Konde.co menampilkan edisi khusus May Day atau hari buruh yang diperingati setiap 1 Mei. Kali ini, tentang perjuangan buruh perempuan dalam menjangkau day care untuk anak-anak mereka
Yayi bekerja di sebuah bank BUMN di Kota Surabaya, tugasnya sebagai teller. Jam kerjanya dari jam 8 pagi sampai 5 sore.
Saat mengandung Shaka, Yayi sudah berencana akan menitipkan bayinya ketika kembali bekerja setelah cuti melahirkannya selesai. Tapi ia tak punya informasi tentang daycare atau tempat penitipan anak di kotanya. Ia hanya menemukan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di sekitar rumahnya.
“Dari awal sih sebenarnya sudah pengin mbak, cuma saya kendala informasi untuk daycare waktu dulu itu. Saya dapat infonya dari pamannya suami dia bilang, ‘Mendingan dititipin daycare aja, jadi enak’. Pamannya itu (tinggal) di Jombang. Nah, saya nggak tahu info tentang (daycare) yang di Surabaya itu dimana?,” ujar Yayi.
Sampai masa cuti melahirkannya selesai, Yayi belum juga menemukan daycare. Ia akhirnya menitipkan Shaka ke bude atau kakak ibunya. Ini lantaran orang tuanya sehari-hari berjualan, sedang mertuanya sudah tua. Pertimbangan lain, karena Shaka masih bayi, jadi Yayi lebih percaya ke orang terdekat.
Meski begitu keinginan menitipkan anaknya di daycare tak surut. Seiring dengan usia Shaka yang bertambah dan tak ingin memberatkan budenya, Yayi kembali mencari info tentang daycare.
Namun persoalan lain muncul. Shaka menunjukkan tanda-tanda kemunduran perkembangan. Ia tidak merespons orang-orang di sekitarnya.
“Waktu itu kalau dipanggil (namanya) enggak merespons,” tutur Yayi.
Baca Juga: ‘Daycare’ Sangat Penting Bagi Ibu Pekerja, Kapan Pemerintah Serius Menjamin?
Yayi akhirnya membawa Shaka ke klinik tumbuh kembang anak seperti disarankan oleh dokter anak yang memeriksa Shaka. Waktu itu banyak klinik yang tutup karena sedang pandemi Covid-19. Klinik yang buka pun harus antri sampai 3 bulan karena daftar tunggunya panjang.
Yayi mendatangi beberapa tempat, dari klinik, dokter hingga psikolog bahkan pernah sampai ke Sidoarjo. Setelah sesi tes THT, terapi dan konsultasi, psikolog mendiagnosis Shaka anak dengan ASD (autism spectrum disorder) atau autisme.
Shaka menjalani terapi dan diminta untuk pantang makanan atau diet, yakni tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung dan terbuat dari susu dan gluten. Sementara sehari-hari Shaka masih minum susu formula.
Ia akan marah dengan menyakiti dirinya, menjambak-jambak rambutnya atau menggesek-gesekkan kakinya ke lantai sampai kulitnya terluka kalau tidak diberi susu. Buat Yayi, untuk memutus susu formula ini jadi pekerjaan rumah tersendiri.
“Anak saya sehari itu bisa minum susu sampai 15 botol. Anak saya itu hafalan orangnya, jadi ibaratnya kayak kalau saya rebahan, saya harus minum susu. Terus, kalau saya lapar, saya ingatnya minum susu. Begitu, saya mikir ini harus diubah. Nah diubah itu kendalanya harus dititipin di mana,” ungkapnya.
Hal-hal yang masuk dalam daftar pertimbangan Yayi untuk mencari daycare jadi bertambah. Tidak hanya soal waktu penitipan yang mengikuti jam kerjanya, lokasi yang dekat maupun biaya penitipan yang terjangkau saja. Tapi Yayi tak putus asa.
Sebenarnya tempat kerjanya menyediakan daycare untuk para pekerjanya. Tapi lokasi daycare ini hanya ada di kantor wilayah yang di Surabaya cuma ada satu. Sementara dirinya ada di kantor cabang yang lokasinya jauh dari kantor wilayah. Yayi jadi berpikir dua kali untuk menitipkan anaknya di sana.
Baca Juga: Debat Capres Cawapres Minim Soroti Isu Hak Perempuan
Yayi juga mendapat info tentang daycare di daerah Surabaya Timur. Ia dan suaminya mendatangi daycare tersebut untuk survei. Di daycare itu orang tua bisa menitipkan anaknya dari pagi sampai sore seperti jam kerja kantor. Mereka menyediakan makanan untuk si anak dan ada CCTV sehingga orang tua bisa memantau anaknya lewat ponsel.
Dari segi lokasi daycare tersebut sebenarnya tidak jauh dari kantor Yayi, tapi ia tidak bisa menyetir kendaraan roda empat. Sedangkan keperluan bayi yang mesti dibawa cukup banyak belum lagi kalau sedang musim hujan. Sementara posisi kantor suaminya arahnya berbeda.
Terlepas dari soal lokasi, hal yang jadi pertimbangan utama Yayi adalah kondisi Shaka.
“Cuma kendalanya ya itu tadi saya takut. Anak saya kan tantrum ya. Kalau orang yang mengasuh nggak tahu cara mengatasinya, takutnya malah bikin emosi nanti,” kata Yayi.
Hingga satu hari saat Yayi menunggu anaknya terapi, ia menceritakan kesulitannya mencari daycare ke ibu-ibu yang juga sedang menunggu anaknya. Apalagi anaknya harus diet dairy free.
Salah satu dari mereka menginformasikan tentang Daycare Rumah Bahagia yang menjadi tempat penitipan yang ramah untuk anak berkebutuhan khusus. Daycare itu juga mendukung anak yang dititipkan untuk lepas dari susu formula. Ibu tersebut juga menitipkan anaknya di sana.
Yayi dan suaminya segera mendatangi daycare tersebut. Lokasi daycare ini dekat dengan kantor suaminya. Dengan waktu penitipan dari jam 7.30 pagi sampai 5 sore. Apalagi daycare tersebut juga mendukung anak yang dititipkan lepas dari susu formula. Yayi akhirnya untuk menitipkan Shaka di Rumah Bahagia sejak Juli 2023.
Baca Juga: Tren Fesyen Coquette, Saatnya Mendobrak Batasan Ekspresi Ragam Gender dan Seksualitas
Pengalaman lain dirasakan oleh Yanti yang membutuhkan tempat penitipan anak yang terjangkau biayanya. Pasalnya ia bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga dengan menghidupi dua orang anak.
Awalnya Yanti bekerja sebagai waitress atau pelayan di salah satu food court, tempat makan di Surabaya. Suaminya bekerja sebagai cleaning service, petugas kebersihan di salah satu perusahaan swasta. Karena sama-sama bekerja, tidak ada yang mengasuh Abid, anak kedua mereka. Jadi Abid dititipkan di tetangga.
Tapi Yanti merasa kurang sreg, pasalnya anaknya cenderung dibiarkan saja apalagi biaya yang dikeluarkan juga relatif mahal. Jadi ia mulai mencari tempat penitipan anak dan menemukan daycare di wilayah Surabaya Barat. Yanti mendatangi daycare tersebut untuk mengecek.
Daycare itu letaknya ada di lantai dua. Ketika Yanti datang ke sana, ia melihat ada anak-anak yang tidur di lantai dan dibiarkan oleh pengasuhnya.
”Lho ini kok tidur di lantai ya mbak?” tanya Yanti.
“Nggak papa, ketiduran itu bu,” jawab pengasuhnya.
Baca Juga: ‘Harus Berhenti Kerja, Urus Orang Tua’ Kerja Perawatan Masih Dipikul Perempuan
Melihat itu Yanti jadi berpikir ulang. Ia khawatir kalau anaknya dititipkan di sana dan tertidur di lantai akan dibiarkan saja seperti yang dilihatnya hari itu. Ia khawatir nantinya akan berpengaruh pada kesehatan anaknya.
Pertimbangan lain biaya penitipannya relatif mahal. Waktu itu tahun 2016, biaya penitipan per bulannya di atas 700 ribu. Ini dirasa berat buat Yanti.
Ia lanjut ke sana ke mari mencari tempat penitipan anak yang lain. Sampai akhirnya ia mendapat info dari temannya tentang Daycare Rumah Bahagia yang baru saja dibuka. Temannya menitipkan anaknya di sana dan bilang kalau harganya terjangkau.
Yanti lalu menitipkan Abid di Daycare Rumah Bahagia saat umur 2,5 tahun pada 2016. Ketika itu suaminya pergi dari rumah, meninggalkan Yanti dan anak-anaknya. Suaminya jadi pengikut Dimas Kanjeng alias Taat Pribadi, seorang dukun pengganda uang, lantaran kepincut pengin kaya. Saat pergi dari rumah, suaminya juga meninggalkan utang.
Jadi selain harus menghidupi kedua anaknya, Yanti juga mesti melunasi utang-utang suaminya. Dengan kondisi tersebut ketika menitipkan anak di Daycare Rumah Bahagia ia dapat keringanan. Yanti bisa menitipkan Abid dengan biaya penitipan yang terjangkau.
Baca Juga: Maskulinitas Toksik Bikin Lelaki Cemas dengan Tubuhnya
Selang beberapa waktu karena kondisi ekonominya, biaya penitipan anak yang harus dibayar Yanti beberapa kali disesuaikan dengan kemampuannya. Hingga akhirnya pemilik Daycare Rumah Bahagia membebaskan Yanti dari biaya penitipan.
“Habis itu aku nggak pernah bayar sampai Abid lulus TK karena nggak mampu. Jadi dibilang mbak Domin (pemilik Daycare), ‘Udah nggak usah bayar,’ gitu,” kata Yanti.
Seiring waktu ketika Abid usia TK, ia menunjukkan lamban memahami informasi dan belajar. Pemilik Daycare menyarankan Yanti untuk mengajak Abid mengikuti tes IQ. Dari tes tersebut diketahui Abid anak slow learner.
“Waktu dititipin itu belum tahu (kondisinya). Setelah masuk TK A, itu mungkin diajari kok nggak nyambung, nggak paham gitu, terus sama Mbak Domin disuruh tes IQ. Tesnya dibiayai sama Rumah Bahagia, tinggal berangkat. Ternyata Abid slow learner,” tuturnya.
Abid disarankan mengikuti terapi. Yanti lalu mengurus rujukan di puskesmas untuk terapi di rumah sakit dengan memakai BPJS Kesehatan. Abid menjalani terapi okupasi (OT) dan terapi wicara (TW) di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya secara rutin.
Ketika pandemi Covid-19, fasilitas kesehatan banyak yang membatasi layanannya, sehingga Abid tidak bisa lagi ikut terapi. Saat itu Yanti juga berhenti bekerja sebagai waitress. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan pemerintah berimplikasi pada terbatasnya operasional pusat keramaian, termasuk food court tempatnya bekerja.
Yanti akhirnya bekerja serabutan, seperti menjadi pekerja rumah tangga. Saat itu daycare Rumah Bahagia tetap beroperasi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Yanti merasa sangat terbantu dalam situasi yang tak menentu tersebut.
Baca Juga: ‘Rasanya Lelah Akut’: Beban Single Mom yang Miliki Anak Autis
Abid diasuh di Daycare Rumah Bahagia sampai lulus TK pada 2020. Saat masuk kelas 1 SD ia sudah tidak dititipkan di daycare.
Kebutuhan akan tempat penitipan anak juga dirasakan Sri Rahmawati yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Ia mengaku saat punya anak pertama dirinya belum punya pengetahuan soal pengasuhan anak.
Setelah bergabung dengan organisasi atau serikat buruh, Rahma mendapat pendidikan tentang pengasuhan anak. Dengan pengetahuan tersebut, ketika anak keduanya lahir, ia menerapkan ilmu yang diperolehnya.
Saat anak keduanya berusia 0 sampai 3 tahun, ia menitipkannya ke tetangga ketika bekerja. Sebelum berangkat kerja, Rahma menyiapkan makanan untuk anaknya. Ia juga merebus air untuk minum si anak. Rahma kemudian menitipkan anaknya dan menyerahkan makanan dan air tersebut ke tetangganya sebagai bekal untuk anaknya.
Meski sudah disiapkan bekal ternyata bukan makanan dan air tersebut yang diberikan tetangganya kepada anaknya. Sebaliknya anaknya justru diberi minuman yang biasa dikonsumsi orang dewasa seperti teh dan kopi kemasan. Padahal saat itu anaknya baru berumur 1 tahun. Ini lantaran tetangganya tidak punya pengetahuan soal pengasuhan anak.
Akibatnya anaknya sakit sampai harus dirawat di rumah sakit.
Baca Juga: Vagina Perempuan Gatal Ketika Menstruasi Karena Air Sumur Kotor Akibat Tambang
“Saat usia 1 tahun 8 bulan anak saya masuk rumah sakit sampai 17 hari. Penyebabnya itu karena makan sembarangan. Nah masyarakat kita kan nggak pernah diedukasi bahwa anak punya kebutuhan khusus,” kata Rahma.
Rahma harus menunggui dan merawat anaknya selama opname di rumah sakit. Ia mesti izin kerja selama 17 hari, tapi tetap mendapat upah. Karena itu menurutnya ketiadaan daycare tidak hanya merugikan pekerja seperti dirinya tapi juga perusahaan.
“Sehingga saya meninggalkan pekerjaan, inikan berdampak juga terhadap perusahaan. Karena perusahaan tetap membayar upah saya selama 17 hari tanpa saya kerja. Artinya perusahaan juga mengalami kerugian sebenarnya, tapi tidak pernah dilihat seperti itu,” papar Rahma.
Setelah itu Rahma mencari daycare untuk anaknya. Ketika itu ia merasa sangat kesulitan menemukan daycare. Ini lantaran di sekitar tempat tinggal dan tempat kerjanya di kawasan Jakarta Utara tidak ada daycare.
“Padahal kebutuhan untuk daycare sangat penting bagi saya. Karena di sekitar tempat tinggal dan kerja tidak ada. Pada akhirnya itu daycare satu-satunya yang menjadi pilihan bagi saya,” tuturnya.
Baca Juga: Single Parent Butuh Dukungan, Bukan Stigma Soal Pendidikan Anak
Daycare tersebut berjarak sekitar 15 menit dari rumah memakai sepeda motor. Sementara dari daycare ke tempat kerja sekitar 30 menit. Akhirnya saat anaknya berumur 3 tahun, dia dititipkan di daycare hingga selesai TK di umur 6 tahun. Ini lantaran daycare tidak menerima penitipan untuk anak yang sudah berusia sekolah dasar.
Rahma menyadari menitipkan anak di daycare jauh lebih baik ketimbang jika diasuh oleh orang yang tidak paham soal pengasuhan. Tapi ia tak punya pilihan, lantaran jam sekolah anaknya tidak sama dengan jam kerjanya. Karena itu anaknya kembali dititipkan ke tetangga saat masuk SD.
Walau Rahma sudah mencoba membagikan ilmu tentang pengasuhan anak ke tetangganya, tapi itu bukan hal yang mudah untuk diterima. Karena itu menurutnya peran pemerintah sangat penting dalam edukasi tentang pengasuhan anak.
“Meski saya juga sudah mendapatkan ilmu dan saya sering bicara dengan yang saya titipkan, tapi tidak segampang itu. Karena memang pengetahuan tentang pengasuhan anak ini tidak semua orang tahu bahkan minim sekali yang punya pengetahuan itu. Jadi yang paling saya tekankan bagaimana nih negara kita mengedukasi tentang perawatan anak melalui daycare itu sendiri,” papar Rahma.
Perempuan yang aktif di Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) ini berharap daycare bisa menerima penitipan anak hingga usia 10 tahun.
“Pengalaman saya adalah anak 0 tahun sampai 10 tahun itu masih membutuhkan perawatan yang baik untuk tumbuh kembang,” katanya.
Ia menambahkan kalau anak punya tumbuh kembang yang baik, yang akan mendapat manfaat bukan hanya orang tua tapi juga negara. Karena itu Rahma berharap pemerintah harus mengambil peran.
Kebutuhan Daycare Untuk Anak Buruh
Bagi Yayi, Yanti maupun Rahma, daycare adalah kebutuhan penting bagi perempuan buruh/pekerja seperti mereka. Merujuk Profil Perempuan Indonesia 2023 yang bersumber pada data BPS 2020, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan adalah 53,41%. Sedang TPAK laki-laki mencapai 82,41%.
Dari data tersebut kita bisa melihat kalau dalam satu keluarga suami dan istri sama-sama bekerja, maka pengasuhan anak jadi PR tersendiri. Sering kali karena peran gender yang dilekatkan pada perempuan, pekerjaan ini jadi beban perempuan.
Harus diakui pengasuhan anak masih menghadapi sejumlah tantangan baik yang bersifat kultural maupun struktural. Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati mengatakan kebutuhan akan tempat penitipan anak atau daycare tidak bisa dipisahkan dari perempuan pekerja itu sendiri.
Sayangnya tempat penitipan anak di Indonesia belum dilihat sebagai kebutuhan primer. Masih ada stigma tentang pengasuhan anak yang menempatkan pengasuhan sebagai aktivitas yang lebih banyak dilakukan di lingkup keluarga.
Nabiyla menjelaskan ini artinya ketika perempuan bekerja, maka pengasuhannya dipindahkan, bisa kepada neneknya, kepada tantenya, atau kepada pengasuh di rumah. Pengasuhan di rumah jadi lebih banyak dilakukan dibandingkan pengasuhan di luar rumah dalam hal ini melalui daycare.
“Jadi di satu sisi saya merasa kebutuhannya sebenarnya tinggi. Tapi karena norma sosial dan strukturnya memang belum memungkinkan dan belum menyediakan cukup banyak pilihan untuk daycare, maka akhirnya seakan-akan menjadi tidak penting,” ujar Nabiyla.
Baca Juga: Continuously Dramas Lead Me to Find My Other Identity
Berdasarkan Susenas tahun 2023 BPS mengestimasi sekitar 30,2 juta dari total penduduk Indonesia merupakan anak usia dini berusia 0-6 tahun. Sementara data Kemdikbud menunjukkan jumlah Taman Penitipan Anak (TPA) yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebanyak 2.471. Dari jumlah tersebut sebanyak 2.440 TPA dikelola oleh swasta, sedang 31 TPA dikelola oleh pemerintah.
Mengingat jumlah TPA tersebut berdasarkan yang sudah terdaftar, maka secara faktual jumlahnya kemungkinan lebih besar. Kalau kita bandingkan antara jumlah anak usia dini dengan jumlah TPA yang ada, maka ada gap yang sangat lebar. Bisa dibilang kebutuhan akan tempat penitipan anak belum terpenuhi.
Nabiyla menjelaskan dari riset yang dilakukannya sejauh ini terpetakan empat jenis daycare yang ada di masyarakat. Pertama, daycare berbasis mandiri yang dibentuk oleh swasta, oleh orang perorangan, atau oleh badan hukum. Operasionalnya sepenuhnya bersumber dari pembayaran uang penitipan.
Jenis kedua adalah daycare berbasis perusahaan. Jadi biasanya disubsidi sebagian oleh perusahaan dan menjadi bagian dari tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan. Atau menjadi bagian dari fasilitas perusahaan untuk mendukung para pekerja perempuannya.
Jenis yang ketiga adalah daycare berbasis komunitas. Menurut Nabiyla daycare jenis ini cukup banyak jumlahnya. Daycare ini dibentuk oleh masyarakat sekitar, misalnya oleh komunitas di kampung nelayan atau di beberapa daerah yang ibu-ibunya bekerja di pasar.
“Mereka nggak menyebutnya sebagai daycare tentu saja makanya kita jangan terjebak dengan istilah daycare. Namun mereka membentuk sebuah komunitas yang digunakan untuk penitipan anak bagi para perempuan yang lagi ke pasar atau yang lagi berlayar,” jelasnya.
Baca Juga: Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik
Jenis keempat, yakni justru yang paling sedikit jumlahnya adalah daycare yang dikelola oleh pemerintah. Biasanya jadi semacam percontohan di beberapa kota ramah anak karena jadi bagian dari program.
“Itupun biasanya juga terbatas yang bisa mengakses. Biasanya digunakan untuk PNS-PNS di Pemkot tersebut. Jadi bukan untuk masyarakat umum. Sebenarnya lebih mirip dengan daycare yang jenis kedua yang berbasis industri” papar Nabyla.
Sementara dalam pengamatan Domin Dhamayanti, Direktur Institut Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) daycare yang ada terutama jenis mandiri cenderung berjalan sendiri-sendiri. Artinya mengikuti keinginan pendiri atau pengelolanya. Pasalnya sejauh ini belum ada aturan di level nasional terkait daycare.
“Daycare yang ada itu kayak jalan sendiri-sendiri berdasarkan mood (suasana hati) dari pendirinya. Kalau mood-nya bisnis ya murni untuk bisnis, anak itu dianggap sebagai bisnis. Kalau mood-nya untuk pemenuhan hak anak, ya dia akan all out untuk itu. Atau kombinasi dua-duanya. Atau bahkan bisnis, tapi yang untuk kelas menengah ke bawah,” papar Domin.
Karena itu Domin mengungkapkan tak jarang ditemui daycare dengan kapasitas ruang dan jumlah anak yang dititipkan tidak proporsional. Ini lantaran tingginya kebutuhan akan tempat penitipan anak.
Domin menjelaskan desakan ISBS akan perlunya daycare juga merupakan strategi advokasi untuk mengambil kembali hak buruh dalam bentuk kesejahteraan anak. Keberadaan Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah menghabisi buruh. Soal upah dan hubungan kerja misalnya, buruh tidak punya posisi tawar. Karena itu sembari memperjuangkan hak-hak normatif buruh, perlu ada strategi alternatif.
Ia menambahkan riset ISBS menemukan pengeluaran buruh untuk balita minimal 1,5 juta, paling banyak 2,5 juta per bulan. Pengeluaran itu dipakai untuk membeli susu formula, membayar upah pengasuh, membeli diapers dan jajan anak.
Baca Juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Psikoanalisis, Memahami Psikis Untuk Melawan Penindasan Perempuan
Pengeluaran tersebut menurut ISBS adalah investasi yang kurang berkualitas. Lalu uang itu diambil lagi, misalnya dengan upah murah atau dengan kerja lembur harian lepas. Kondisi timpang ini perlu diperjuangkan lewat gerakan tapi juga perlu strategi lain.
“Harus ada alternatif, strategi lain untuk mengambil lagi haknya dalam bentuk anak, karena kalau ngomong anak, nggak ada yang nolak. Ya itu lebih ke strategi juga,” papar Domin.
Rahmawati dari KPBI juga melihat tidak adanya komponen anak dalam upah buruh perempuan yang dibayarkan dengan memakai penghitungan sebagai lajang.
“Buruh perempuan itu kan komponen upahnya belum ada upah untuk pengasuhan anak, untuk susu anak. Terus bagaimana kami mau membayar pengasuh, membeli susu, membeli pampers untuk anak kami sedangkan dalam komponen upah itu tidak ada,” ujarnya.
Komponen upah buruh dibuat se-standar mungkin oleh negara. Untuk itu Rahma mengaku sangat antusias mendorong keberadaan daycare dan mendesak pemerintah menyediakan fasilitas tersebut bagi buruh.
Apalagi tuntutan buruh atas kenaikan upah sering kali ditanggapi pengusaha dengan jawaban perusahaan tidak mampu. Belum lagi ditambah ancaman relokasi perusahaan ke daerah lain yang upah buruhnya lebih murah.
“Kami susah mendorong upah untuk naik, karena itu bagaimana caranya mendesak pemerintah untuk menghadirkan fasilitas seperti daycare,” pungkas Rahma.
Perlu Payung Hukum Soal Daycare
Menyikapi kondisi tersebut baik Domin maupun Nabiyla melihat perlu ada payung hukum terkait daycare. Nabiyla menjelaskan sejauh ini aturan tentang daycare masih bersifat parsial. Artinya ruang lingkupnya terbatas karena berupa peraturan menteri.
Seperti standarisasi tempat penitipan anak yang dikeluarkan oleh KPPPA. Beberapa kebijakan mengenai kota ramah anak yang juga diterbitkan oleh KPPPA. Juga kebijakan tentang tempat penitipan anak di kawasan industri yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Kebanyakan justru di ranah kementerian. Peraturan-peraturan kementerian itu lebih banyak karena kita nggak punya level undang-undang, peraturan pelaksana atau kebijakan mengenai ini,” jelas Nabiyla.
“Jadi bisa dikatakan peran pemerintah not-existing karena di level nasional, di tataran undang-undang atau PP-nya tidak ada. Belum ada cantolannya sehingga belum ada yang banyak dilakukan oleh pemerintah,” lanjutnya.
Peran pemerintah dalam menyediakan layanan daycare dipandang penting karena layanan perawatan anak sangat mahal. Untuk membangun tempat penitipan anak yang berkualitas dibutuhkan dana yang besar dan cukup mahal. Karena itu keterlibatan pemerintah jadi penting agar tidak muncul ketimpangan baru.
“Artinya ketika ini 100 persen di-outsource kepada swasta, yang ada nanti akan menjadi ketimpangan baru. Karena yang bisa mengakses hanya kelas menengah atas misalnya. Sedangkan kebutuhan dari kelas pekerja pada umumnya justru kemudian tidak bisa terfasilitasi dengan daycare,” papar Nabiyla.
Di sinilah pemerintah seharusnya mengambil peran entah lewat subsidi atau skema lain.
Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun dan mengelola daycare juga diakui Domin yang memiliki Daycare Rumah Bahagia di Surabaya. Apalagi kalau daycare tersebut inklusif, artinya juga menerima anak yang berkebutuhan khusus.
Baca Juga: Perpustakaan Virginia Ramah Perempuan: Sediakan Box Khusus Untuk Balita
Karena itu kerja sama dan kolaborasi jadi salah satu cara yang bisa dilakukan. Misalnya kerja sama dengan lembaga psikolog, dengan kampus-kampus, dll. Terlepas dari itu semua peran negara dipandang signifikan.
“Ya memang mahal makanya kalau berbicara investasi sosial negara harus hadir. Ketika negara mau sungguh investasi di situ, sebenarnya akan membantu menjawab banyak masalah krusial di Indonesia,” kata Domin.
Ia juga mendorong adanya payung hukum yang mengatur soal daycare. Jadi siapapun yang mau mendirikan daycare, entah kementerian, perusahaan, swasta, atau entah itu di sektor perkebunan, pertambangan, manufaktur, harus mengikuti aturan. Aturan itu sendiri harus berbasis pada tumbuh kembang anak dan kebutuhan terbaik bagi anak.
Kebijakan di tingkat nasional ini perlu ada sebagai framework mengenai tempat penitipan anak dan pembiayaan tempat penitipan anak. Dua hal ini jadi titik awal yang penting.
“Yang paling penting dimulai di awal adalah framework bahwa ini penting, negara harus berkomitmen untuk menyediakan. Sekaligus memahami kebutuhan bahwa ini perlu disubsidi oleh negara,” papar Nabiyla.
Dua hal ini krusial untuk dilakukan karena berkaitan dengan kebutuhan kesejahteraan anak dan juga kepentingan ekonomi, pungkasnya.
Kebijakan Daycare, Siapa Yang Bertanggungjawab?
Kurniawati Hastuti Dewi dan Angga Sisca Rahadian dalam Theconversation.com pernah menuliskan, bahwa setidaknya ada dua permasalahan utama terkait daycare
Pertama, daycare yang terjangkau biasanya memiliki kualitas yang buruk, sementara daycare yang layak dan kualitasnya bagus cenderung sangat mahal.
Menurut hasil penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2019 terhadap setidaknya 75 daycare dari 9 provinsi di Indonesia, 44% daycare tidak memiliki izin dan 20% daycare memiliki kualitas yang tidak baik, bahkan ada yang sangat tidak baik.
Indikator buruknya kualitas daycare tersebut antara lain kondisi lingkungan yang kotor, fasilitas fisik yang tidak layak, serta kualitas sumber daya manusia (SDM) atau pengasuh yang tidak cukup profesional. Kualitas semacam itu paling sering ditemukan di daycare dengan biaya yang cukup terjangkau, bahkan terbilang murah. Ini tentunya menimbulkan kekhawatiran dari segi kenyamanan dan keamanan.
Ada banyak daycare yang layak, dengan kualitas SDM para pengasuh yang profesional dan sesuai dengan kebutuhan pengasuhan anak, serta lingkungan fisik yang mendukung. Namun, biasanya biayanya terbilang mahal sehingga tidak terjangkau oleh banyak masyarakat yang berpenghasilan sesuai Upah Minimum Regional (UMR).
Terkait hal ini, pemerintah perlu menciptakan regulasi yang inklusif terkait daycare, termasuk di dalamnya mengatur kompetensi dasar dalam pengasuhan anak yang wajib dimiliki oleh para SDM, sehingga tujuan keberadaan daycare untuk membantu tumbuh kembang anak secara sosial maupun kognitif dapat tercapai. Regulasi tersebut juga harus mengatur tentang standar lingkungan fisik yang sehat dan aman agar hak kesehatan anak-anak dapat terpenuhi secara merata.
Baca Juga: Mengatasi ‘Problem’ Generasi Sandwich: Bertanggungjawab Pada Anak, Orangtua dan Mertua
Kedua, terbatasnya fasilitas daycare di daerah-daerah penyangga.
Tempat bekerja atau perkantoran yang memiliki daycare umumnya berada di pusat kota. Sementara itu, sangat banyak para pekerja di Jakarta yang bertempat tinggal di daerah-daerah penyangga, seperti Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang. Ini membuat orang tua kebingungan dalam mendapatkan ataupun memilih tempat penitipan anak yang lokasinya tidak jauh dari rumah.
Jika mereka harus menitipkan anak di daycare yang berada di pusat kota, maka perlu alat transportasi yang memadai untuk membawa anak sampai ke daycare tersebut. Namun, macetnya jalanan ibu kota membuat anak kerap rewel di perjalanan. Belum lagi rasa lelah akibat kemacetan.
Oleh karena itu, regulasi yang inklusif semestinya mengatur tentang lokasi dan aksesibilitas daycare. Misalnya, dalam setiap kecamatan paling tidak harus terdapat satu daycare dengan subsidi biaya, sehingga masyarakat dari berbagai kalangan dapat mengaksesnya.
Yang terpenting, jika dikelola oleh pemerintah, tarif daycare bisa menjadi terjangkau untuk semua kalangan.
Belajar dari negara lain, secara umum, kebijakan pengasuhan anak di seluruh dunia dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yakni pemerintah yang menyediakan dan mendanai daycare, seperti di negara-negara Nordik (Swedia, Finlandia, Denmark), dan pemerintah cenderung menyerahkan daycare kepada pihak swasta, seperti yang diterapkan di Inggris dan Amerika Serikat (AS).