‘Kami Ingin Beribadah Dengan Aman dan Nyaman’: Cerita Transpuan Menjalankan Keyakinan dan Agamanya

Menjalankan ibadah bagi transpuan bukan perkara mudah. Ada hambatan yang selalu dihadapi terkait ekspresi gender mereka. Padahal transpuan juga berhak dan butuh ruang yang aman dan nyaman untuk beribadah kepada Tuhan yang diyakininya.

Di pinggiran kota Semarang, hidup seorang transpuan yang meyakini ibu ratu Kidul sebagai kekuatan femininnya. Ia juga merasa dengan menjadikan ibu ratu Kidul sebagai sumber doanya, ia lebih khusyuk menjalani hidup. 

Amara namanya, transpuan pemilik salon khusus rambut laki-laki ini terbilang spiritualis.

Kebiasaannya membeli kemenyan, mur, gaharu, dan kembang di pasar Bergota Semarang awalnya membuat saya bingung. Namun ternyata pembelian berbagai ubo rampe itu membuatnya bahagia. Itu lebih sebagai penyerahan diri, memberi makan makhluk-makhluk tak kasat mata dengan bunga adalah bentuk penghargaan baginya. Karena ia percaya tidak hanya dirinya sebagai manusia saja yang hidup di alam fana namun ada makhluk halus lain yang patut diberi makan agar dapat hidup berdampingan secara rukun. 

Amara juga aktif di pura dekat jalan Taman Sumbing Semarang. Ia mampu mengomunikasikan diri secara baik dengan warga masyarakat dan RT setempat sehingga Amara diperbolehkan untuk beribadah di pura.

Karena ketulusannya beribadah sebagai individu ia dapat mengadvokasi pandangan masyarakat, bahwa transpuan juga memiliki Tuhan dan mampu menjalankan norma agama dan keyakinan yang diyakini sebagai kompas kehidupan.

Kisah lain datang dari seorang transpuan yang mengidentifikasi dirinya sebagai transpuan peranakan. Ia tidak mau disebut namanya, jadi kita panggil saja Endozaki.

Endozaki beribadah di klenteng. Menurutnya masih perlu banyak diskusi terkait ibadah di klenteng beserta dewa-dewinya. Ia mulai memilah bagaimana beribadah dengan media dupa dengan niat “silaturahmi” dan niat “meminta berkat”. Ia kritis sekali dengan dua kata kunci itu. Menurutnya dewa-dewi yang ada di klenteng bukan hanya difungsikan untuk meminta berkat saja namun juga harus disapa dan di beri penghormatan. Jika luang dan memungkinkan patung dan sekitarnya dibersihkan. Diberi aroma dupa yang harum agar dewa-dewi menyambutnya dengan sukacita.

Beralih ke Kotagede tepatnya di Pondok Pesantren Waria Al Fatah. Menarik mendengar cerita ibu Shinta Ratri mendirikan pondok pesantren yang menjadi ruang ibadah yang aman bagi para transpuan ini. Ia menuturkan latar belakang kemanusiaan yang membuat hatinya tergerak adalah karena transpuan sering sekali dilecehkan, dibuat bahan olok-olok. Padahal  menurutnya transpuan berhak mendapat ruang yang aman dan nyaman untuk beribadah kepada Tuhan yang diyakininya.

Di sini saya menyebut pondok pesantren sebagai rumah mengaji. Karena di dalamnya terdapat puluhan transpuan yang tergabung dengan berbagai persoalan dan masalah hidup yang tak kunjung henti. Ada gelak tawa, berkumpul bersama, arisan dan ajang kekeluargaan sesama transpuan yang secara garis besar mengalami takdir senasib sepenanggungan. Setelah berbagi rasa mereka mengaji sesuai kemampuan masing-masing kemudian makan bersama dengan suasana yang teduh.

Hal-hal preventif yang dapat diajarkan menurut saya adalah dengan mengganti sebutan “pondok pesantren” yang formal menjadi “rumah mengaji.” Karena dengan sebutan rumah mengaji akan melindungi penghuni pondok dari aksi radikal kelompok yang kontra terhadap keberadaan transpuan. 

Artikel ini memberikan gambaran dan memetakan ruang transpuan dalam berkeyakinan dan beragama. Pemetaan berfungsi untuk menjabarkan kehidupan transpuan yang penuh dinamika. Harapannya dapat menumbuhkan semangat solidaritas sehingga di masa depan terwujud ruang-ruang inklusif dalam masyarakat.

Dalam beragama dan berkeyakinan, salah satu hal penting yang saya yakini adalah kenyamanan karena beragama dan berkeyakinan bukan sesuatu yang dapat dipaksa.

Pada transpuan tentu dalam episode hidupnya di masa lampau agama yang terberi diajarkan oleh ajaran orang tua. Transpuan dengan segala kerumitan hidupnya tentu ada rasa butuh bahkan merindukan sentuhan dan dialog dengan tuhannya. Namun untuk mewujudkannya selalu menghadapi rintangan.

Kita bisa kilas balik ke tahun 2016 ketika pondok pesantren waria di Yogyakarta ditutup oleh aparat pemerintah setempat setelah Front Jihad Islam (FJI) menolak keberadaan pesantren tersebut. Begitu juga aktivitas ibadah transpuan sering terkendala dengan penampilan mereka.

Karena itu dalam beragama dan berkeyakinan, tentu saja transpuan perlu memetakan tempat-tempat ibadah yang bisa menerima mereka sebagaimana adanya. Memetakan tempat ibadah selalu tak jauh-jauh berbicara persoalan ruang. Hal ini tentu saja berhubungan dengan lokasi transpuan itu berdomisili. 

Sementara ruang bagi transpuan masih belum dimiliki secara masif. Artinya ruang yang tersedia untuk transpuan masih harus “dipilihkan”. Bahkan transpuan belum bebas meluangkan waktu senggangnya di ruang-ruang tertentu. Ruang disini yang dimaksud tentu termasuk ruang publik.

Selain ruang kita juga masih harus menggaris tandai subjek yang berhubungan dengan keyakinan tersebut dan lingkungannya. Misalnya para suster, romo, pendeta, ustaz dan pemuka agama lainnya. 

Subjek-subjek ini juga memiliki pandangannya sendiri terhadap identitas transpuan. Dengan begitu ruang dan subjek menjadi bagian dari cara hidup transpuan untuk beribadah. Kondisi ini juga tak lepas dari persetujuan para pemuka agama.

Tulisan ini dibuat sebagai bahan perbandingan. Bukan untuk membela diri tetapi lebih pada penggambaran sebagian kehidupan transpuan dengan caranya beribadah.

Ilustrasi: freepik.com

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!