Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Jadi Perjuangan Utama Ulama Perempuan

Penyelengaraan KUPI II yang bertepatan dengan Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) diisi dengan pembahasan tentang kekerasan terhadap perempuan. Isu Kepemimpinan perempuan dan harmful practices dibahas dalam kerangka menghapus kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan sejak lama menjadi perhatian Kongres Ulama Perempuan Indonesia, tak terkecuali KUPI II kali ini. KUPI juga setia mengupayakan kepemimpinan perempuan yang setara dengan laki-laki dalam berbagai bidang.

Perjuangan KUPI dalam mengupayakan kepemimpinan perempuan dan melahirkan metode yang mendasarkan pada pengalaman perempuan, menurut Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, sangat penting dan berharga dalam menekan kekerasan terhadap perempuan.

“Kita tahu, selama ini salah satu akar kekerasan perempuan adalah diskriminasi berbasis gender. Karena struktur dan relasi sosial menempatkan perempuan berada jauh di bawah laki-laki. Karena itu, dalam upaya penghapusan kekerasan, penting untuk mengkampanyekan kesetaraan yang substantif,” ungkap Andy dalam jumpa pers di sela penyelenggaraan KUPI II pada 25 November 2022 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri Jepara, Jawa Tengah yang bertepatan dengan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP).  

Andy menjelaskan, HAKTP untuk menegaskan sekaligus menguatkan perlindungan perempuan. Ia menegaskan, hak asasi manusia berarti hak asasi perempuan pula. Begitupun sebaliknya, hak asasi perempuan berarti hak asasi manusia juga.

Namun, hingga saat ini kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi bahkan terus meningkat.

Sepanjang tahun 2022, ujar Andi, Komnas Perempuan telah menerima lebih dari 3.000 kasus kekerasan terhadap perempuan. Di mana lebih dari setengahnya adalah kekerasan seksual. Untuk itu kampanye dan upaya untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan mendesak dilakukan, meski tantangan yang dihadapi juga banyak.

Dalam kesempatan yang sama, Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian yang juga anggota Steering Comite KUPI II mengungkapkan rasa bahagianya karena penyelenggaraan KUPI II bertepatan dengan HAKTP. Apalagi isu kekerasan terhadap perempuan termasuk isu utama yang selalu dibahas dan menjadi perjuangan KUPI.

“Kita tahu, kekerasan pada perempuan adalah wujud yang paling ekstrem dari ketidakadilan hakiki. Karena itu, segala wujud perilaku atau praktik yang membahayakan perempuan dan anak perempuan selalu kita lihat sebagai akibat dari perspektif yang tidak adil. Inilah yang oleh KUPI di-rethinking, dilakukan penyusunan mental model baru yang sesuai dengan dasar-dasar keagamaan,” ujarnya.

KUPI II kali ini, menurut Alissa, juga mengangkat pembahasan tentang harmful practices pada perempuan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan perempuan yang sering kali dilakukan dengan menggunakan justifikasi agama.

“Ini yang kita lawan. Agama tidak menempatkan laki-laki di atas perempuan. Kita senang bisa berkontribusi pada HAKTP ini,” lanjut Alissa.

Ruang Pertemuan

Perwakilan dari KUPI Muda, Tia Istianah mengatakan KUPI telah mempertemukan anak muda dengan ulama di berbagai bidang maupun generasi sebelumnya. Ia  mengaku senang bisa mengikuti rangkaian acara KUPI II yang berlangsung 23-26 November 2022, apalagi di akhir acara ini akan ada deklarasi KUPI muda.  Tia menyebut, KUPI adalah ruang perjumpaan di mana kelompok dari lintas generasi bisa saling sharing knowledge tanpa memandang usia.

Tia menuturkan anak muda rentan menjadi korban tetapi juga bisa menjadi agen perubahan. Banyak tantangan yang dihadapi, seperti perubahan iklim maupun kondisi sosial budaya akibat perkembangan teknologi.

“Kita anak muda ini sering menjadi korban karena usia. Apalagi kalau ditambah kita perempuan, miskin, jadi semakin dipinggirkan. Anak muda juga sering menjadi korban KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Day to day kita merasakan itu. Di KUPI ini, keinginan anak-anak muda tidak hanya sekadar didengar, tetapi juga dicatat dan diimplementasikan,” ungkap Tia.

Saat ini populasi anak muda telah mencapai 1,8 miliar sekaligus menjadi bagian terbesar di dunia. Banyak isu yang dihadapi anak muda saat ini, diantaranya masalah krisis iklim dan lingkungan. Selain membahas isu kesetaraan gender, KUPI juga menjadi forum yang mengakomodir isu-isu yang dihadapi tersebut.

“Semoga ke depan ada acara-acara seperti ini. Kita mempunyai forum-forum intergenerational yang mau mendengar dan mengimplementasikan kebutuhan anak muda,” pungkasnya.

Hal serupa diungkapkan oleh Misni Parjiati, salah satu peserta KUPI dari perwakilan difabel. Ia mengatakan, perempuan dengan disabilitas menjadi kelompok yang sangat rentan. Di masyarakat, tambah Misni, kelompok disable terutama perempuan disable cenderung tidak menguntungkan dan ditinggalkan.

“Ketika mengikuti KUPI, saya mengapresiasi KUPI karena melibatkan teman-teman difabel untuk mengikuti acara ini. Isu disabilitas ini menjadi sangat penting. Karena disabilitas atau tidak adalah hamba Allah yang setara,” terangnya.

Misni berharap, akan semakin banyak orang-orang non-difabel yang membersamai kelompok difabel dan turut memperjuangkan hak disable secara lebih luas.

“Harapan saya, kesadaran ini menjadi lebih luas. Banyak yang mau menjadi teman difabel, sehingga kesulitan-kesulitan yang menjadi halangan para disabilitas bisa terkurangi,” tutupnya.

Dwi Faiz dari UN Women menambahkan, dalam tataran global, 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan. Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan yang paling ekstrem adalah femisida atau pembunuhan yang dilakukan kepada perempuan karena ia perempuan. 

“Jika tadi Mbak Alissa mengatakan bentuk paling ekstrem dari diskriminasi adalah kekerasan, maka bentuk paling ekstrem dari kekerasan adalah femisida,” ungkap Dwi.

UN Women baru-baru ini merilis hasil penelitiannya tentang femisida dengan temuan yang sangat mencengangkan. Tercatat sebanyak 45 ribu perempuan dan anak perempuan dibunuh sepanjang 2021. Berdasarkan penelitian itu mayoritas korban femisida dibunuh oleh anggota keluarga dekat.

“Kami, UN Women, berharap ada sebuah gerakan untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang dipimpin oleh perempuan, di mana gerakan ini mampu memajukan peradaban. Dan ini sesuai dengan nilai yang diperjuangkan oleh KUPI,” tutupnya.

Ilustrasi/gambar: freepik.com

(Liputan ini didukung oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia/KUPI)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!