Perjuangkan Stop Kekerasan Masa Lalu Lewat Seni, ‘Dialita’ Dapatkan Penghargaan Akademi Jakarta 2022

Paduan suara “Dialita” dan seniman Didik Nini Thowok mendapatkan penghargaan Akademi Jakarta Award pada 15 November 2022. Dialita adalah paduan suara perempuan yang melantangkan ingatan dan peringatan agar Indonesia belajar dari masa lalu agar bijak melihat perbedaan

Ketika rekonsiliasi politik atas kekerasan sistemik di tahun 1965 tak dapat dilakukan, Dialita telah melakukan rekonsiliasi kultural berbasis komitmen pada kemanusiaan dan cinta pada tanah air.

Hal inilah yang mendasari panitya Akademi Jakarta memberikan penghargaan pada paduan suara “Dialita.”

Dewan juri, Prof. Melani Budianta menyatakan dalam pemberian penghargaaan di Jakarta, Dialita telah menunjukkan kerja secara kolektif di bidang seni musik dengan mengumpulkan lirik dan lagu karya tahanan politik/ tapol yang tersembunyi dan tersebar yang mereka diciptakan di masa penahanan.

Pembentukan dan pelatihan paduan suara di tahun 2011 merupakan akumulasi dari dedikasi pada seni dan kemanusiaan selama enam dekade, suatu pencapaian sepanjang hayat.

“Melalui seni paduan suara yang mengolah kembali secara apik lagu-lagu tapol dan lagu kenangan di era penuh gejolak tahun 60an, Dialita telah membangun ingatan akan luka sejarah bukan untuk terjebak di dalamnya, melainkan untuk proses penyembuhan bersama.”

Melani Budianta juga menyatakan bahwa penampilan dan kehadiran Dalita sebagai saksi dan penyintas kekerasan masa lalu telah membuka ruang penyadaran kritis lintas generasi.

“Melalui kreasi budaya, dengan lembut dan penuh rasa sayang, Dialita membangun narasi tandingan yang meluruhkan dendam dan menggoyahkan stigmatisasi.”

Perempuan yang menggubah lagu “Ujian” di atas, adalah satu dari ribuan perempuan Indonesia, termasuk yang berusia belasan tahun, yang mengalami penangkapan, penyiksaan dan penahanan tanpa pengadilan pasca 30 September 1965. Pada hari, bulan dan tahun sesudah peristiwa kelam dalam Sejarah Bangsa Indonesia itu, siapapun  yang ditenggarai mempunyai keterkaitan dengan organisasi masa yang berafiliasi pada PKI  jika tak terbunuh, menghadapi ancaman penangkapan.  Termasuk di antaranya, perempuan seniman yang diundang berkesenian, anak muda yang menyalurkan hobi di kegiatan kepemudaan, juga istri, ibu dan bahkan anak atau saudara dan mereka yang ditenggarai bersimpati pada gerakan kiri.

Ujian yang harus dilalui perempuan itu dari satu markas ke markas lainnya, dari satu kamp penahanan ke kamp lainnya, Bukit Duri, dan Plantungan, bukan sembarang ujian.

“Ada suatu cap yang sudah dikenakan kepada para perempuan tahanan politik ini, sebagai “perempuan tak bermoral yang melakukan mutilasi atas para jendral yang terbunuh di lubang buaya sambil berpesta dansa dengan tari dan lagu genjer-genjer.”

Narasi ini dengan cepat menyebar dan menjadi bingkai untuk menghakimi tapol perempuan. Film yang diwajibkan ditonton anak sekolah dan masyarakat setiap tahun, memorialisasi melalui monumen ikut menyebarkan dan membangun memori kolektif yang mengerikan.  

Sebagian besar perempuan tahanan politik/ tapol dipaksa untuk mengakui yang tak pernah mereka lakukan atau bahkan ketahui itu, dan jika menyangkal mereka mengalami penyiksaan, pelecehan dan berbagai tindak kekerasan.

“Pada saat yang sama, anak-anak dan keluarga yang ditinggalkan ikut mengalami persekusi. Anak-anak generasi kedua, bahkan ketiga dari keluarga tapol 65 tercabut haknya sebaga warga negara untuk dapat bersekolah, mendapat pekerjaan dan perlindungan dari perundungan.”

Ketika pada akhirnya perempuan tapol dilepaskan secara bertahap setelah tahun 1976 – 1979, mereka tetap mengalami kekerasan sistemik di luar penjara. Dengan KTP yang ditandai, mereka tidak hanya diwajibkan lapor berkala dan diawasi pergerakannya, tetapi juga tidak diberi kesempatan bekerja. Masyarakat, bahkan juga tak jarang keluarga yang menginternalisasi stigma ikut menolak dan mengucilkan mereka.

“Jelas, perempuan tapol 65 tidak harus membuktikan apakah ia emas atau imitasi  karena yang mereka alami bukan ujian, melainkan kekerasan negara yang mencabut seluruh hak mereka sebagai warga negara, bahkan untuk mendapatkan keadilan hukum. Dalam situasi yang menekan tersebut, perempuan tapol melakukan hal-hal yang seharusnya merupakan tugas Negara untuk menyantuni sesama mantan yang lansia, sakit dan berkekurangan, upaya bergotong royong mengumpulkan uang sambil melantunkan lagu-lagu ciptaan mereka selama berada di penjara inilah yang melahirkan kelompok paduan suara Dialita. Paduan suara yang merupakan singkatan dari DI Atas LImapuluh TAhun ini pada awalnya dimaksudkan untuk sarana “mengamen” agar dapat mengumpulkan dana membantu sesamanya,” kata Melani Budianta

Diresmikan pada 11 Desember 2011, Dialita terdiri dari perempuan tapol dari Bukit Duri dan Platungan, dan generasi kedua keluarga tapol. Mereka mengumpulkan dan mengaransemen ulang lagu-lagu yang diciptakan secara sembunyi-sembunyi di penjara. Walau harkat kemanusiaan terinjak-injak, lagu-lagu Dialita melantungkan ketegaran di balik kelembutan serta keteguhan untuk tidak melepaskan harapan akan masa depan. Pada saat dihadapkan oleh kekerasan Negara serta ketidakadilan, lagu-lagu Dialita tetap menyuarakan cinta pada tanah air.

Munculnya Dialita dan kehadirannya yang anggun tapi kokoh sebagai saksi masa lalu menggerakkan dukungan masyarakat, dari aktivis kemanusiaan sampai anak-anak muda dari berbagai kalangan.

Dengan berkolaborasi dengan berbagai komunitas dan generasi muda seniman, Dialita meluncurkan dua buah album yakni Dunia Milik Kita (2016) dan Salam Harapan (2020). Perjalanan Dialita telah dituangkan dalam film dokumenter karya Shalahuddin Siregar berjudul Bangkit Dari Bisu (2016) dan Lagu Untuk Anakku (2022). Pada tahun 2019 Dialita menerima  Penghargaan The Gwangyu Prize for Human Rights di tahun 2019.

(Foto: Indonesia untuk Kemanusiaan/ IKa)









Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!