sekaligus matriarkal, dengan perempuan mempunyai kekuatan ekonomi, sosial dan politik.
Posisi rumah tangga yang saat itu menjadi pusat produksi primitif mengalami pergeseran ketika domestikasi binatang dan pembiakan ternak menjadi sumber kekayaan baru bagi masyarakat.
Laki-lakilah yang kemudian mempunyai kendali atas ternak (tetapi Engels tidak menjelaskan begaimana dan mengapa hal ini terjadi). Kondisi ini melahirkan konsep kepemilikan pribadi yang pada akhirnya menggeser posisi perempuan dalam tatanan masyarakat. Singkatnya laki-laki memiliki sesuatu yang lebih bernilai daripada perempuan. Ia kemudian menginginkan anak-anaknya sendiri yang akan memperoleh hak miliknya. Laki-laki pun mendorong perubahan masyarakat dari matrilineal menjadi patrilineal.
Munculnya kepemilikan pribadi dan perubahan ke garis patrilineal juga menjelaskan transisi ke arah perkawinan monogami. Ini menjadi cara untuk memastikan garis keturunan yang jelas. Dengan begitu laki-laki merasa yakin kepemilikan pribadi sang ayah benar-benar diwariskan kepada anaknya.
Dapat dikatakan bahwa perkawinan monogami berkaitan dengan kepemilikan pribadi dan tidak ada hubungannya dengan cinta. Untuk itu Engels berargumen jika perempuan akan di emansipasi dari laki-laki, perempuan harus menjadi mandiri dan tidak bergantung pada laki-laki. Engels berpendapat syarat bagi emansipasi perempuan adalah masuknya kembali seluruh perempuan ke dalam industri publik dan sosialisasi pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak kepada semua orang
Gagasan-Gagasan Feminisme Marxis
Sejumlah gagasan dari feminis Marxis antaralain, berfokus pada isu terkait pekerjaan perempuan. Mereka menyoroti pekerjaan rumah tangga yang dipandang remeh dan upah perempuan yang rendah daripada laki-laki.
Margaret Benston berargumen bahwa sosialisasi pekerjaan rumah tangga merupakan kunci bagi pembebasan perempuan. Menurutnya jika seorang perempuan tidak dibebaskan dari tugas domestiknya yang berat, termasuk pengasuhan anak, masuknya perempuan ke pasar tenaga kerja justru membuatnya menjauh dari pembebasan.
Memberikan peluang bagi seorang perempuan untuk masuk ke sektor publik tanpa secara bersamaan menyosialisasikan pekerjaan memasak, membersihkan rumah dan mengasuh anak, sama artinya dengan menjadikan kondisi teropresinya perempuan akan lebih buruk.
Menurut Benston, pentingnya sosialisasi pekerjaan rumah tangga bukanlah karena hal itu akan membebaskan perempuan dari pekerjaan rumah tangga, melainkan karena akan memungkinkan setiap orang untuk menyadari pentingnya pekerjaan itu secara sosial. Ketika setiap orang menyadari sulitnya pekerjaan rumah tangga, masyarakat tidak akan lagi mempunyai dasar bagi opresi terhadap perempuan.
Berbeda dengan Benston, Maria Dalla Costa dan Selma James menyampaikan klaim Marxis yang tidak ortodoks. Menurut mereka pekerjaan rumah tangga perempuan adalah produktif dalam makna Marxis sebagai sesuatu “yang menciptakan nilai surplus.” Pekerjaan perempuan adalah kondisi yang penting bagi semua jenis pekerjaan lain yang kemudian diekstrasi menjadi nilai surplus. Dengan menyediakan bagi pekerja masa kini bukan saja makanan dan pakaian, melainkan juga kenyamanan emosional dan domestik, maka perempuan menjaga agar roda mesin kapitalis terus bekerja.
Menurut mereka perempuan harus menuntut upah atas pekerjaan rumah tangga untuk mengakhiri ketimpangan–antara pekerjaan di dalam industri publik yang berbayar dan diakui dengan pekerjaan di rumah tangga yang tak berbayar dan tak diakui–sekaligus sebagai pembebasan perempuan. Dalam pandangan Dalla Costa dan James, negara (pemerintah dan majikan) harusnya membayar upah kepada ibu rumah tangga dan bukan laki-laki secara individu (suami, ayah, kekasih).
Upah atas pekerjaan rumah tangga tidak perlu berbentuk uang. Ia bisa diberikan dalam rupa pembayaran bagi kesejahteraan perempuan atas pekerjaan yang telah mereka lakukan di rumah atau dalam bentuk pengasuhan anak bagi ibu yang beban kerjanya berlebihan.
Gagasan Dalla Costa dan James ditentang oleh sejumlah feminis Marxis. Mereka berargumen bahwa membayar upah atas pekerjaan rumah tangga merupakan hal yang tidak mungkin dan bukanlah strategi pembebasan bagi perempuan. B
arbara Bergmann kemudian merangkumnya dalam tiga poin penting. Pertama, upah untuk pekerjaan rumah tangga akan menyebabkan perempuan tetap terisolasi di dalam rumahnya.
Kedua, hal ini akan berkontribusi kepada kecenderungan kapitalisme untuk mengomodifikasi segala sesuatu, termasuk hubungan suami istri dan ibu anak.
Ketiga, akan memberikan sedikit sekali insentif bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah. Akibatnya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin justru menguat.
Feminis Marxis juga menyoroti masuknya perempuan ke dalam industri publik tetapi tetap menempatkan perempuan domestik sebagai pekerjaan perempuan. Lebih jauh seperti halnya di dalam rumah tangga, pekerjaan ini juga tidak dihargai. Perempuan sering kali hanya menerima dua pertiga upah di sektor domestik dari yang diterima laki-laki dalam pekerjaan yang setara. Situasi ini membuat feminis Marxis aktif menyuarakan gerakan nilai setara (comparable worth).
Feminis Marxis melihat comparable worth sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan perempuan dan menghapuskan pemisahan jenis kelamin di tempat kerja.
Mereka beranggapan dengan melihat situasi dan kondisi perempuan dari sisi comparable worth, maka dapat ditunjukkan bahwa penilaian masyarakat atas pekerjaan “bernilai” sesungguhnya tidak jelas.