Lola Diperkosa Kakek dan Hidup Dengan Trauma: Nestapa di Tana Humba

Mengalami perkosaan yang dilakukan kakeknya hingga hamil dan memiliki bayi di usia belia, membuat Lola tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Ia menjalani masa remajanya dengan menghadapi perundungan dan trauma.

Trigger warning: artikel ini berpotensi memicu perasaan tidak nyaman, terutama bagi penyintas kekerasan seksual.

Lola, nama samaran, matanya sayu dan nyaris tanpa senyum. Rambutnya panjang terurai hingga batas pinggang. Suaranya lirih, “Nanti saya ingin jadi dokter saja,” sambil menundukkan kepalanya di gazebo Yayasan DDR. Dia mendekap balitanya yang tertidur pulas di dada.

Balita itu bukan adiknya, tapi anak kandung Lola. Dia mengandung saat masih duduk di bangku SD kelas 5. Balita manis itu adalah akibat dari perkosaan yang dialami Lola. Peristiwa laknat yang dialaminya berulang kali dibawah ancaman senjata parang yang menempel di lehernya. Pelaku tindakan biadab itu adalah kakek kandungnya sendiri.

Saya kemudian mewawancarai Melinda, aktivis perempuan di Sumba Barat Daya, NTT, yang bertugas untuk mendampingi Lola. Melinda mengisahkan, “Dia tertunduk tak bisa bicara di sekolah, cuma air matanya bercucuran, dengan perut yang semakin besar. Pelan-pelan saya dekati dan ajak bicara. Pada akhirnya, dia mengaku hamil dan diperkosa kakeknya berulang kali.“ Mata Melinda pun berkaca-kaca.

Trauma yang dialami Lola sangat dalam. Dia “dendam” pada ibunya yang meninggalkannya sebagai buruh migran ke Hong Kong, lalu menitipkan Lola kepada kakek dan pamannya. Sebelumnya, ibunya berpisah dengan ayah Lola, dan si ayah lalu menikah lagi, tak mengurus Lola. Ibunya harus tetap menghidupi ekonomi Lola dan memutuskan untuk bekerja sebagai pekerja migran di Hongkong.

Pada saat itulah si kakek jadi pelaku perkosaan dan paman jadi pelaku kekerasan fisik dan verbal. Sungguh tragis jalan hidup Lola, mengalami pemerkosaan beruntun, sekaligus menjalani kerja paksa di ladang.

Setiap Lola menolak perkosaan itu, kakeknya menghunus parang dan mengancam akan membunuhnya, “Mau kubunuh kau!” 

Lola juga tak kuasa menolak perintah pamannya untuk bekerja di ladang.

Ingatan buruk itu terus menghantui Lola, dia juga menghadapi dampak trauma pada balitanya. Bayinya bernama Lili. Balita Lili sering menangis dan menggigit tangannya hingga berdarah—goresan luka di tangan Lili itu membekas. Di gendongan Pater Martin, Lili yang dianggap cucunya sendiri selalu tenang dan tidak rewel. Tak bisa dibayangkan, ayah dari bayi itu adalah kakeknya sendiri.

“Kami berdoa tanpa henti sepanjang malam, setelah kelahiran Lili yang prematur. Nafasnya tersengal seakan berhenti dan tubuhnya menguning, sangat lemah. Saya berdoa terus, Tuhan tolong selamatkan bayi ini,” kata Melinda. Benar, sebuah keajaiban, Lili saat itu tiba-tiba menggerakkan tubuhnya dan tangisnya pecah.

Sembilan tahun berlalu. Sebelum itu, Lola terpaksa drop out kuliah dari Sekolah Tinggi Kristen di Waingapu, karena tak tahan dengan perundungan (bully) yang dialaminya di kampus, berasal dari teman-teman sebayanya.

Bahkan perundungan terjadi sejak Lola duduk di bangku SMA. 

“Saat masih sekolah di Waingapu, saya beberapa kali menyelesaikan masalah bullying ini di sekolah,“ ujar Pater Martin.

Tidak mudah mendidik remaja dengan latar belakang trauma yang panjang akibat perkosaan berulang kali dan kerja paksa. Masih pula ditambah dengan mengalami perundungan yang bertubi-tubi. Lola tidak pernah bisa menceritakan keluh-kesahnya kepada Pater Martin. Dia cenderung pendiam dan memilih memendam rasa sedihnya.

“Kami merawat hingga sekecil-kecilnya, keluarganya sudah tidak peduli dengannya,“ ujar Pater Martin saat saya temui di Gramedia Matraman. Sebagai rohaniwan Katolik, sekaligus ayah angkat bagi Lola dan Lili, Pater sadar dunia telah berubah menuju pada gegap gempita teknologi digital.

Saat mengenal pemuda sebayanya di media sosial Facebook, Lola merasa mendapat ruang berbagi hati. Cinta tumbuh di dunia daring, menghampiri hatinya, dan memiliki keberanian menemui pemuda itu. Lola lalu meninggalkan bangku kuliah, menempuh pelayaran kapal laut dari Waingapu ke Bali. Lalu melakukan perjalanan dari Bali menuju Flores.

Si kecil Lili sering merindukan ibunya. Berulang kali Lili merengek ke Pater Martin untuk menelepon ibunya, Lola. Tapi Lola bergeming, bahkan tak pernah mengangkat telepon dari Pater, begitu juga ketika saya kirimkan pesan WhatsApp ke Lola. Tak pernah dibalasnya. Sungguh rindu Lili tak berbalas.

Saya memahami hati Lola terluka, tak mudah sembuh. Meski pendampingan psikologis dilakukan. Bahkan Lola tidak bisa menerima maaf dari ibunya. Hatinya terlalu sakit, apalagi lelaki bejat alias kakeknya cuma dijatuhi hukuman 7 tahun penjara oleh pengadilan atas kebiadaban memperkosanya hingga mengancam bunuh.

Pater Martin sebagai Ayah angkatnya cuma bisa ikhlas dan pasrah kehilangan Lola. Fokusnya sekarang membesarkan Lili yang beranjak tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan cerdas. “Dia sangat menyukai puisi,“ ujar Pater menutup pembicaraan kami.

(Ilustrasi/foto: Freepik)

Farida Indriastuti

Penggemar Tintin dan Detective Conan ini telah berkelana selama 25 tahun sebagai jurnalis, foto jurnalis dan video jurnalis ke berbagai pulau di Indonesia, menyaksikan kisah-kisah perempuan yang memilukan dan menyayat hati.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!